• Kolom
  • Salamatakaki #15: Konser Maria Mazzotta, Nostalgia, dan Pelintiran Alur Selepasnya

Salamatakaki #15: Konser Maria Mazzotta, Nostalgia, dan Pelintiran Alur Selepasnya

Instituto Italiano di Cultura Jakarta menghadirkan konser seniman Italia Maria Mazzotta. Konser diadakan di auditorium Institut Francais Indonesia Bandung.

Sundea

Penulis kelontong. Dea dapat ditemui di www.salamatahari.com dan Ig @salamatahari

Salamatakaki dan poster konser Maria Mazzotta di Institut Francais Indonesia (IFI) Bandung. (Foto: Sundea)

9 Mei 2023


BandungBergerak.id  – “Wih, sejak kapan ada yang baru?” takjubku saat melihat kursi-kursi lipat di auditorium Institut Francais Indonesia alias IFI di bilangan Purnawarman, Bandung. Kursi-kursi bersandaran rotan membuat auditorium IFI terlihat lebih cantik dan terang benderang. Sambil duduk di salah satunya, aku mencoba mengingat kembali, kapan terakhir kali aku mampir ke IFI untuk menonton acara yang disajikan di sana.

Saat masih mahasiswa, sampai tahun-tahun pertama setelah lulus kuliah, IFI (yang dulu masih Centre Culturel Francais alias CCF) adalah salah satu tempat hiburan favorit teman-temanku dan aku. Kami sering berbondong-bondong datang ke acara-acara IFI, padahal belum tentu tahu persis apa yang akan kami tonton.

Sebagai kaum muda yang haus hiburan tapi kurang modal, bagi kami program CCF ideal adanya. Selain gratis (atau setidaknya dengan harga tiket yang sangat terjangkau), suguhan CCF senantiasa bermutu dan memperkaya pengalaman. Aku ingat, setelah atau sebelum menyaksikan konser, film, teater, atau pertunjukan-pertunjukan unik lainnya, teman-temanku dan aku sering duduk-duduk di dekat selokan CCF sambil jajan kopi saset. Kami berdiskusi dengan kesokseriusan khas mahasiswa sastra. Kami selalu pulang dari CCF dengan hati dan kepala penuh. Aku yakin diskusi-diskusi sok tahu kami pada masanya punya kontribusi terhadap cara berpikir kami hari ini.

Kuamati CCF yang telah berganti nama menjadi IFI, kursi-kursi yang memberinya wajah baru, Ricky Arnold, teman kuliahku yang telah menjadi penanggungjawab bidang budaya, dan beberapa wajah lama yang kulihat hadir di bangku penonton.

Saat melempar pandang ke seluruh ruang auditorium, kusadari, untuk ukuran acara gratis di malam minggu, auditorium IFI tak sepenuh dulu. Di dalam hati aku membatin. Mungkin zaman memang sudah berubah. Mahasiswa di masa ini punya kebutuhan dan alternatif hiburan yang lebih beragam dibanding kami sekitar 15 tahun silam.

Kursi lipat baru di auditorium Institut Francais Indonesia (IFI) Bandung. (Foto: Sundea)
Kursi lipat baru di auditorium Institut Francais Indonesia (IFI) Bandung. (Foto: Sundea)

Baca Juga: SALAMATAKAKI #14: Laksana Home Alone di Aloen-aloen Tjitjendo
SALAMATAKAKI #11: Rumah Petik yang Merajut Sinar
SALAMATAKAKI #12: Iqra, Kajian Jumaahan di Kedai Jante

Konser Maria Mazzotta

Belakangan ini, tak hanya musisi-musisi Perancis yang tampil di IFI, Bandung. Maria Mazzotta misalnya, datang dari Salento, Italia. “Selama ini kan orang lebih banyak tahu musik klasik Itali, ini folk,” ujar Qissera el Thirfiarani, koordinator acara dari Istituto Italiano di Cultura Jakarta. Rupanya sedang diadakan program pertukaran budaya di antara pusat-pusat kebudayaan Eropa di Indonesia. Konser Maria Mazzotta adalah salah satunya.

