• Kolom
  • SAWALA DARI CIBIRU #32: Kiamat Peradaban dan Kebuntuan Solusi Konkret

SAWALA DARI CIBIRU #32: Kiamat Peradaban dan Kebuntuan Solusi Konkret

Catatan kritis seminar Colloquium Philosophicum 2023 yang membahas peran filsafat dan sains pada perkembangan peradaban dewasa ini.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Tafir lain makna kiamat lewat sebuah pertunjukan tari dalam seminar nasional Colloquium Philosophicum 2023, Sabtu, 8 Juli 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

28 Juli 2023


BandungBergerak.id – Suara bom menggelegar. Begitu pun dengan suara robohnya bangunan rumah, hancurnya gedung-gedung tinggi dan jalan-jalan yang terbelah. Suara-suara tersebut terdengar dari setiap sudut ruangan, saat ratusan pasang mata tak berkedip menyaksikan salah satu cuplikan video mengenai proses kehancuran dunia.

Video yang diputar dalam acara Colloquium Philosophicum 2023 itu, diakui atau tidak, dapat memberikan nuansa ketakutan. Ketakutan ihwal kehancuran bumi maupun hilangnya kesadaran manusia terhadap peradaban yang semakin tak keruan.

Sementara itu, acara yang berlangsung di Aula Bumi Silih Asih saat hari Sabtu (8/7/2023) lalu, pada hakikatnya ingin mendiskusikan peran filsafat dan sains pada perkembangan peradaban dewasa ini. Dengan dua pembicara utama, yaitu Prof. Dr. Bambang Sugiharto dan Prof. Dr. Iwan Pranoto, diskusi pun mengarah pada problem mendasar umat manusia. Seperti permasalahan kerusakan alam yang semakin masif, serta kemunculan Artificial Intelligence (AI) yang menjadi tantangan besar karena dapat menyerupai pikiran yang dihasilkan manusia.

Dalam diskusi tersebut para pembicara mengorek bahasan dengan concern masing-masing. Sebagai pakar matematika Institut Teknologi Bandung, Prof. Iwan Pranoto mendapat giliran pertama untuk menjabarkan kajiannya seputar sains.

Mula-mula Prof Iwan mengkritik kapitalisme seraya menyitir pernyataan Paus Fransiskus tentang analogi kapitalisme yang mendorong kreativitas pada kehancuran. Bermula dari soal ini Prof. Iwan lalu mempertautkan pada semua lini perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi, konon, ditandai dengan proses kreativitas manusia, namun kreativitas itu sendiri tergerus dengan adanya alat-alat yang lebih instan yang diciptakan kapitalisme. Seiring teknologi itu berkembang, kreativitas pun semakin tersisihkan. Hal ini memicu berbagai problem di masyarakat, termasuk persoalan lingkungan.

Apa yang Iwan sebut itu sebagai creative destruction, perlu untuk ditangani dengan solusi kemampuan lahiriah manusia secara kolektif. Dari sini Iwan lalu menawarkan beberapa inovasi maupun ekonomi alternatif.

Singkatnya, dalam tawaran tersebut Iwan menggambarkan bahwa inovasi dan ekonomi alternatif bisa lahir dari masyarakat, sehingga dapat menghasilkan inovasi dan sistem ekonomi yang betul-betul timbul dari kesadaran masyarakat. Di antara inovasi yang Iwan tawarkan, yakni inovasi Jugaad dan inovasi akar rumput. Adapun sistem ekonomi yang ditawarkan salah satunya ialah degrowth, sebuah sistem ekonomi pasca pertumbuhan.

Jika Prof. Iwan mengajukan beberapa tawaran mengenai inovasi dan sistem ekonomi, Prof. Bambang Sugiharto menjelaskan ihwal kehancuran manusia dan pencarian makna. Sebagai salah satu pakar postmodern di Indonesia, Prof. Bambang lebih menggali akar kesadaran manusia ketimbang asal-usul kerusakan yang kini sedang terjadi.

Menurut Bambang bahwa dalam kehidupan, kehancuran dan kelahiran adalah suatu kejadian yang biasa. Tetapi, jika kehancuran total itu terjadi, maka hal ini menurutnya berada di luar kendali manusia. Oleh karena itu, Prof. Bambang menyebut bahwa kehancuran bisa bersifat kehancuran total, atau bisa juga kehancuran yang berulang yang berada di bawah kendali manusia seperti implikasi sosial dan politik.

