• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #38: Bertahan di Tengah Gempuran

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #38: Bertahan di Tengah Gempuran

Fasilitas Stasiun Cicalengka saat ini memang sangat jauh dari nyaman. Namun proyek renovasi bangunan stasiun tersebut jangan juga mendestruksi masa lalu.

Muhammad Luffy

Pegiat di Lingkar Literasi Cicalengka

Stasiun Cicalengka berfungsi sebagai stasiun kelas I di Daerah Operasi II Bandung yang mulai beroperasi sejak tahun 1884,, Minggu (3/10/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

26 Juli 2023


BandungBergerak.id – Proyek pembangunan Stasiun Cicalengka yang sedang berjalan sekarang ini menghasilkan tanggapan yang beragam. Mulai dari yang pro, kontra hingga yang bersikap biasa-biasa. Bagi saya yang berada di posisi kontra, proyek pembangunan stasiun tersebut turut mengubur memori kolektif masa lalu yang banyak menampakkan jejak-jejak para pendiri bangsa. Terutama, jika stasiun lama yang masih berdiri itu dihancurkan tanpa menyisakan sedikit pun kenangan.  

Bagi saya, maupun segelintir orang dari pegiat literasi di Cicalengka, stasiun lama merupakan simbol identitas Cicalengka. Sebagai kampung halaman, Cicalengka menaruh berbagai kisah yang masih bisa dijumpai dari dokumen sejarah berupa arsip maupun foto-foto di zaman kolonial. Bila simbol itu hilang, niscaya identitas kampung halaman itu pun pudar dengan sendirinya.

Bagi orang-orang yang pro pembangunan, mereka berpandangan bahwa proyek tersebut merupakan usaha pemerintah untuk memajukan fasilitas publik. Meski tanpa memedulikan aspek historisnya, dukungan itu sekaligus menyepakati penghancuran Stasiun lama yang konon akan dibuat double track. Tetapi bagi kami, hal ini menunjukkan tantangan lain di luar pemilik kebijakan. Sebab, kami harus bertahan di tengah gempuran para pendengung, di samping bertarung melawan waktu.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #35: Kolecer dan Kinerja Buruk Pemerintah dalam Menyokong Kerja Literasi
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #36: Walking Tour Cicalengka, Menghadirkan Lingkungan sebagai Sumber Belajar
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #37: Dari Cicalengka hingga Menjadi Ketua Presiden Penulis Perempuan Asia Tenggara

Penolakan

Sebagai bagian dari penolakan, kami pun lalu membuat petisi dan menggelar audiensi dengan pihak-pihak terkait. Sudah dua kali kami mengadakan audiensi dengan Balai Teknik Perkeretaapian, dan tidak satu pun memperoleh titik terang.

Di tengah penolakan itu, muncul orang-orang yang seolah menganggap kami sebagai benalu. Tidak sedikit dari mereka yang menyayangkan penolakan tersebut seraya berargumen bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah adalah untuk kemajuan bersama.

Penolakan kami, seperti yang sering dikatakan kepada publik, bukanlah penolakan seutuhnya terhadap pembangunan stasiun. Tetapi yang kami tolak hanyalah penghancuran stasiun lama yang mempunyai nilai sejarah tak terbantahkan.

Saat muncul resistensi dari sebagian masyarakat, saya melihat jika hal itu disebabkan kuat oleh faktor minimnya pengetahuan. Boleh jadi, hal ini implikasi dari kurangnya pengetahuan tentang cikal-bakal Stasiun Cicalengka. Artinya, soal cikal-bakal ini tentu bertautan dengan pengetahuan literasi yang mumpuni. Sebab, cara membedakan seseorang dalam bersikap dapat dilihat juga dari pemahaman literasi yang kuat.

 Selain itu, resistensi tersebut juga bisa karena pandangan terhadap satu sisi yang prestisius. Umpamanya, jika pembangunan Stasiun Cicalengka berjalan dengan lancar, dan seluruh fasilitasnya bisa digunakan sepenuhnya, hal itu mereka anggap dapat menambah indeks kebahagiaan. Padahal adanya fasilitas yang baik belum tentu dapat menjamin seseorang bahagia.

Ikhtiar kami agar Stasiun Lama tidak dihancurkan memang tidak menjamin apa pun bagi mereka yang pro terhadap pembangunan. Tetapi kami punya keyakinan bahwa bangunan lama Stasiun Cicalengka kelak dapat dimanfaatkan sebagai medium edukasi sejarah agar masyarakat Cicalengka paham terhadap kampung halamannya sendiri.

