• Kolom
  • SAWALA DARI CIBIRU #32: Waktu sebagai Konstruksi Sosial

SAWALA DARI CIBIRU #32: Waktu sebagai Konstruksi Sosial

Jonathan Martineau pada bukunya “Time, Capitalism and Alienation” (2015) menguraikan perubahan struktur sosial pada masyarakat yang mengubah pemahaman atas waktu.

Muhammad Taufik

Aktif di Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)

Jam tangan yang dimiliki Siti ketika bekerja di salah satu mal di Kota Bandung pada tahun 2016 menjadi penunjuk waktu dalam aktivitas sehari-harinya. Jam dinding mati. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

14 Juli 2023


BandungBergerak.id – Santo Agustinus dalam bukunya yang berjudul Confession pernah mempermasalahkan soal konsep waktu. Melalui bukunya tersebut ia berkata "Saya tidak mengetahui apa itu waktu? Jika tidak ada seorang pun yang bertanya tentang waktu, saya tahu waktu. Tetapi, ketika seseorang meminta saya untuk menjelaskan apa itu waktu, maka saya tidak tahu?"

Pertanyaan tentang waktu jika direfleksikan secara mendalam memang menghadirkan sesuatu hal yang bersifat misterius. Bahkan, di era modern sekarang ketika orang kebanyakan terperangkap oleh waktu, semisal, menentukan jadwal, menandai hari-hari penting, bahkan menghitung eksistensi kehidupan kita sendiri, kita jarang menanyai apa itu waktu sendiri. Seakan-akan ia melekat dalam kehidupan kita tanpa perlu ditanya lebih lanjut.

Pertanyaan mengenai waktu akan menjadi semakin rumit manakala pengubahan-pengubahan waktu tidak selalu berjalan secara menetap. Standar waktu yang kita gunakan sekarang melalui perantara jam mekanik sebenarnya baru dimulai pada abad ke-18 di Eropa. Jadi, perhitungan waktu jam mekanik yang terdiri dari presisi hitungan abstrak 24 jam bukanlah sesuatu yang berlaku sepanjang zaman. Sementara, di zaman pramodern masyarakat tidak menandai waktu dalam hitungan abstrak Jam. Melainkan, misalnya di abad pertengahan terpusat pada pemahaman akan penandaan waktu dari doktrin gereja. 

Pertanyaan yang mendesak di sini adalah mengapa sepanjang sejarah penandaan waktu selalu mengalami pengubahan? Apakah dengan demikian waktu itu bersifat relatif seiring perkembangannya sejarah masyarakat? Atau ada suatu kondisi-kondisi tertentu yang membuat waktu terus mengalami pengubahan?

Menurut Jonathan Martineau melalui bukunya yang berjudul Time, Capitalism and Alienation (2015), persoalan tentang pengubahan waktu mesti mengacu pada proses perubahan sosial dalam setiap sejarah masyarakat tertentu. Di sinilah menurutnya kita bisa melihat secara lebih objektif bagaimana persoalan tentang waktu bisa dianalisis setiap perubahannya. Dalam penelitiannya, Martineau melihat pengubahan waktu selalu bersifat diskontinu atau mengalami pergeseran-pergeseran yang cukup acak. Dan bukannya, bergerak secara bersambung. Misalnya, antara waktu yang digunakan pada zaman modern tidaklah berarti sebagai kontinuitas atau merupakan penerusan dari aturan waktu sebelumnya. Tetapi, paradigma waktu antara pramodern dengan modern memang tidak berkaitan satu sama lain. Lebih daripada itu juga, pengubahan waktu bagi Martineau didahului oleh pengubahan struktur sosial di dalam masyarakat.

Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #29: Melampaui Monopoli Elite, Sains Berasal dari Tangan Rakyat
SAWALA DARI CIBIRU #30: Jalan Menuju Rasionalisasi Agama
SAWALA DARI CIBIRU #31: Jam dan Penundukan atas Manusia

Waktu sebagai Pengorganisasian Masyarakat

Pertama-tama untuk menganalisis pengubahan waktu sebagai proses sosial, Jonathan Martineau mendudukan kembali persoalan waktu yang bersifat natural dan sosial. Hal ini sering kali menimbulkan dualisme yang membuat pemahaman waktu tidak bisa dipahami secara komprehensif. Waktu natural sering kali dipahami sebagai waktu yang bersifat objektif, seperti misalnya perhitungan yang didasarkan peredaran benda langit (matahari-bulan), ataupun rotasi bumi. Keterangan waktu natural sering kali bersifat isolatif dan netral di mana hal tersebut dalam konteks modern lebih banyak diserahkan pada otoritas Saintifik. Waktu natural ini sering kali dianggap terpisah dari kehidupan sosial.

