Salamatakaki #18: Membangun Parahyangan Orchestra dengan Cinta dan Hormat
Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung mendirikan kelompok orkestra yang dinamai Parahyangan Orchestra (Parchestra). Sengaja dibangun berbasis komunitas.
Sundea
Penulis kelontong. Dea dapat ditemui di www.salamatahari.com dan Ig @salamatahari
27 Juni 2023
BandungBergerak.id – Tak sampai 24 jam setelah loket virtual dibuka, tiket konser Jelajah tandas. Jelajah adalah konser perdana Parahyangan Orchestra (Parchestra) yang diadakan 20 Juni 2023 di auditorium Pusat Pembelajaran Arntz-Geise (PPAG) Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung. Panitia yang tak menyangka sambutan publik seantusias itu segera menghentikan rencana penggencaran publikasi. Mereka memilih berhenti dulu dan menggunakan waktu untuk mendiskusikan cara menampung luapan daya dan minat sebesar itu. Bayangkan. Demi menyaksikan Jelajah, 960 kursi habis dipesan kurang dari satu malam!
Persiapan konser Parchestra melempar ingatanku pada tujuh bulan silam, ketika untuk pertama dan terakhir kalinya orkestra Bandung Philharmonic mengadakan konser di auditorium PPAG Unpar.
Setelah bertahun-tahun memimpikan gedung konser yang layak, Bandung Philharmonic justru tak sanggup bertahan begitu auditorium PPAG siap digunakan. Namun aku ingat pesan Robert Nordling — direktur artistik Bandung Philharmonic — pada konser 19 November 2022 itu. “Saya tidak ingin konser terakhir ini menjadi perpisahan yang sedih. Saya lebih ingin mengisinya dengan kegembiraan dan ucapan syukur,” ujar Robert.
Bandung Philharmonic sudah membuka jalan untuk mengenal dan mengalami orkestra. Setelah tak mungkin melanjutkan konser-konser besarnya yang rutin, Robert mendorong semua orang mencari orkestra-orkestra lain untuk ditonton maupun dimasuki sebagai pemain.
Gagasan membentuk orkestra di Unpar dicetuskan Pastur Harimanto OSC, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Unpar, pada akhir tahun 2022. Ketika itu jurusan Integrated Arts dari Fakultas Filsafat Unpar tengah mengadakan open stage di auditorium PPAG Unpar. “Yayasan titip pesan supaya auditorium PPAG diisi dengan program-program budaya,” ujar Pastur Harimanto. Unpar, yang sudah membangun fasilitas gedung konser serius, merasa bertanggung jawab memberikan kontribusi kepada pertumbuhan seni budaya di Bandung. “Kalau bisa PPAG Unpar ini nanti menjadi pusat kebudayaan,” kata Pastur Hari lagi.
Maka, sejak April 2023, dimulailah perjalanan pembentukan Parchestra. Fauzie Wiriadisastra, co-founder Bandung Philharmonic yang juga tercatat sebagai dosen di jurusan Integrated Arts Fakultas Filsafat Unpar, ditunjuk sebagai ketua. Parchestra dibangun sebagai orkestra berbasis komunitas. “Ini bentuk yang paling masuk akal,” ujar Fauzie. Meskipun pemain tetap dihimpun melalui proses audisi, formasi Parchestra disesuaikan dengan sumber daya yang ada. “Misalnya, nggak ada pemain basoon dan trombone di Parchestra. Kalau ada komposisi yang butuh horn, saya sendiri yang main, orang lain yang ngaba,” lanjut Fauzie.
Tak hanya membuka audisi pemain, Parchestra pun mengaudisi pengaba dan komposer in house. Terpilih 2 asisten pengaba (Afdhal Zikri, Milton Sandyka) dan 6 komposer (Filipus Wisnumurti, Gavin Wiyanto, Lucy Freia, Rama Anggara, Regina Sutisno, Dave Ai Wise). “Dengan ikut Parchestra, akhirnya bisa mendapat akses terhadap karya komposer hebat. Buat saya pribadi juga menambah bahasa musik untuk modal komposisi. Dengan ini juga bisa menambah pengalaman untuk modal studi lanjut, entah di jalur komposisi atau conducting,” ujar Milton. Pemuda 23 tahun itu bahkan bersedia mengupayakan datang dari Semarang, kota asalnya, untuk ikut tampil di konser Parchestra dan turut mempersiapkan kelahirannya.
Salamatakaki #16: Menempuh Katempuhan dengan Keikhlasan
SALAMATAKAKI #17: Sepotong Cerita yang Mungkin Terlamblast
Parchestra Sebagai Sarana Pendidikan
Sebagai orkestra yang bernaung di bawah universitas, Parchestra tak lepas dari fungsi edukasi. “Parchestra adalah salah satu media Integrated Arts Unpar,” tulis Profesor Bambang Sugiharto, pembina Parchestra, di pengantar booklet konser. Integrated Arts adalah konsentrasi studi baru di bawah Fakultas Filsafat. Integrated Arts membayangkan pendidikan seni yang bersilang dengan ilmu lain, kerja kreatif dalam berbagai kolaborasi, dengan berbagai sumber daya dan jejaring pengetahuan.
Di konser Jelajah, tugas kuliah Geraldy Louis, salah satu mahasiswa Integrated Arts, ditampilkan dengan orkestrasi garapan Natia Warda. Geraldy pun membuat sendiri gambar-gambar yang ditayangkan di layar untuk menemani komposisinya, “Treasure Hunt Game”. Karya Geraldy dibuat seperti alur game. Tampilan yang ia buat pun menggiring kita berimajinasi sebagai pemain game.
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Potret Unpar pun berkesempatan bereksperimen memotret orkestra, sejak proses latihan hingga konser. Kecuali foto kakiku sendiri, semua foto yang diunggah di artikel ini adalah buah karya UKM Potret Unpar.
Tak hanya memberikan pendidikan bagi mahasiswa Unpar, Parchestra pun membuka kesempatan belajar bagi semua pihak yang terlibat dengan orkestra ini; mulai dari kolaborator sampai musisi. Sebagai orkestra berbasis komunitas, musisi yang terjaring dalam Parchestra tak semuanya profesional. Beberapa di antaranya bahkan masih duduk di bangku SMU. “Ada beberapa musisi (profesional dan senior) yang saya kontak khusus. Setelah mereka ikut audisi, saya kasih tahu dulu kayak apa kondisi orkestranya,” kata Fauzie.
Ternyata cita-cita membangun orkestra dengan iklim yang baik membuat musisi-musisi profesional dan senior tak ragu bergabung. Mereka bersedia mengambil peran sebagai pembimbing. Dua musisi di antaranya adalah Fadliansyah, concert master Parchestra yang juga violinis di beberapa orkestra besar seperti Twilite Orchestra dan Erwin Harnoko, pemain tuba senior yang pernah menjadi pelatih marching band dan kini berprofesi sebagai Vice President of Market Innovation di sebuah perusahaan makanan ringan.
Ruang kolaborasi yang terbuka lebar pun memberikan kesempatan kepada banyak orang untuk bersentuhan langsung dengan disiplin ilmu lain. Hafiz Emriadi, desainer asal Padang Panjang, membuat animasi partitur yang disinkronkan dengan “Sepatagon”, komposisi berketukan 7/8 karya Rama Anggara. Virliya Putricantika dan Prima Mulia dari Bandungbergerak.id mengisi foto untuk dua karya bertema kota, “City of Million Gardens” dan “Restless City”. Persentuhan-persentuhan ini pulalah yang membuat pengalaman menonton Parchestra terasa kaya. Tak sekadar menikmati musik, kita pun diajak menjelajahi berbagai kemungkinan yang bersisian dengannya.
Konser Jelajah
“Setiap orkestra punya sifat masing-masing,” kata Fauzie. Sebagai media Integrated Arts yang disiapkan terintergrasi dengan banyak disiplin ilmu, komunitas, isu, dan kesenian, Parchestra akan menjadi orkestra yang bersifat “penjelajah”. Itu sebabnya Jelajah diangkat sebagai judul konser perdananya.
Pintu masuk dibuka sejak pukul 18.00 sebelum konser dimulai tepat pukul 19.00. Tujuh karya diperdanakan dalam Jelajah. Di sesi pertama ada “Cakrawala” yang akbar karya Filipus Wisnumurti, “Treasure Hunt Game” yang seru karya Geraldy Louis dan Natia Warda, “City of Million Gardens” yang menjelajahi manisnya taman-taman kota karya Gavin Wiyanto, kemudian, sebelum sesi intermission, kita diajak ikut terbelit hiruk-pikuk kota dalam “Restless City” karya Lucy Freia.
Setelah menyaksikan sesi pertama, penyanyi Marcel Siahaan yang malam itu hadir bersama istrinya, Rima Melati, menyampaikan pendapatnya. “Saya campur aduk perasaannya karena sebagai alumni dari Universitas Katolik Parahyangan, ini adalah pertama kali saya bisa hadir di auditorium ini dan menyaksikan sendiri konser pertama Parahyangan Orchestra. Jadi seolah-olah ketika saya datang langsung dikasih yang nyata,” ungkap Marcel Siahaan.