Maria Mazzotta dikenal dengan kemampuan vokalnya yang unik, riset teliti untuk setiap karakteristik yang harus ia hadirkan dalam musiknya, dan interpretasi budayanya yang tak sekadar kulit. Warna Italia Selatan hingga Semenanjung Balkan hadir begitu natural dalam karya-karyanya.

Malam itu, 6 Februari 2023, Mazzotta tampil di panggung bersama Cristiano Della Monica pada drum dan Ernesto Nobili pada gitar elektrik. Membawakan dua belas lagu (dengan tambahan dua encore), trio ini tampil memukau. Menurutku Maria Mazzotta adalah pencerita yang luar biasa. Meskipun semua lagu dibawakan dalam bahasa Italia yang tak aku mengerti—aku bahkan tak sempat menangkap judul yang disebutkan Mazzotta—emosi dan ekspresi dari setiap komposisi tersampaikan lengkap melalui olah vokal dan gestur yang paling mikro.

Spektrum mimik dan warna vokal Maria Mazzotta sangat kaya. Dengan tangkas, ia pun sanggup melompat dari satu mood ekstrem ke mood ekstrem di kutub sebaliknya. Dari lagu ketujuh yang lincah dan membuat penonton ingin ikut menari-nari sambil bertepuk tangan, Mazzotta pindah ke suasana yang gelap mencekam. Di lagu kedelapan, Mazzotta mengambil sepasang bambu dengan elemen perkusi di puncaknya. Sambil mengentak kedua bambu itu, ia bernyanyi dengan suara bak nenek sihir. Setelah Mazzotta akhirnya melempar kedua tongkatnya, lagu bergulung laksana amarah yang menakutkan.

Maria Mazzotta tampil bersama Cristiano Della Monica pada drum, dan Ernesto Nobili pada gitar elektrik di auditorium Institut Francais Indonesia (IFI) Bandung. (Foto: Sundea)
Maria Mazzotta tampil bersama Cristiano Della Monica pada drum, dan Ernesto Nobili pada gitar elektrik di auditorium Institut Francais Indonesia (IFI) Bandung. (Foto: Sundea)

Dunia Intim Mazzotta, Monica, dan Nobilli

Setelah konser usai, dari Qissera, baru aku tahu lagu tersebut menceritakan seorang perempuan dari wilayah Sisilia, Italia. Ia mencintai tanahnya yang indah, tetapi merasa tak mendapat balasan cinta yang sebanding dari tanahnya. Ia mengalami kehidupan yang susah, menghadapi kekerasan, bahkan diperkosa oleh pemuka agama. Seluruh lagu itu memang mengisahkan kemarahannya.

Pada lagu kesebelas yang lebih lembut dan sendu, kami diajak masuk ke dunia trio Mazzotta, Monica, dan Nobilli secara lebih intim dengan ikut menyanyikan reffrain. Meskipun belum tentu paham isi lagunya, kuperhatikan setiap hadirin menyanyi sepenuh jiwa sambil bergerak-gerak. Qissera bahkan sudah menari-nari luwes di koridor mengikuti irama dan suasana. Aku merasakan sesuatu yang mengalir hangat seperti doa di dalam tubuhku. Aku percaya seni—dalam konteks ini musik—memang sesuatu yang punya kekuatan spiritual.

Seperti Mazzotta, Monica dan Nobilli pun musisi yang eksploratif. “Drummer-nya mentalnya pemain perkusi, gitarisnya juga keren. Kamu sadar nggak di lagu pertama suara gitar dia nggak kayak gitar tapi kayak alat musik gesek?” tanya suamiku yang musisi.

Monica—sang drummer—memang cukup mencuri perhatian karena tampak sibuk memainkan drum dengan cara-cara yang tidak biasa. Mulai dari menabuh drum seperti gendang, memukul simbal dengan telapak tangan, sampai membawa aneka stik dari bahan yang aneh-aneh. Sementara Nobilli menghadirkan berbagai variasi bunyi yang unik dengan gitar elektriknya. Ada bunyi yang galak, ada bunyi yang jenaka, ada juga bunyi yang mirip tetesan air.

