• Kolom
  • SALAMATAKAKI #14: Laksana Home Alone di Aloen-aloen Tjitjendo

SALAMATAKAKI #14: Laksana Home Alone di Aloen-aloen Tjitjendo

Desain dan konsep taman Alun-alun Cicendo sangat menarik. Sayang perawatannya kurang jalan. Merawat memang selalu menjadi bagian terberat dalam setiap perjalanan.

Sundea

Penulis kelontong. Dea dapat ditemui di www.salamatahari.com dan Ig @salamatahari

Alun-alun Cicendo rampung dibangun pada tahun 2018. Sejumlah fasilitas kurang mendapat perawatan. (Foto: Sundea/Penulis)

25 April 2023


BandungBergerak.id“Lho? Di sini ada taman?” tanyaku.

“Ada. Bagus, deh, desain tamannya,” sahut suamiku.

“Kamu pernah ke sini?”

“Belum pernah masuk-masuk banget, sih, mau lihat?”

“Ayo…”

Kami pun melipir. Bagiku, menemukan taman luas yang dipeluk oleh toko-toko besi tua, toko-toko barang bekas, dan penyedia peralatan tentara di bilangan Jatayu yang terkesan “keras” seperti menemukan gerbang rahasia menuju dimensi lain. Bersemangat, aku memasuki dan menelusurinya.  

Ternyata taman itu bernama Alun-alun Cicendo. Jika dilihat dari posisinya yang persis di tengah berbagai kegiatan, tempat tersebut memang pantas sekali dijadikan alun-alun. Aku pun menemukan jejak berbagai cita-cita pada fasilitas-fasilitasnya yang sayangnya mulai tidak terawat. Aku jadi bertanya di dalam hati, berapa, sih, sebetulnya usia alun-alun ini?

Penulis berfoto bersama di Alun-alun Cicendo, Kota Bandung, April 2023. (Foto: Sundea/Penulis)
Penulis berfoto bersama di Alun-alun Cicendo, Kota Bandung, April 2023. (Foto: Sundea/Penulis)

Berhubung kami datang di masa libur Idulfitri, Alun-alun Cicendo cukup sepi. Kami tak segera menemukan petugas yang dapat ditanya-tanyai. Maka, aku mencari informasi melalui Google dulu.

Dilansir dari situs shau.nl, Alun-alun Cicendo rampung dibangun pada tahun 2018. Proyek itu merupakan kolaborasi biro arsitektur SHAU dan konsultan lanskap OZ Landscape sebaga komisi dari Ridwan Kamil yang ketika itu menjabat sebagai Wali Kota Bandung.

Desain dan konsep Alun-alun Cicendo sangat menarik. Sesuai dengan karakter kawasan pembangunannya, besi menjadi tema taman teserbut.  Beberapa bagian—antara lain paviliun utamanya—bahkan sengaja dibuat berwarna karat dengan penggarapan artistik yang tidak main-main.

Di lahan seluas 750 meter persegi itu pun tersedia banyak fasilitas menarik. Mulai dari panggung, kursi besi yang juga dapat berfungsi untuk tempat bermain anak-anak, lapangan basket, kolam dangkal, taman Zen, area untuk bermain skateboard, pasar seni, jalur kursi roda untuk kawan-kawan difabel, sampai titik-titik swafoto yang dipikirkan baik-baik.

“Di bawah ada apa, ya?” tanyaku.

“Lihat, yuk,” tanggap suamiku.

Kami berdua menuruni tangga dan mendapati lorong pendek, pembatas taman dengan kios-kios yang kompak tutup dalam rangka libur Idulfitri. Meskipun tampak sepi seperti kota mati, ada saja yang tampak menarik. Misalnya, kami menemukan jok mobil dan meja pendek untuk tempat duduk tamu di depan sebuah kios kopi. Di kios lain terdapat dasbor mobil tua yang disandarkan menghadap matahari.

Baca Juga: SALAMATAKAKI #11: Rumah Petik yang Merajut Sinar
SALAMATAKAKI #12: Iqra, Kajian Jumaahan di Kedai Jante
SALAMATAKAKI #13: Misterinspyro dan Segala Cinta di Dalamnya

Plafon rusak di paviliun Alun-alun Cicendo, Kota Bandung, April 2023. (Foto: Sundea/Penulis)
Plafon rusak di paviliun Alun-alun Cicendo, Kota Bandung, April 2023. (Foto: Sundea/Penulis)

Kurang Terawat

Siang itu, suamiku dan aku bersilaturahmi dengan sepi. Kami menjelajahi keluasan Alun-alun Cicendo yang hari itu nyaris tak berpengunjung. Ternyata, taman keren yang baru berusia lima tahun itu sudah rusak di sana-sini. Aku mendapati lubang menganga yang diabaikan di tangga paviliun, plafon area pasar seni yang nyaris lepas, dan tempat sampah yang kehilangan wadahnya. Kolamnya pun dikeringkan.

Ketika akhirnya menemukan petugas taman yang sepertinya bisa ditanya-tanyai, buru-buru aku menghampiri. Namanya Gunawan. Beliau menginformasikan, Alun-alun Cicendo berada di bawah kecamatan dan dinas pertamanan. Aku langsung menanyakan adakah rencana renovasi dari pengelolanya, sebab jika dibiarkan, berbagai kerusakan yang dibiarkan akan semakin parah. Menurut Gunawan rencana itu sudah ada dan mulai dilakukan. Namun, konon dananya agak sulit turun sehingga perbaikan tersebut tak dapat langsung dituntaskan.

Setelah mengobrol dengan Gunawan, aku duduk di area panggung sambil mengamati lanskap Alun-alun Cicendo. Tempat tersebut berada di posisi yang unik. Desain dan konsepnya pun sangat menarik. Pada perencanaannya yang diunggah di internet, aku melihat berbagai mimpi-mimpi baik yang dititipkan melalui rancangan fasilitas-fasilitasnya. Kusadari, merawat memang selalu menjadi bagian terberat dalam setiap perjalanan. Sayang banget.

Tangga besi yang keropos dan bolong di taman Alun-alun Cicendo, Kota Bandung, April 2023. (Foto: Sundea/Penulis)
Tangga besi yang keropos dan bolong di taman Alun-alun Cicendo, Kota Bandung, April 2023. (Foto: Sundea/Penulis)

Saat sedang melempar pandang ke sembarang arah, tatapanku bertemu huruf-huruf pudar yang mencatat kutipan:

“Cinta itu dirasakan, bukan dipikirkan. Ia lebih butuh balasan daripada alasan – Pidi Baiq”.

Aku jadi mencoba merasa-rasa. Apakah aku mencintai Alun-alun Cicendo yang baru kukenal hari itu? Walaupun “sayang” adalah perasaan, apakah ungkapan “sayang banget” sebetulnya melintas sebagai pikiran saja?

Aku jadi mengerti bahwa mimpilah yang selalu mencintai lebih dulu, menaruh kepercayaan kepada harapan, dan merasakan bahagia seutuh-utuhnya sebelum sempat menggenggam bukti apa-apa. Lantas siapa yang tidak membalas cintanya dan sibuk mencari-cari alasan? Jangan-jangan aku…

Siang itu, di tengah silaturahmi dengan sepi, kubisikkan “mohon maaf lahir dan batin” kepada mimpi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//