CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #37: Dari Cicalengka hingga Menjadi Ketua Presiden Penulis Perempuan Asia Tenggara
Gelaran Murak Kakaren perdana menghadirkan Senny Suzanna Alwasilah. Sastrawan, penulis, sekaligus Dekan FISS Unpas yang melanglang buana dengan karyanya.
Muhammad Luffy
Pegiat di Lingkar Literasi Cicalengka
20 Juli 2023
BandungBergerak.id – Jarum jam menunjukkan pukul 13.00. Di ruangan berukuran 5x5 meter persegi Nurul Maria Sisilia dan Atep Kurnia sudah bersiap menyambut kedatangan Senny Suzanna Alwasilah. Dari balik pintu Senny muncul dengan membawa dua tas jinjing dengan berukuran yang berbeda. Saat memasuki ruangan ia tidak sendiri. Senny ditemani oleh Hafidz Azhar sebagai naradamping sekaligus inisiator yang mengajak Senny untuk berada di ruangan tersebut.
Tepat di waktu itu, memang akan dilaksanakan acara Murak Kakaren yang diselenggarakan oleh Lingkar Literasi Cicalengka. Kegiatan ini merupakan acara dikusi atau ngobrol bareng bersama orang-orang Cicalengka yang disinyalir telah sukses dalam bidang yang ditekuninya.
Untuk kegiatan Murak Kakaren ini kami mengambil dari ungkapan yang sering diucapkan dalam tradisi bahasa Sunda. Kata murak bila dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia bisa berarti membuka atau membelah buah. Sementara kakaren mengandung arti oleh-oleh. Demikianlah kegiatan ini, pada dasarnya, ingin menyajikan obrolan mendalam berupa pengalaman dari tokoh-tokoh yang berasal, atau sekurang-sekurangnya pernah menginjak kawasan Cicalengka dalam kurun waktu yang cukup lama; setelah kini mereka mempunyai kesibukan dengan concern pada bidang masing-masing. Fokus mereka pada berbagai bidang itu kami anggap sebagai kakaren atau oleh-oleh yang mesti dibuka bahkan dibagikan secara cuma-cuma agar memberikan manfaat kepada para pegiat literasi, khususnya, serta masyarakat Cicalengka pada umumnya yang tertarik pada pengalaman mereka.
Sebagai diskusi yang digelar pertama kali, acara tersebut berlangsung di Kedai Jante dan diberi tajuk Dari Cicalengka Menjadi Peneliti Sastra. Alasan mengundang Senny, tentu saja berhubungan dengan jejaknya di Cicalengka. Selain itu saat ini Senny menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan, di samping aktif di berbagai komunitas sastra lokal maupun di luar negeri seperti HaikuKu Indonesia, bahkan konon, sekarang ini Senny menjadi Presiden ASEAN Women Writers Association. Pada konteks itulah penting kiranya bagi kami untuk menggali pengalaman dari Senny yang kini namanya sudah cukup beken di lingkungan komunitas sastra.
Senny pun banyak menghasilkan karya. Mayoritas karyanya berbentuk puisi atau haiku. Ada juga karya-karya berupa catatan perjalanan, cerita pendek berbahasa Sunda maupun Indonesia, artikel di jurnal maupun pada berbagai media massa, dan buku yang ditulis bersama mendiang sang suami, Prof. Adeng Chaedar Alwasilah, berjudul Pokoknya Menulis tahun 2006. Sementara buku kumpulan puisinya yang terbaru terbit pada tahun ini dan telah diluncurkan pada bulan Maret kemarin.
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #34: Quo Vadis Kolecer dan Posisi Para Instansi Penyelenggaranya
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #35: Kolecer dan Kinerja Buruk Pemerintah dalam Menyokong Kerja Literasi
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #36: Walking Tour Cicalengka, Menghadirkan Lingkungan sebagai Sumber Belajar
Gelaran Murak Kakaren Perdana
Pada acara Murak Kakaren pertama itu, Nurul didapuk untuk memandu diskusi. Di hadapan puluhan orang Nurul lalu mempersilakan Senny untuk menjelaskan berbagai pengalaman yang bertautan dengan Cicalengka di masa lalu.
