Salamatakaki #16: Menempuh Katempuhan dengan Keikhlasan
Ada komitmen terhadap kucing dalam karya-karya Sumastania Widyandari dalam pameran tunggalnya bertajuk “Katempuhan Buntut Ucing” di galeri Kunasi.
Sundea
Penulis kelontong. Dea dapat ditemui di www.salamatahari.com dan Ig @salamatahari
23 Mei 2023
BandungBergerak.id – Pernahkah kamu katempuhan buntut maung alias harus menanggung akibat dari kesalahan orang lain? Repot? Sudah pasti. Bikin jengkel? Jangan ditanya. Namun, pernahkah kamu katempuhan buntut ucing seperti Sumastania Widyandari alias Dea? Repot? Pasti. Bikin jengkel? Hmmm. Apa iya?
Sudah lama Dea mempunyai ikatan istimewa dengan kucing. Kucing menjadi obyek karya tugas akhir S1-nya pada tahun 2003-2004. Sejak katempuhan buntut ucing sekitar tahun 2019, Dea bahkan semakin fokus menghadirkan kucing dalam karya-karyanya. “Waktu itu ada lima anak kucing yang dibuang di depan rumah aku,” cerita Dea.
Sebagai pencinta kucing, tentu saja Dea tidak tega membiarkan kucing-kucing itu terlantar. Takdir katempuhan dijalankannya dengan telaten dan sepenuh hati. Lucunya, sejak Dea merawat bayi kucing, anak-anak Dea sendiri justru semakin manis dan patuh kepada Dea.
“Kok bisa? Apa hubungannya, ya?” tanyaku takjub.
“Mungkin mereka kagum lihat Ibunya bersihin upil anak kucing segala,” sahut Dea sambil tertawa.
Selain itu, merawat kucing adalah bentuk kesibukan yang membuat Dea hadir utuh. Biasanya kesibukan lain menenggelamkan Dea dalam lamunan dan rencana-rencana ke depan. Sementara itu, kucing yang berada di kondisi darurat memaksa Dea fokus terhadap apa yang sedang ada di depan mata, pada “saat ini”. Mungkin kehadirutuhan itu pulalah yang menghidupkan komunikasi Dea dan anak-anaknya. Kerepotan Dea menghadiahinya kemudahan dalam hal lain.
Sayangnya nyawa kelima anak kucing tersebut tidak selamat. Kendati demikian, takdir katempuhan buntut ucing Dea berlanjut ke episode berikutnya. Beberapa bulan kemudian, datanglah kucing betina dalam keadaan memprihatinkan yang dinamai Tilly. Menyusul seekor anak kucing jantan yang lantas dinamai Bob. Kabar baiknya, sampai artikel ini kutulis, kedua kucing tersebut masih hidup dengan sehat dan aktif di tengah-tengah keluarga Dea.
Baca Juga: SALAMATAKAKI #13: Misterinspyro dan Segala Cinta di Dalamnya
SALAMATAKAKI #14: Laksana Home Alone di Aloen-aloen Tjitjendo
Salamatakaki #15: Konser Maria Mazzotta, Nostalgia, dan Pelintiran Alur Selepasnya
Pameran Katempuhan Buntut Ucing
“Katempuhan Buntut Ucing” adalah pameran tunggal Dea di galeri dan kafe Kunasi, Jalan Gandapura no.61, Bandung. Pameran ini berlangsung sejak tanggal 19 Mei hingga 5 Juni 2003 mendatang.
Tilly, yang sudah lebih lama hidup bersama Dea, hadir di sebagian besar karya Dea. Begitu banyak bahasa tubuh Tilly yang dieksplorasi Dea sebagai lukisan. Sementara Bob, yang hadir pada enam kanvas terakhir, dilukis dengan gestur yang lebih kaku. Dilansir dari pengantar pameran yang ditulis dengan hangat oleh Mujahidin Nurrahman alias Udin, kehadiran Bob lah yang menjadi tanda bahwa seri kucing dengan gaya visual Dea masih akan berlanjut dan digali.
Udin menulis, pada lukisan-lukisannya Dea mengisi tubuh kucing dengan kombinasi warna yang ciamik namun datar. Bagi Dea bidang gambar yang datar seharusnya tetap datar. Maka, ia tidak berupaya melukis gestur kucing-kucingnya dalam wujud tiga dimensi. Tidak ada satu pun lukisan Dea yang ia buat dengan efek bayangan.
Menariknya, di pameran tunggalnya itu Dea juga membuat karya tiga dimensi dalam bentuk patung-patung kucing kayu yang dipahatnya sendiri. Kucing-kucing tersebut merepresentasikan kelima anak kucing asuhannya yang tak berhasil menyintas. Berbanding terbalik dengan lukisan warna-warninya, kucing-kucing tiga dimensi Dea tidak diwarnai dan disusun di area luar Kunasi.
“Kalau yang itu, kenapa separuhnya berwarna?” tanyaku sambil menunjuk seekor kucing kayu yang berdiri di perbatasan area luar dan dalam.
Menurut Dea, kucing kayu di perbatasan tersebut seakan berada dalam proses memasuki cahaya kehidupan. Bagian tidak berwarna menunjukkan kondisi liar belum tersentuh. Begitu didomestikasi seperti judul beberapa seri lukisan-lukisan Dea, barulah si kucing mendapatkan warnanya.
Pada pembukaan pameran “Katempuhan Buntut Ucing”, tak hanya manusia yang hadir. Kunastri, kucing liar yang mulai menganggap Kunasi rumahnya, dan Olaf, pug lincah yang senang bersosialisasi, turut menyaksikan kucing-kucing Dea yang diceritakan sebagai karya. Mungkin diam-diam mereka turut merayakan dan mendukung misi baik di balik penjualan karya-karya Dea.
Jadi, Teman-teman, dua puluh persen hasil penjualan karya di pameran ini akan disumbangkan ke kelompok pencinta satwa ITB Street Feeding. Selain untuk memberi makan satwa di jalan, gerakan ini pun berkomitmen mensterilkan kucing-kucing liar agar kisah lima anak kucing yang gagal menyintas jangan terjadi lagi. Meskipun ada saja yang ikhlas katempuhan buntut ucing dan menjadi sayang, alangkah baiknya menjaga populasi agar semua makhluk hidup dapat saling memelihara secara seimbang.
Ada komitmen terhadap kucing pada karya-karya Dea, begitu ungkap Udin dalam sesi artist talk. Dea sendiri menyadari hal itu. Dea menemukan kemiripan antara dirinya dan air cucian di rumahnya yang selalu mengalir ke tempat yang sama. “Kepada kucing saya selalu kembali,” ujar Dea.
Katanya katempuhan buntut maung membuat kapok. Namun, bagi Dea, katempuhan buntut ucing justru menjadi berkah yang hadir bercabang-cabang dalam kehidupannya. Kusadari, berkah itu diantar oleh keikhlasan Dea merawat dan mencintai.
Pada lukisan kucing-kucing terdomestikasi di karya-karya Dea, tak ada bayang-bayang.
Di sana hanya ada sayang-sayang.