• Kolom
  • SALAMATAKAKI #19: Cerita Random dari Cihanjuang 10

SALAMATAKAKI #19: Cerita Random dari Cihanjuang 10

Radio Mix FM bertahan di tengah kian murungnya bisnis penyiaran.. Menyewakan sebagian pekarangan untuk aktivitas pengepulan rongsok.

Sundea

Penulis kelontong. Dea dapat ditemui di www.salamatahari.com dan Ig @salamatahari

Di Jalan Cihanjuang 10, Cimahi, stasiun Radio Mix FM bertahan, tetap mengudara menyapa pendengarnya. (Foto: Sundea)

18 Juli 2023


BandungBergerak.id - Saat mobil kami melintasi plang Mix FM di Jalan Cihanjuang 10, Cimahi, spontan aku mencetus: “Kayaknya aku mau bikin tulisan tentang radio yang tadi untuk Bandungbergerak.”

“Hah? Serius? Random banget, sih, kamu? Betulan mau?” tanya suamiku sambil mengemudi.

“Iya,” sahutku yakin.

Tanpa banyak bertanya lagi, suamiku mencari jalur putar untuk kembali ke stasiun radio yang baru saja terlewat. Aku rasa ia sudah tahu apapun yang menjadi magnet kuat untuk intuisiku pasti menyimpan kisah menarik.

Tak ada secuil informasi pun yang aku tahu mengenai Mix FM. Maka, di momen singkat mencari jalan putar, aku berusaha mencari siarannya melalui radio mobil sambil membaca informasi apa pun yang kutemukan di internet. Tentu saja sedikit sekali yang dapat kuulik dalam tempo seterburu-buru itu.

Setelah memasuki pekarangan depan Cihanjuang 10 dan mencoba mengebel, barulah aku tahu stasiun radio Mix FM berada di pekarangan belakangnya. Kami masuk melalui jalan di sisi samping.

Mix FM adalah bangunan yang menghadap tanah luas. Ada rerumputan jangkung dan pos pengepul barang-barang rongsokan di tanah tersebut. Kehadiranku yang lebih tiba-tiba daripada pembawa acara “Tok Tok Wow” disambut bingung oleh semua orang yang sedang duduk-duduk di beranda Mix FM. Beberapa kali Abah, bapak yang menjaga Cihanjuang 10, menanyakan siapa yang aku cari. Namun, aku tentu saja tidak tahu karena memang tidak kenal siapa-siapa di sana.

“Saya cuma mau bikin tulisan tentang Mix FM. Kira-kira saya bisa ngobrol sama siapa, ya?” tanyaku.

Ternyata hari itu hanya ada siswa-siswa Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang sedang belajar tentang radio di Mix FM. Akhirnya salah satu siswa PKL memanggilkan Ibu Maya, manajer Mix FM yang juga istri direkturnya.  

Untuk bertahan hidup, pengelola Mix FM harus menyewakan sebagian lahan untuk aktivitas mengepul barang-barang rongsok. (Foto: Sundea)
Untuk bertahan hidup, pengelola Mix FM harus menyewakan sebagian lahan untuk aktivitas mengepul barang-barang rongsok. (Foto: Sundea)

Mempertahankan Sejarah dan Perjuangannya

“Apa yang menarik dari Mix FM? Apa yang mau ditulis?” tanya Ibu Maya setelah aku memperkenalkan diri.

“Saya sebetulnya juga belum tahu, Bu, tapi pasti ada,” sahutku yakin.

Ternyata, di balik Mix FM yang berdiri sampai hari ini ada perjalanan panjang dan berliku. “Ini amanah yang harus saya jalani,” ujar Ibu Maya.

Mix FM diinsiasi Pak Iskandar Sanitioso, suami Ibu Maya yang sudah berdekade-dekade menggeluti dunia radio. Meskipun bisnis radio mulai redup dan kepemilikan radio-radio lain sudah berpindah-pindah bahkan berganti nama, Pak Iskandar tak mau menjual stasiun radionya. Selama masih mendapat izin untuk mengudara, ia mempertahankan radionya sekuat tenaga. Padahal kondisi fisik Pak Iskandar sendiri sudah tak begitu baik. Sejak pandemi Covid-19, ia Iskandar sudah terserang stroke.

“Alasan mepertahankannya apa?” tanyaku.

“Katanya sejarahnya, perjuangannya,” ujar Ibu Maya.

Sampai saat ini Mix FM—yang dulunya bernama AR atau Arus Rizki—masih mampu bertahan hidup dengan stabil walaupun tak lagi mendatangkan keuntungan seperti dulu. Ibu Maya pun mencari cara agar Mix FM dapat menafkahi dirinya sendiri, antara lain dengan meminimalkan jumlah penyiar dan tak menggunakan operator.

“Tinggal setting dari jam berapa sampai jam berapa, lagu otomatis keluar sendiri,” kata Ibu Maya.

“Oh, tadi aku dengar lagi keluar lagu-lagu Mandarin, ya?” tanyaku.

“Lagu Mandarin? Di radio lain?” Ibu Maya balik bertanya.

“Bukan, di Mix FM,” sahutku.

“Ah, masa sih? Nanti saya cek…”

Sementara itu, untuk membayar pajak yang tidak murah, pekarangan belakang Cihanjuang 10 terpaksa disewakan kepada pengepul rongsok dan petani. “Uangnya cepat dan ada,” alasan Ibu Maya.

Saham perusahaan radio ini dipegang oleh keluarga Sanitioso dengan Pak Iskandar sebagai penanggung jawabnya. Aku pun kemudian tahu, keluarga-keluarga yang tinggal di Cihanjuang 10 adalah putra dan saudara dokter Sanitioso, dokter yang tercatat dalam sejarah pernah merawat tokoh pendidikan perempuan Dewi Sartika. Setelah RSUD Cibabat dikembalikan kepada Indonesia, dokter Sanitioso pun menjadi kepala rumah sakitnya yang pertama. Pak Iskandar Sanitioso sendiri adalah putra beliau.

Aku diizinkan melihat-lihat studio dan koleksi kaset Mix FM. Beberapa di antaranya tampaknya sudah terbilang langka. Ada foto-foto lama yang tampaknya bercerita banyak, tetapi tentu tak boleh kutafsirkan dengan sok tahu.

Di Cihanjuang 10, aku melihat sejarah yang belum berhasil kueja, gambar yang sepotong-sepotong seperti puzzle yang belum lengkap, dan kecintaan yang harus diurai dengan sabar dan pelan-pelan agar dapat dimengerti sebaik-baiknya.

Tangga melingkar di stasiun Radio Mix FM mengingatkan pada waktu yang selalu menyediakan pijakan yang konsisten. (Foto: Sundea)
Tangga melingkar di stasiun Radio Mix FM mengingatkan pada waktu yang selalu menyediakan pijakan yang konsisten. (Foto: Sundea)

Baca Juga: Salamatakaki #18: Membangun Parahyangan Orchestra dengan Cinta dan Hormat
SALAMATAKAKI #17: Sepotong Cerita yang Mungkin Terlamblast

Kenangan Jenih Masa Kanak-kanak

Menjelang sore, suamiku dan aku mengucapkan terima kasih dan pamit pulang. Aku menyimpan nomor ponsel Ibu Maya karena aku yakin akan banyak pertanyaan susulan selama aku menulis. Aku pun berniat melengkapi serpihan informasi yang kudapat melalui berbagai sumber yang dapat kujangkau dan sudah mulai kupetakan.

Di perjalanan pulang, kembali kami memutar radio yang ternyata masih menyiarkan lagu-lagu Mandarin.

“Eh, salah, deh, ini 92.10. Mix FM kan 92.9,” kata suamiku.

“Oh, iya. Tapi 92.9 tadi kayaknya nggak a… eh, sekarang ada, ding, tapi kresek-kresek.”

Pantas saja Ibu Maya sempat bingung. Mana ada lagu Mandarin di radionya? Demi mendengarkan Mix FM di frekuensi yang tepat, kami bertahan dengan suara radio yang kurang jernih. Anehnya, semakin jauh dari Cihanjuang 10, Mix FM justru terdengar semakin bersih. Kami menikmati lagu-lagu pop jazz retro yang disiarkan di saluran itu.

Tahu-tahu masa kanak-kanakku yang sudah jauh berlalu terkenang jernih: ketika radio masih menjadi ajang berkirim salam, ketika kita harus mengirmkan request dan menunggu untuk mendengarkan lagu favorit kita, ketika penyiar radio bersuara empuk adalah misteri yang tak dapat dengan mudah di-stalk  di media sosial, ketika drama radio yang imajinatif perlu kita nantikan setiap episodenya dengan penuh kesabaran, ketika aku yang masih anak-anak selalu tertawa berderai mendengar istilah “kol gepeng” di siaran berita karena membayangkan Gepeng pelawak Srimulat.

Aku lantas teringat pada kakiku yang kufoto pada tangga melingkar di stasiun radio Mix FM. Waktu selalu menyediakan pijakan yang konsisten seperti anak tangga, walaupun polanya tak selalu lurus-lurus saja.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//