Bukan hanya itu. Jika suatu saat bangunan lama tidak jadi dirobohkan, kami bersepakat agar tempat itu dijadikan ruang diskursif seputar kisah-kisah bersejarah Stasiun Cicalengka yang ditunjukkan dengan beragama aspek. Rencananya, kami akan menjadikan bangunan lama tersebut semacam museum kecil yang menampilkan foto-foto di zaman Hindia Belanda disertai dokumen-dokumen lain yang mendukung.

Tentu saja ini hanya rencana dan harapan besar kami. Terlepas dari ikhtiar kami itu, kami memiliki harapan yang lain agar semua elemen masyarakat mendorong upaya kami saat ini.

Persoalannya memang, tidak semua sepakat terhadap ikhtiar yang sedang kami lakukan itu. Hal ini malah dianggap menjadi penghambat program pembangunan yang dicanangkan pemerintah.

Kami sadar betul bahwa fasilitas Stasiun Cicalengka saat ini sangat jauh dari kenyamanan. Tetapi, lagi-lagi, kami ingin supaya pembangunan yang masif itu pun tidak mendestruksi warisan masa lalu.

Bagian belakang Stasiun Cicalengka, diabadikan oleh K. Kroitzsch antara tahun 1900-1910. (Sumber: TM-10014024, collectie.wereldculturen.nl)
Bagian belakang Stasiun Cicalengka, diabadikan oleh K. Kroitzsch antara tahun 1900-1910. (Sumber: TM-10014024, collectie.wereldculturen.nl)

Polemik

Di tengah gempuran dari para pendengung, kami tetap bertahan dengan suara kami bahwa warisan masa lalu lebih berharga dari sekadar fasilitas baik yang lebih modern. Sikap kami tentu tidak membuat nyaman para pemangku kebijakan. Namun tidak ada sedikit saja terbersit di hati kami untuk menolak semua program pemerintah ke arah yang lebih maju.

Sebetulnya, jika saja pemerintah dengan serius berkomunikasi kepada masyarakat dan melibatkan kami para pegiat literasi, mungkin masalah yang muncul ke khalayak publik akan relatif kecil. Saat kami mengeluhkan tidak adanya komunikasi kepada warga, pihak pemerintah berdalih bahwa mereka sudah ada sosialisasi terlebih dulu kepada warga yang terdampak di sekitaran stasiun. Sayangnya, sosialisasi terhadap warga terdampak itu hanya membahas rumah-rumah yang bakal terseret proyek pembangunan stasiun. Mereka tidak membicarakan lebih jauh bahwa bangunan lama yang berada di dalam stasiun Cicalengka itu akan ikut dihancurkan juga.

Saya sendiri sebetulnya tidak heran. Pola-pola sosialisasi seperti itu memang sering dilakukan oleh pemerintah. Bahkan sebetulnya, hal itulah yang banyak menghasilkan polemik cukup serius di antara kami para pegiat literasi dengan masyarakat.

Sialnya, bagi masyarakat yang tidak tahu menahu akar permasalahannya, mereka sekadar ikut nimbrung dan menganggap kami sebagai penghambat. Pernyataan ini bisa dijumpai dalam kolom komentar sebuah postingan di Instagram mengenai penolakan stasiun Cicalengka. Sebagaimana ditunjukkan dalam postingan yang dibagikan oleh Nurul Maria Sisilia.

Dalam postingan tersebut terdapat komentar dari seseorang bernama “mr toge”. Dalam komentar itu disebutkan bahwa renovasi yang sedang berjalan ini akan membuat stasiun menjadi lebih modern. Selain itu, komentar itu pun menyindir hasil renovasi Alun-alun Cicalengka yang sampai kini tidak menuai protes sedikit pun. “Kan direnov om biar lebih modern kaya stasiun-stasiun yg lain. Alun-Alun ajah direnov jadi bagus kenapa gak pada protes,” tulis akun tersebut.

Ada banyak komentar-komentar serupa yang mengarah kepada sikap penolakan kami terhadap penghancuran bangunan lama itu. Entah itu komentar yang berada di postingan akun pribadi milik kawan-kawan kami di Lingkar Literasi Cicalengka, atau pun di postingan milik LLC sendiri. Yang jelas semua komentar seperti itu tidak lantas membuat kami untuk patah arang dan berhenti menolak perobohan bangunan lama. Itu karena sejak awal kami menyadari akan ada tantangan besar dari berbagai pihak yang terus bermunculan. Untuk itulah kami mesti bertahan di tengah gempuran.

* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//