Senny pun sangat senang dirinya dapat kembali ke Cicalengka sebagai pembicara diskusi. Ia lalu bercerita tentang secercah kisahnya saat ia menempuh SMP dan SMA. Ingatannya mengarah bersama kawan-kawan sejawatnya yang kebetulan turut mengikuti acara Murak Kakaren. Wajah Senny terlihat berbinar-binar. Seraya menampakkan nuansa bahagia, Senny kemudian menceritakan masa-masa awal berjumpa dengan mendiang sang suami saat dirinya masih sebagai mahasiswa, sementara sang suami sendiri saat itu sudah menjadi dosen. Dari perjumpaan itulah akhirnya membawa Senny untuk tinggal beberapa tahun di Amerika. Di sana ia melahirkan buah hatinya, sampai Senny kembali ke Indonesia untuk mengajar di Universitas Pasundan.
Obrolan yang berjalan selama dua jam itu terus berlanjut pada hal-hal yang emosional. Tibalah giliran pada pembahasan mengenai sajak yang didedikasikan Senny untuk orang-orang tercinta. Sajak yang telah ditulis itu, di antaranya, diilhami oleh orang tua dan mendiang suaminya yang telah wafat bulan Desember 2014 silam. Seraya menjelaskan kata per kata, mata Senny tampak berkaca-kaca seolah-olah ingin meneteskan air yang tidak bisa keluar. Kami pun mendengarkan dengan begitu khidmat. Ruangan pun hening seketika karena pembahasan yang emosional itu membuat kami khusyuk untuk terus mendengarkan kisah Senny tersebut.
Di sela-sela moderator mempersilakan pertanyaan kepada audiensi, ada satu pertanyaan sekaligus pernyataan dari Agus Rama sebagai teman seangkatan kala masih duduk di bangku sekolah menengah. Abah Agus, sapaan akrab kami untuk Agus Rama, sangat bangga bercampur haru, setelah mendengarkan kisah yang dipaparkan Senny. Abah pun mencoba menahan air matanya, tetapi ketika memberikan komentar terhadap Senny tampak air mata yang keluar disertai suara yang terdengar sengau. Komentar Abah tentu saja bernada positif melihat teman seangkatannya itu berhasil dalam bidang yang ditekuninya.
Saat muncul pertanyaan dari Kang Atep mengenai proses kreatif dalam menulis karyanya, Senny menjawab bahwa tak ada satu pun karya maupun tokoh yang memengaruh karyanya. Meski demikian Senny pun bukan tidak membaca karya-karya sastra yang dijadikan karya favoritnya, namun menurutnya selama ia menulis kebanyakan berasal dari aspek eksistensialisnya yang kemudian mesti ia tuliskan.
Menjelang akhir obrolan Senny memberikan semacam wejangan kepada para pegiat literasi muda yang hadir di acara itu. Menurutnya, dalam menggapai keinginan perlu disertai dengan keberanian sebagai tambahan kekuatan supaya mudah tercapai.
Hal itu memang dibuktikan oleh Senny yang telah berkunjung ke berbagai negara di Eropa, Amerika termasuk di Asia seperti Jepang dalam umur yang kini menginjak 60 tahun lebih. Senny juga memberikan bocoran bagi siapa pun yang ingin memperoleh beasiswa ke luar negeri. Yang terpenting, bagi Senny, tidak mesti memiliki kemampuan bahasa Inggris berupa TOEFL, tetapi harus dengan keinginan yang kuat disertai keberanian. Ia juga mengungkapkan jika saat ini ia sedang sibuk mengurus kumpulan haiku yang akan didiskusikan di Negeri Sakura dalam waktu dekat ini.
Sebelum ditutup ia membacakan satu buah sajak sebagai sajak spesial untuk mendiang suaminya berjudul Birth Day Wishes. Sajak ini, konon, ditulis pada tanggal 30 Maret yang lalu sebagai momen ulang tahun mendiang Prof. Chaedar Alwasilah.
* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka