• Buku
  • RESENSI BUKU: Bagaimanapun Caranya, Patriarki Harus Hancur

RESENSI BUKU: Bagaimanapun Caranya, Patriarki Harus Hancur

Kumpulan cerpen Cyntha Hariadi dalam buku Mimi Lemon menggambarkan kebobrokan patriarki yang menggerus nilai kebaikan keluarga.

Buku Mimi Lemon karya Cyntha Hariadi terbitan POST Press (2023). (Foto: Hifzha Aulia Azka)

Penulis Hifzha Aulia Azka16 Juli 2023


BandungBergerak.id – Saya berkenalan dengan gaya penulisan Cyntha Hariadi melalui buku kumpulan puisinya Ibu Mendulang Anak Berlari. Puisi-puisi Cyntha bukanlah sesuatu yang mengawang tak terbayangkan oleh seorang awam bagi saya. Melalui penggambaran puitis atas kegiatan sehari-hari ibu rumah tangga, Cyntha menyelipkan kritik terhadap cengkeraman patriarki yang merugikan banyak perempuan. Kritik Cyntha terhadap patriarki tidak terkesan berdentam-dentam, tetapi halus dan tidak hilang esensi kritiknya.

Hal serupa dilakukan Cyntha di buku kumpulan cerpen terbarunya yang berjudul Mimi Lemon. Sekilas judul tersebut terkesan menggemaskan. Memang. Ditambah ilustrasi sampul buku itu juga memberikan kesan menyenangkan.

Lalu apakah Cyntha hendak bercerita soal kebahagiaan? Oh, tentu tidak, kawan. Melalui 8 cerpennya itu, Cyntha hendak menonjolkan emosi perempuan di bawah naungan patriarki yang predatoris itu. Masalah-masalah yang melekat pada perempuan seperti beban gender yang memberatkan mereka, stereotip yang merugikan mereka, sulitnya menentukan pilihan dan konsisten dengan pilihan mereka mengakibatkan perempuan menderita hingga tak ada lagi yang bisa mereka lakukan kecuali melawan.

Satu yang perlu ditekankan, Cyntha menguraikan persoalan kompleks patriarki dengan cara mengaitkannya dengan aktivitas sehari-hari seorang perempuan, khususnya seorang ibu. Ibu, dalam kacamata masyarakat patriarki, digambarkan sebagai sosok serba bisa, sempurna tanpa kurang suatu apa pun. Ibu harus bisa begini dan harus bisa begitu. Jika tidak bisa melakukannya, si ibu menjadi tertekan, walaupun dia sadar jika ia tetap memaksakan dirinya melakukan banyak hal, ia akan ambruk.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Menguak Petaka di atas Pusara
RESENSI BUKU: Bukan Pasar Malam, sebuah Cerita Penerimaan dan Perpisahan
RESENSI BUKU: Masa-masa Kelam Perempuan di Zaman Pendudukan Jepang

Kisah-kisah Keluarga yang Tidak Bahagia

Kumpulan cerpen Mimi Lemon menyuguhkan kisah-kisah keluarga yang tidak bahagia. Penuh konflik, kesedihan, kemuraman dan kekerasan. Keluarga yang dibayangkan menjadi tempat yang aman bagi anggotanya, sekonyong-konyong dijungkirbalikkan oleh Cyntha menjadi tempat yang muram. Tentu ini bukanlah kesalahan Cyntha, patriarkilah yang menyebabkan keroposnya nilai kebaikan keluarga.

Simaklah Coco de Mer. Cerpen ini mengingatkan saya kepada novel Lebih Senyap dari Bisikan karya Andina Dwifatma. Ceritanya mirip-mirip. Keduanya bercerita soal tidak mudahnya menjalani kehidupan pernikahan. Terlebih jika pasangan kita memilih untuk abai dalam bekerja sama menjaga keutuhan hubungan pernikahan. Baron (Lebih Senyap dari Bisikan) dan Andi (Coco de Mer) adalah lelaki yang sering mengabaikan istrinya. Mereka menciptakan ketimpangan yang tajam antara suami dan istri. Suami yang harus fokus kerja dan istri yang sibuk mengurus anak. Dalam Coco de Mer, Anti adalah seorang wanita karier yang terpaksa harus bekerja di rumah karena pandemi. Beban ganda langsung menghinggapinya. Ia dituntut untuk mengurus anak secara sempurna sembari mengikuti rapat online. Anti kerepotan.

Amarah Anti memuncak ketika Andi selalu mendekam di kamarnya. Andi jarang mengurus anaknya. Sehingga atmosfer yang tercipta di keluarga kecil ini sangat buruk. Maka kehidupan pernikahan mereka terancam menemui ajalnya.

