• Narasi
  • Nusep Supriadi, Sepetak Bambu, dan Sungai Cikapundung

Nusep Supriadi, Sepetak Bambu, dan Sungai Cikapundung

Serlok Bantaran di Sungai Cikapundung seperti berada jauh dari hiruk-pikuk perkotaan Bandung. Tempat penampungan air, memelihara ikan, dan pembibitan bambu.

I Putu Gede Rama Paramahamsa

Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad)

Sungai Cikapundung di dekat Serlok Bantaran yang masih rimbun. (Foto: Ahmad FIkri/BandungBergerak.id)

13 Juli 2023


BandungBergerak.id – Pria tersebut bertelanjang dada ketika saya datang. Sambil menempatkan rokoknya di ujung bibir, pria itu memegang pipa dan memutar-mutarnya, ia sedang membenahi saluran air. “Hey, duduk dulu, saya masih benerin pipa sebentar,” ujarnya menyambut saya. Tidak berselang lama, pria tadi mendekat ke tempat duduk terindah yang pernah saya duduki sembari berkata “Ngopi?”.

Di hadapan saya, aliran Sungai Cikapundung terdengar dan nampak sangat jelas. Saya seperti berada di tengah hutan yang asri dengan kicauan burung yang masih ramai, suara gemericik air yang menggoda, dan yang terpenting tidak ada suara kendaraan hilir mudik. Tempat tersebut sangatlah tenang.

“Tadi saya ngebenerin pipa air biar masyarakat bisa dapet sumber air langsung dari alam,” ujarnya sembari menyodorkan kopi hitam dan senyumannya yang khas.

Pria tersebut adalah Nusep Supriadi, seorang yang lebih memilih bergerak dari rumah untuk alam. Sembari meminum kopinya, Nusep memandang sambil tersenyum ke arah Sungai Cikapundung. Ia mungkin sedang rindu dengan masa kecilnya di Sungai Cikapundung yang bersih dan sehat. Akan tetapi, kini Cikapundung yang ia kenal telah jauh berbeda. Ikan-ikan asli Sungai Cikapundung telah mati dan tidak ada lagi anak-anak yang berenang di sungai tersebut, seperti dirinya beberapa puluh tahun yang lalu.

“Yang jadi permasalahan itu adalah ikan-ikan endemik yang ada di sungai itu otomatis dengan sendirinya akan hilang karena ikan endemik itu indikator air bersih,” ujar Nusep (40) menyesalkan apa yang telah terjadi pada wahana bermainnya ketika masih kecil dahulu.

Penelitian terhadap Sungai Cikapundung pernah dilakukan oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat yang menemukan hasil bahwa Sungai Cikapundung memiliki kandungan oksigen yang sangat minim. Bahkan, sungai tersebut dikatakan telah tercemari bakteri E. coli yang dipicu oleh sampah yang membusuk dan kotoran hewan dan manusia yang dibuang ke sungai.

“Yang pasti di area hulu itu adalah peternakan sapi, kalau diperkirakan itu 1 ton per hari. Makanya sungainya agak hijau itu kotoran sapi. Kalau di daerah perkotaan, itu limbah-limbah kimia, pabrik-pabrik. Kalau yang lainnya, masyarakat sendiri adalah pembuangan-pembuangan, mohon maaf ya, karena banyak sekali sekarang, masyarakat itu rumah-rumah yang tidak menggunakan septic-tank. Jadi pembuangannya semuanya itu larinya ke sungai. Nah itu kan otomatis mengandung zat E. coli ya,” ujar pria yang menjadi inisiator Serlok Bantaran pada 2018 silam.

Ya, Serlok Bantaran adalah sebuah wadah yang diinisiasi oleh Nusep sebagai bentuk kepedulian terhadap Cikapundung. Tempat yang cukup jauh dari jalan raya, membuat Serlok Bantaran memiliki suasana yang lebih tenang karena berada jauh dari hiruk-pikuk perkotaan Bandung. Bangunan yang didominasi oleh kayu dan bambu itu berada tepat di pinggir Sungai Cikapundung. Serlok Bantaran juga membuat sebuah penampungan air bagi warga, pemeliharaan dan pembibitan ikan endemik Cikapundung, hingga pembibitan bambu.

Baca Juga: Klaim 20 Sungai di Kota Bandung Membaik ketika Sungai Cikapundung Pernah Tercemar Logam Berat
PROFIL KOMUNITAS MASYARAKAT KREATIF KAMPOENG TJIBARANI: Melihat Citra Bandung dari Pinggiran Cikapundung
Melestarikan Sungai Cikapundung Lewat Kesenian Tarawangsa di Kampung Cibarani

Misteri dari Sang Kakek

Nusep menceritakan dirinya terjebak di dalam kebingungan selama bertahun-tahun karena sang kakek memberikan pesan kepadanya bahwa sepetak tanah di dekat Serlok Bantaran, harus ditanami bambu, dan jangan membangun rumah di daerah tersebut.

Sembari meminum tegukkan terakhir dari kopi hitamnya, Nusep bercerita bahwa dahulu, sebelum sang kakek meninggal, beliau pernah menanam satu pohon bambu dan memberikan pesan kepada Nusep muda. Ia mengakui sendiri bahwa apa yang dititipkan oleh sang kakek adalah sebuah misteri, yang akhirnya baru terpecahkan setelah ia belajar banyak hal.

“Nah itu jadi misteri, belum kebuka apa. Kebukanya waktu saya terjun ke lingkungan, saya belajar tentang bambu, baru saya terkuak, ‘oh ternyata ilmu orang tua dulu itu ternyata hebat’,” ujarnya menceritakan misteri yang baru berhasil ia pecahkan kini.