Menurut Marcel, auditorium PPAG adalah faktor penting dalam konser karena dapat merepresentasikan musik yang ditampilkan. Dengan adanya akustik yang baik, orkestra tak membutuhkan sound system. Setelah dua puluh tahun, Marcel mengaku baru kali itu menyaksikan sebuah konser tanpa mikrofon dan sound system.
Sinkronisasi audio dan visual pun sesuai. Menurut Rima Melati, foto-foto Virliya Putricantika dari Bandungbergerak.id memiliki relasi dan dapat merepresentasikan komposisi favoritnya, “City of Million Gardens”.
Setelah beristirahat selama kurang lebih 15 menit, Jelajah lanjut ke sesi dua. Tiga karya dihidangkan. Ada komposisi dengan ketukan tidak biasa, “Septagon”, karya Rama Anggara. Dilanjutkan dengan “Opportunity” karya Regina Sutisno yang menceritakan robot penjelajah Mars. Komposisi tersebut disertai ilustrasi menggemaskan dari Ningski yang juga pemain viola di Parchestra. “Kawan Perjalanan” menjadi komposisi penutup. Musiknya dibuat Gavin Wiyanto dan liriknya ditulis aku. Karya tersebut dinyanyikan dengan sangat memukau oleh Paduan Suara Mahasiswa (PSM) Unpar yang tak perlu diragukan lagi kepiawaiannya. Di aba oleh Afonsus Albert, Parchestra dan PSM Unpar mempersembahkan komposisi terebut dengan dinamika nan bercerita.
Konser diakhiri dengan gegap gempita tetapi tertib. Taos, kawanku yang ikut hadir di konser Jelajah dan untuk pertama kali menonton orkestra punya tanggapan menarik. “Buat aku ini mewah banget. Tapi aku jadi sadar kalau aku teh pengaba juga,” ujar Taos.
Taos yang sehari-harinya bekerja sebagai juru parkir menemukan kemiripan antara apa yang dilakukannya dengan setiap pengaba yang mengatur orkestra di panggung. “Waktu pengaba ambil napas, terus waktu ngatur sambil tunjuk pemain, apa lagi pas lagu ‘Restless City’,” lanjut Taos.
Setelah konser usai, aku mengamati hadirin. Ada yang langsung meninggalkan auditorium, masih bertukar sapa, dan berfoto-foto. Kusadari kursi penonton tidak penuh, padahal seluruh tiket habis dipesan. Bagaimana bisa, ya?
Tiga Puluh Persen Tidak Hadir
Setelah dicek oleh panitia, ternyata ada 30% pemegang tiket yang tak hadir di konser Jelajah. Menurutku sangat disayangkan. Sebab masih banyak sekali peminat Jelajah yang gagal mendapatkan tiket dan betul-betul berharap mendapatkan kesempatan untuk menonton. Seandainya si pemegang tiket tak dapat hadir, kupikir setidaknya ia menghibahkan kesempatannya kepada orang lain.
Pemain musik, komposer, pengaba, paduan suara, dan segenap panitia yang terlibat menunjukkan cinta dan hormatnya terhadap orkestra dengan komitmen kerja, berlatih, hadir tepat waktu, dan bermain musik sebaik-baiknya. Agar setiap kalangan masyarakat dapat menyaksikan konser orkestra tanpa terkendala dana, pun sebagai bentuk cinta dan hormat terhadap seni budaya, Unpar dan beberapa sponsor berkomitmen memberikan subsidi penuh. Itu sebabnya meskipun diadakan di gedung konser serius, Jelajah dapat ditonton secara gratis.
Aku jadi teringat pada kebiasaan yang sering kudapati di acara-acara prasmanan. Ketika aneka makanan dihidangkan gratis, ada saja orang-orang yang meraup banyak-banyak untuk diri sendiri, tetapi lupa mengukur kapasitas pribadi. Akibatnya mereka tak dapat menghabiskan apa yang mereka ambil, lantas meninggalkan banyak sisa makanan secara mubazir. Padahal masih banyak orang lain yang ingin makan dan tak akan membuang-buangnya.
Jika kebetulan menyaksikan situasi seperti itu, di dalam hati kadang-kadang aku bertanya-tanya sendiri. Tidakkah mereka yang mengambil makanan terlalu banyak merasa bersalah ketika meninggalkannya? Sadarkah mereka apa yang mereka lakukan bernama serakah dan egois? Aku yakin mereka bukan sengaja ingin menjadi manusia serakah dan egois. Namun, adakalanya nilai dan etika tertimbun oleh kebiasaan-kebiasaan buruk yang diterima sebagai kewajaran.
Maestro Robert Nordling selalu menekankan bahwa orkestra dibangun atas dua hal: cinta dan hormat. Mungkin sebelum berkenalan dengan musik orkestra, ada baiknya kita lebih dahulu berkenalan dengan “cinta” dan “hormat”.