Lalu ada juga konflik antara suami dan istri pada cerpen Mimi Lemon yang disebabkan si suami tidak memberikan kesempatan bagi istrinya untuk menentukan pilihannya sendiri. Paragraf pembuka cerpen ini sesungguhnya telah menyuguhkan sesuatu yang getir.

Cerita kucing hilang sangatlah umum dan hilangnya seekor kucing sudah seharusnya tidak terlalu dipermasalahkan, apalagi diratapi. Tapi itulah yang terjadi, walaupun tidak persis seperti itu. Tepatnya, kehilangan kucing, kemudian kehilangan suami (hlm. 45)

Secara bertubi-tubi, si istri kehilangan makhluk yang dicintainya. Tidak hanya kucing dan suami, ia ditinggal pergi anak angkatnya. Sudah sejak lama si istri menginginkan anak, namun takdir mengatakan hal yang lain. Ia tidak bisa memiliki anak kandung. Maka, ia memelihara kucing untuk disayangi sepenuh hari. Tak disangka, si suami membenci istrinya karena memelihara kucing. Si suami sampai tidak ingin tidur seranjang dengan istrinya.

Atau konflik antara mertua dengan menantu pada cerpen Lusia et ses Enfants karena pihak keluarga si suami Prancis yang bangsawan itu tidak menghendaki si istri bekerja sebagai sekretaris. Menurut keluarga si suami, pekerjaan sekretaris adalah pekerjaan kelas dua. Tak sepatutnya wanita bekerja sebagai sekretaris.

Beginilah cara main teori stereotip gender. Perempuan dan laki-laki memiliki atributnya masing-masing untuk dikenal secara umum oleh masyarakat. Tentunya atribut-atribut itu ditentukan secara terstruktur oleh kebanyakan orang. Akibatnya sangat sulit untuk menggugat atau menghancurkan sekalipun stereotip gender yang telah mengakar kuat di masyarakat.

Walaupun Cyntha sadar akan adanya stereotip gender ini, namun sebagai seorang wanita, ia tidak serta merta mengeksploitasi tokoh-tokoh wanitanya menjadi seakan-akan wanita adalah makhluk kelas dua di bawah lelaki. Tidak seperti, misalnya novel Aib dan Nasib karangan Minanto. Minanto, melalui novelnya itu, telah membikin jurang pemisah antara lelaki dan perempuan. Minanto melanggengkan stereotip gender sedangkan Cyntha justru mencoba membongkar apakah benar perempuan harus begini dan lelaki harus begitu? Apakah perempuan itu begini dan lelaki itu begitu? Meminjam perkataan tokoh wanita dalam cerpen Mimi Lemon, “Aku bisa jadi ibu yang mengklaim haknya dan marah.” (hlm 72)

Memimpikan Suatu Dunia yang Aman Bagi Wanita

Pada cerpen pertama yang berjudul Ke Planet Lain Bersama Aluna, Cyntha memimpikan suatu dunia yang super aman bagi wanita. Dunia di mana perempuan bebas menentukan jalan takdirnya sendiri, terbebas dari segala macam bentuk stereotip gender dan juga tidak merasa waswas mendapatkan perlakuan tidak baik dari tangan-tangan jahanam.

Aluna, di dalam mimpinya, mengajak mamanya pergi ke Planet B, planet yang aman bagi wanita. Ketika menyetop salah satu mobil di jalan, ternyata si pengemudi hanya bisa mengantarkan mereka sampai planet S yang juga merupakan planet yang aman bagi wanita. Aluna mengiyakan.

Betul saja, Pulau S menyuguhkan suatu kondisi yang ideal bagi wanita. Ketika Aluna dan mamanya tertidur di sebuah taman kota, tak ada satu tangan pun yang mengganggu mereka. Mama Aluna bingung, kok ada planet yang begitu ramah terhadap perempuan?

Di sini, tak ada orang yang bertanya aku siapa, dari mana, ngapain di sini. Yang mereka tanyakan, aku butuh apa. Alangkah sederhana dan berguna. Kebaikan tiada tara. Inikah bumi Aluna? Aku menyukainya (hlm.18)

Dengan bahasa yang sederhana dan juga membeberkan kisah-kisah yang sangat dekat bagi para pembaca, Cyntha Hariadi bisa mengenalkan kebobrokan patriarki bagi para pembacanya. Setelah mengenali patriarki, harapannya kita dapat bergotong-royong menghancurkan patriarki. Karena bagaimanapun caranya, patriarki harus hancur demi menciptakan bumi Aluna yang sederhana dan berguna.

Informasi Buku

Judul: Mimi Lemon
Penulis: Cyntha Hariadi
Penerbit: POST Press
Desain Sampul: Syarafina Vidyadhana & Katyusha Methanisa
Cetakan: Pertama, Juni 2023
Halaman: 248 halaman
ISBN: 978-6-2-60304-8-1

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//