Lagu yang seharusnya menjadi lagu terakhir disambut dengan standing ovation dan permintaan lagu tambahan. Demi memuaskan penonton yang masih antusias, trio Mazzotta, Monica, dan Nobilli, mempersembahkan dua komposisi lagi. Lagu tambahan pertama sendu mengharu biru sampai Mazzotta tak sanggup menahan air matanya sendiri di panggung. Mengisahkan Madonna atau Bunda Maria pelindung lautan. Wilayah Salento yang sering disebut “tumit sepatu bot Italia” memang berbatasan langsung dengan lautan. Itu sebabnya penduduk Salento mempunyai ikatan yang erat dan sentimentil dengan laut.

Konser ditutup dengan memuaskan. Di akhir acara, aku baru tahu bahwa sound man untuk konser tersebut pun dibawa Mazzotta dari Italia. Masuk akal, sih, butuh personil yang betul-betul paham musik mereka untuk melayani kebutuhan suara yang sedemikian spesifik dan tidak biasa.

“Rasanya nggak kepengin kehilangan momen. Nggak kepengin potret, nggak kepengin rekam, mau lihat terus,” ujar Mei Suling, salah satu penonton malam itu.

Sementara Nike yang seorang musisi mengaku tak pernah absen hadir di acara-acara musik di auditorium IFI. “Kalau malas ngulik, setelah lihat konser jadi dapat pencerahan,” ungkap Nike. Ia sangat puas menyaksikan konser malam itu, merasa mendapatkan inspirasi, menemukan macam-macam pengaruh musik tradisi yang diinterpretasikan dengan asyik oleh Mazzotta cs, meskipun menyayangkan konser yang dimulai terlambat.

Trio Mazzotta, Monica dan Nobilli menutup konsernya di auditorium Institut Francais Indonesia (IFI) Bandung. (Foto: Sundea)
Trio Mazzotta, Monica dan Nobilli menutup konsernya di auditorium Institut Francais Indonesia (IFI) Bandung. (Foto: Sundea)

Cerita Bonus

Melanjutkan pembahasan nostalgia di awal artikel ini, saat hadir di IFI, aku bertemu dengan wajah-wajah lama yang sudah sekian purnama tidak kulihat. Kami bertukar kabar, berdiskusi tipis-tipis, dan sekilas mengenang masa-masa main ke IFI yang masih CCF pada zamannya.

Semuanya baik-baik saja sampai tiba-tiba muncul akang-akang yang mengaku satu almamater denganku, dari jurusan sastra lain, angkatan ‘97. Aku sempat menyambut baik karena ia menyebut nama dosen dan beberapa senior yang aku kenal. Namun, obrolan mulai tidak nyaman ketika ia mendominasi percakapan, bicara ke mana-mana dengan logika yang luluh lantak, lantas tiba-tiba memaksa aku bergabung dengan gerakan melawan agensi serakah yang ia pimpin di kampus. DI KAMPUS? GINI HARI?

“Siapa dia?” tanyaku kepada temanku.

“Aku juga nggak tahu,” sahut temanku.

Berhubung akang-akang itu terus mendesak, semakin lama semakin intens, mengganggu, dan membuat kami mulai takut, terpaksa aku menolak agak keras. Selanjutnya teman-temanku dan aku buru-buru bubar jalan seperti barisan semut yang didistraksi.

Sungguh pelintiran alur alias plot twist. Ketika aku tengah menikmati nostalgia masa kuliah sambil menonton konser di IFI, bisa-bisanya muncul sosok “dari kampus” yang sepertinya tak sekadar terjebak nostalgia. Iya—sekali lagi—tak sekadar terjebak nostalgia, sebab nostalgia hanya berlaku untuk suatu masa yang kita sadari telah berlalu.

Aku tengadah menatap angkasa dan mendapati purnama mengambang di angkasa gelap. Tahu-tahu cuplikan nyanyian Maria Mazzotta yang bernuansa mistis bagai berpendar bersama halo. Vokalnya yang bercerita dengan ekspresi dan emosi lengkap bak terjebak dan bergema-gema dalam kepalaku. Pernah bertanya dari mana kata luna-tic berasal?

 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//