Berangkat dari situ, Bambang melihat bahwa terdapat beberapa kondisi yang mengarah pada kehancuran secara terus-menerus. Di satu sisi, kondisi manusia saat ini, menurut Bambang, kerap ditandai dengan berbagai kontradiksi. Kemajuan teknologi malah menjadikan manusia kian serakah dan saling bertumpang-tindih. Di sisi lain, agama tidak dapat meminimalisasi kerusakan moralitas bahkan selalu menampilkan ketakutan. Maka, dalam pengamatan Bambang, ada sistem kepercayaan kita yang harus dialihkan, termasuk memaknai kiamat sebagai alternatif agar hidup terus berjalan dengan baik.

Singkatnya, pada saat kerusakan moral sudah tak lagi terbendung, hanya cinta yang bisa membuat kenyamanan dalam diri manusia. Problem yang sedang dialami oleh umat manusia saat ini seharusnya dapat menghasilkan cinta kasih. Semakin banyak gesekan yang terjadi, seharusnya, semakin menguatkan rasa cinta di antara tiap-tiap diri manusia. Dengan demikian itulah solusi yang ditawarkan oleh Prof. Bambang untuk kehancuran yang terus berjalan ini, yaitu dengan saling memperkuat rasa cinta dan mengasihi. Seraya mengutip Rumi bahwa hidup hakikatnya bukan soal pengetahuan, tetapi soal pengalaman untuk merasakan cinta.

Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #31: Jam dan Penundukan atas ManusiaSAWALA DARI CIBIRU #32: Waktu sebagai Konstruksi Sosial

Kritik terhadap Solusi

Bagi saya yang mengikuti kegiatan Colloquium Philosophicum 2023 sampai berakhir, paparan dari dua pembicara tersebut tentu saja sangat menakjubkan. Tetapi, ada satu catatan yang mengganggu pikiran saya sampai kini, yaitu terkait solusi yang diajukan. Kritik yang ingin saya tujukan terhadap dua pembicara tersebut mengarah pada kurangnya penjelasan tentang langkah-langkah mempraktikan kesadaran dari gagasan yang telah dikonsep itu. Hal ini penting, mengingat problem tersebut tidak saja mesti dimaknai secara filosofis, tetapi harus dipertimbangkan juga soal konteks sosial, ekonomi dan politik.

Jika Prof. Iwan memberikan tawaran bahwa untuk menghadapi kehancuran kreativitas mesti dihadirkan inovasi dan sistem ekonomi yang timbul dari kesadaran masyarakat, maka, saya kira, solusi ini bisa sangat tepat. Namun, persoalan yang muncul kemudian ialah, bagaimana memupuk kesadaran kolektif yang konkret agar solusi tersebut dapat dipraktikkan secara simultan. Poin utama dari kritik saya itu ialah, membangun kesadaran secara filosofis seharusnya dibarengi dengan langkah-langkah mempraktikan kesadaran dalam bidang ekonomi maupun politik. Sebab, jika kita tidak berada di posisi ini, tentu saja akan terus diombang-ambingkan oleh tatanan kapitalisme yang semakin merusak.

Solusi lain yang muncul, yakni mengenai cinta kasih dari Prof. Bambang Sugiharto. Tidak salah memang bila saat ini kita benar-benar membutuhkan rasa cinta dan kasih sayang. Dengan keduanya, boleh jadi, dapat meminimalisasi setiap pertikaian dan penghancuran. Namun, lagi-lagi, bagaimana langkah tersebut bisa direalisasikan agar manusia bisa menyadari pentingnya cinta dan rasa mengasihi itu.

Penjelasan Prof. Bambang, saya kira, hanya mendeskripsikan problem-problem dari kehancuran yang kini sedang terjadi. Lantas dari pengamatannya tersebut, Prof. Bambang menyodorkan solusi bahwa rasa cintalah yang bisa meminimalisasi kiamat peradaban tersebut. Ketika Prof. Bambang menjelaskan solusinya lebih lanjut, ia bahkan mengusulkan untuk kembali kepada seni. Menurutnya, seni dapat mengurangi kehancuran karena di dalamnya terkandung karsa yang juga mengacu pada kreativitas. Meski demikian, bagi saya, mengarahkan solusi kehancuran terhadap seni, sama saja seperti kembali pada diri masing-masing. Artinya, solusi filosofis yang ditawarkan pun seolah-olah terkesan berada pada kebuntuan. Sebab, menurut saya tidak semua orang menyadari betapa pentingnya seni dan cinta kasih jika betul-betul dilakukan. Tetapi keduanya, bila tidak dibarengi dengan langkah-langkah dalam memupuk kesadaran ekonomi maupun politik tidak akan mengenai sasaran.

* Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//