Namun, menurut Martineau waktu natural selalu berurusan dengan konstruksi sosial. Martineau menolak waktu natural yang bersifat netral dan bersifat isolatif di antara aktivitas masyarakat. Dalam menjembatani dualisme waktu ini Martineau memberi dua pengertian antara Time dan Timing. Istilah Timing mengacu pada kemampuan manusia untuk memahami, mengukur, dan mengelola waktu dalam berbagai konteks kehidupan, termasuk rutinitas sehari-hari, interaksi sosial, kegiatan ekonomi, yang memastikan keberlangsungan kegiatan kolektif. Timing di sini adalah akar dari pemahaman Time atau waktu sebagai fenomena alamiah. Oleh karena itu, pengkajian tentang konsep waktu harus didasarkan pada analisis historis terhadap kegiatan sosial dalam Timing. Selain itu Timing tidaklah dilakukan atas dasar pengaturan yang bersifat arbitrer. Tetapi, hal ini dikondisikan untuk pembagian kerja dalam produksi ekonomi masyarakat.

Timing sebagai akar pemahaman waktu bisa dilihat menurut Martineau dalam penelusuran sejarah awal masyarakat. Menurutnya, kesadaran akan waktu adalah ketika manusia beralih dari pengumpulan makanan (berburu-meramu) menuju pembuatan produksi makanan mereka sendiri. Hal ini meliputi penjinakan tanaman, siklus pertanian, pekerjaan di lahan, dan pemeliharaan hewan. Praktik-praktik produksi makanan ini, seperti pertanian mesti melibatkan serangkaian tugas yang membutuhkan penjadwalan, koordinasi, dan pengaturan waktu yang lebih aktif. Misalnya, menanam tanaman memerlukan waktu yang tepat untuk menabur benih, merawat pertumbuhan tanaman, dan panen pada saat yang tepat. Kebutuhan masyarakat awal ini pada akhirnya membentuk kesadaran manusia akan pengalaman mereka terhadap waktu.

Namun, seiring proses masyarakat yang terus berlangsung mulailah pengorganisasian masyarakat mulai berubah ke arah struktur yang lebih hierarkis. Di sinilah mulai muncul masyarakat yang berbentuk kelas, di mana setiap individu mulai dikelompokkan berdasarkan posisi sosial, status, dan akses terhadap sumber daya ekonomi. Pengubahan struktur hierarkis ini memberi pengaruh langsung terhadap pengelolaan terhadap waktu. Di zaman kuno misalnya, pengaturan waktu mulai didasarkan pada monopoli otoritas tertentu. Para tokoh keagamaan sering kali menjadi penanda waktu dalam konteks sosial. Mereka para tokoh agama ini menentukan waktu dengan membaca tanda-tanda temporal, baik dalam objek langit maupun peristiwa di bumi, untuk menentukan waktu yang tepat untuk menanam, berburu, menyerang kelompok saingan, dan sebagainya. Dalam hal ini, kekuatan elit keagamaan dan ramalan mereka erat hubungannya dengan praktik-praktik timing.

Munculnya masyarakat yang berbentuk kelas dalam sejarah ini membuat persoalan waktu lebih banyak dimonopoli oleh elit-elit tertentu. Martineau mencontohkan hal ini di era kekaisaran Su Sung di Cina tahun 1094 M. Pada masa itu sebenarnya alat penanda waktu yang lebih presisi seperti jam air, jam pasir, dan jam matahari (sundial) sudah ditemukan di masa kekasisaran Su Sung. Namun, alat-alat tersebut tidak dijadikan sandaran waktu yang bersifat objektif. Waktu yang objektif adalah hak prerogatif dari istana Kaisar dan lebih merupakan masalah prestise politik. Pada masa itu pembuatan jam astronomi yang berfungsi sebagai alat kalender dan astrologi tingkat ketepatannya selalu diabaikan. Tujuannya karena perhitungan tersebut mesti disesuaikan dengan perhitungan Kaisar. Meskipun demikian, legitimasi kaisar sendiri bergantung pada keharmonisan keputusan dan tindakannya dengan pola-pola kosmos. Namun, dalam praktiknya, masih ada ruang untuk kesalahan, asalkan tidak terlalu terlihat.

Kemudian pada abad pertengahan, terkhusus di Eropa dalam masa feodalisme konsep mengenai waktu banyak disematkan pada simbolisme teologi Gereja. Saat itu pengajaran waktu Gereja mengacu pada konsep Agustinus di mana persoalan waktu adalah urusan duniawi.  Sebagaimana yang dijelaskan oleh Martineau, dalam pemikiran Agustinus pada awalnya tidak ada yang namanya waktu. Kemunculan waktu diciptakan oleh Tuhan seiring penciptaannya akan dunia. Namun, meskipun waktu adalah urusan duniawi, waktu tetap merupakan milik Tuhan. Sejarah manusia pada akhirnya adalah kerinduan akan keselamatan, karunia, dan waktu itu sendiri adalah ranah teologis menuju Tuhan. Oleh karena itu, bagi Gereja, waktu pada dasarnya adalah konsep ketuhanan. 

Konsep waktu teologi ala Gereja ini tidak hanya mencakup prinsip doktrinal. Akan tetapi juga sebagai penanda Timing praktik-praktik era feodalisme. Perspektif ini menaungi elemen penting dari kontinuitas disiplin dalam masyarakat agraris feudal di mana waktu dikaitkan secara kuat dengan siklus alam dan kegiatan pertanian. Konsep waktu yang dipengaruhi oleh Gereja dapat memberikan legitimasi teologis dan bimbingan dalam mengatur siklus pertanian. Standar konkret dalam pendisiplinan ini menurut Martineau di mediasi oleh penggunaan Bel.