Setelah perjalanan panjang Nusep bergelut di dunia lingkungan, ia akhirnya tersadar bahwa ilmu dari para pendahulunya, justru lebih baik. Bahkan, Nusep mengakui bahwa orang tua di zaman dahulu memiliki konsep penataan sungai yang sangat baik. Maka dari itu, Nusep berusaha kembali ke konsep zaman orang tuanya, dengan menanam banyak pohon di bantaran sungai.

“Zaman dulu, orang tua dulu sangat baik ya penataan sungai itu. Kaya, kenapa sungai ini harus ada pohon terang besi, oh ternyata akarnya begitu air kotor disaring jadinya bersih,” ujarnya.

Pengalaman panjangnya yang telah melintang di isu-isu lingkungan akhirnya membawa Nusep bermuara pada kesimpulan bahwa Cikapundung harus dijaga. Melalui Serlok Bantaran, Nusep berusaha membangun kembali segala hal yang telah hilang dari Sungai Cikapundung, tempat ia dan kawan-kawannya dahulu bermain.

“Saya konservasi bambu, konservasi ikan native, konservasi mata air yang utama. Jadi saya memanfaatkan mata air untuk dialirkan ke warga, daripada ke sungai sayang. Sekarang air mahal,” tukasnya.

Jika dahulu masyarakat harus menggelontorkan dana sebesar 125 ribu untuk membayar air dari PDAM. Kini masyarakat hanya perlu menggelontorkan uang sebesar 10 ribu rupiah untuk biaya perawatan yang dibutuhkan guna mendapatkan air layak minum dari sumber mata air Cikapundung.

“Saya cuma minta Rp 10 ribu per bulan dan di keran layak minum, coba. Jadi saya mendapatkan Rp 1,2 juta per bulan, dan itu bukan buat saya, tapi buat perawatan,” ujarnya

Nusep juga rutin melakukan penanaman pohon, dengan target-target pohon yang akan memiliki dampak suatu saat nanti, seperti bambu, terang besi, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, Nusep juga membangun kolam ikan, yang di dalamnya berisikan ikan-ikan asli dari Sungai Cikapundung, yang jika dibiarkan hidup di sungai akan mati seperti ikan-ikan lainnya. Nusep hanya tidak ingin ikan-ikan tersebut punah.

Bahkan, pondokan yang ia bangun sebagai pos untuk Serlok Bantaran berasal dari bahan-bahan yang ramah lingkungan. Pondokan yang ia bangun sebagian besar ditopang oleh kayu-kayu yang besar. Ketika ditanyai perihal kayu mana yang ia ambil, Nusep menjelaskan bahwa kayu-kayu yang ia gunakan untuk memabngun pondokan ini adalah pohon-pohon yang dahulunya ia tebang. Jadi ia tidak serta merta menebang pohon hanya untuk kebutuhan pribadinya. Bahkan, mayoritas perlengkapan di Serlok Bantaran adalah bahan-bahan yang berbahan dasar kayu, yang pula ia dapatkan dari hasil menanam pohon atau mengganti pohon-pohon yang ia tebang dengan bibit pohon baru.

Jangan Jauhkan Masyarakat dari Sungai

Di tengah-tengah pembicaraan kami mengenai tercemarnya Sungai Cikapundung, seorang laki-laki berjalan dari rumahnya yang berada di seberang sungai dan secara sadar membuang sampah ke sungai. Saya cukup terkejut, namun Nusep tidak.

“Di sini bisa dikatakan 80 persen lah, masyarakat tidak membuang sampah ke sungai,”  ujarnya menjelaskan sebelum laki-laki tadi memberikan contoh jelasnya.

Bagi Nusep, kedekatan masyarakat dengan sungai adalah hal yang sama pentingnya. Ia juga menjelaskan bahwa di daerah Taman Sari hingga Buah Batu sudah tidak banyak lagi masyarakat yang acuh terhadap Sungai Cikapundung. Telah pula berdiri banyak pabrik-pabrik sebagai salah satu penyumbang terbesar tercemarnya Sungai Cikapundung.

“Karena di situ mah, masyarakat udah dijauhkan sama sungai. Kirmirnya aja tingginya aja sekitar 15 sampai 20 meter,”

Saya sedikit mengernyitkan dahi ketika Nusep berkata bahwa ada kaitannya sungai yang dijauhkan dari masyarakat dengan ketercemaran sungai tersebut. Bagi Nusep, masyarakat yang dijauhkan dari sungai memiliki kemungkinan yang sangat besar dalam mencemari sungai tersebut.

“Karena apa, sekarang gini, masyarakat anak-anaknya pada berenang di sini, bisa manfaatin batu-batunya, pasir-pasirnya. Otomatis mereka juga akan merawat. Tapi kalau masyarakat sudah dijauhkan dengan sungai, ya udah jadi pembuangan akhirnya. Jadi pembuangan sama sekali,” ujar Nusep menjelaskan pandangannya.

Hal ini kemudian semakin menarik ketika mengetahui fakta bahwa semakin ke hilir, Sungai Cikapundung semakin menyempit. Hal tersebut berdampak pada tingginya tembok yang harus dibangun di sekitaran sungai. Terlebih lagi, aliran Cikapundung hilir tidak lagi ditemukan banyak Daerah Aliran Sungai, hanya ditemukan perumahan yang membelakangi Sungai Cikapundung itu sendiri.

“Rumah yang bagus itu menghadap ke sungai, bukan membelakangi. Kalau membelakangi itu jadi tempat pembuangan,” tutup Nusep.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//