Pergeseran Pemahaman pada Waktu

Bel merupakan sebuah sinyal untuk memanggil masyarakat sebagai sistem pengaturan sosial. Itulah sebabnya di abad pertengahan banyak lonceng-lonceng Bel yang banyak variasinya, seperti lonceng pasar, lonceng kerja lonceng pertahanan kota, lonceng jam malam, lonceng misa dan Gereja. Penggunaan bel di abad pertengahan memiliki alasan sosial-politik. Dalam kota-kota abad pertengahan penggunaan bel diatur dengan ketat dan berada di bawah kendali elit penguasa. Izin untuk membunyikan lonceng sangat ketat diatur dan penggunaan yang tidak diizinkan dihukum dengan tegas.

Otoritas yang paling mencolok dalam penguasaan bel ini adalah Gereja, Bangsawan dan Tuan Tanah. Ketiga kelas ini menurut Martineau di era feodalisme merupakan kelas-kelas yang dominan dalam penguasaan aset publik, terkhusus dominasinya atas persoalan tanah masyarakat. Dengan menggunakan simbol bel kelas-kelas tersebut mempunyai otoritas untuk mendisiplinkan masyarakat serta mengontrol para pekerja yang berada di sektor agraris. Penggunaan bel tersebut di masa krisis abad pertengahan menjadi sumber ketegangan antara majikan dan para pekerja. Gereja, bangsawan, dan tuan tanah menggunakan bel sebagai alat untuk mengendalikan dan mengatur jam kerja pekerja agar sesuai dengan kebutuhan mereka dan mengoptimalkan produktivitas. Namun, bagi pekerja, penggunaan bel dan pengaturan waktu yang ketat sering kali berarti eksploitasi dan pembatasan terhadap kebebasan serta kesejahteraan mereka.

Pergeseran pengubahan waktu pun kemudian berlanjut pada permulaan zaman modern. Hal ini ditandai dengan konfigurasi dasar masyarakat yang mencangkup penggunaan waktu linier yang terorganisir secara terpusat dan lebih abstrak. Pergeseran waktu ini tidak terlepas dari munculnya sistem kapitalisme. Kapitalisme modern menandai waktu yang diukur secara ketat dan diatur oleh jam. Konsep waktu jam, atau waktu abstrak, menjadi landasan bagi struktur waktu dalam masyarakat kapitalis. Jadwal kerja yang tetap, penjadwalan produksi massal, dan aktivitas sosial lainnya didasarkan pada waktu linier yang terstandarisasi.  

Pertanyaan yang perlu di kemukakan di sini mengapa di era kapitalisme pengorganisasian masyarakat lebih disematkan pada waktu yang bersifat linier dan abstrak? Hal ini bagi Martineau tidak terlepas dari perubahan corak produksi kapitalisme yang berlandaskan kepemilikan dan kontrol. Dalam feodalisme para pemilik lahan, seperti tuan tanah, bangsawan, dan gereja tidak terlalu dominan ketika mengatur proses produksi. Di sini para pekerja hanya bertanggung jawab untuk memberikan sebagian dari hasil kerja mereka kepada para pemilik lahan. Namun, dalam kapitalisme, pemilik modal (kapitalis atau pengusaha) memiliki kepemilikan dan kontrol atas modal dan aset ekonomi. Alhasil, para pekerja yang termasuk aset ekonomi kapitalis mesti diefisiensikan sedemikian mungkin supaya ia terus produktif.

Selain itu, setiap pekerjaan yang cukup variatif dalam masyarakat diseragamkan dalam satuan waktu yang bersifat abstrak. Penggunaan waktu abstrak memungkinkan pengaturan yang lebih efisien dalam produksi, perencanaan jadwal kerja, dan pembayaran gaji atau upah. Hal ini memungkinkan perbandingan lebih mudah antara pekerjaan yang berbeda dan pengukuran kinerja pekerja. Di sinilah waktu jam juga menjadi alat pengaturan yang penting bagi pengusaha untuk mengatur produksi dan mengoptimalkan penggunaan tenaga kerja. Di sinilah sampai zaman sekarang standarisasi waktu abstrak yang terpola dalam satuan Jam menjadi bagian kehidupan masyarakat modern.

Melalui penjelasan Jonathan Martineau ini kita bisa melihat bagaimana arti waktu selalu dipahami dalam fenomena sosial. Waktu terkait dalam hubungan antara sosio-natural masyarakat. Hubungan ini bersifat historis spesifik dalam arti bahwa hubungan ini di mediasi oleh bentuk-bentuk pengorganisasian sosial. Dengan demikian waktu secara keseluruhan tercermin dalam dinamika dan perubahan dalam bentuk-bentuk organisasi sosial, kekuasaan, ideologi, dan institusi dalam masyarakat.

* Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//