• Narasi
  • Kampung Wisata Sablon dan Upaya Bangkit Kembali

Kampung Wisata Sablon dan Upaya Bangkit Kembali

Membangkitkan kembali geliat usaha sablon di Kampung Wisata Sablon di Muararajeun Kota Bandung dengan menjajal e-commerce dan membangun galeri.

Minhajuddin

Pengajar Program Studi Perdagangan Internasional Universitas ‘Aisyiyah Bandung

Peserta bersama kegiatan sosialisasi aplikasi e-commerce. (Foto: Dokumentasi Tim Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Bandung)

31 Juli 2023


BandungBergerak.id – Usaha fesyen di Bandung dipelopori oleh UMKM yang memiliki kreativitas yang tinggi. Pada perkembangannya, Bandung akhirnya dikenal sebagai salah satu kota yang melahirkan berbagai karya di bidang fesyen. Bandung menjadi salah satu kota paling populer dalam hal kreativitas warganya bahkan beberapa produk yang sudah terkenal di seluruh negeri, berasal dari kota kembang. Di era tahun 1990 sampai tahun 2000, menjadi era keemasan Bandung sebagai pusat fesyen.

Saya ingat ketika masih kuliah di Makassar, era ketika distro tumbuh subur dan branding setiap distro menggunakan tagline “barang-barang dari Bandung.” Artinya bahwa Bandung sendiri sudah merupakan salah satu branding kuat untuk memasarkan produk fesyen meskipun mungkin barang yang dijual tidak benar-benar berasal dari Bandung.

Di suatu siang menjelang sore, saya bertandang ke salah satu lokasi UMKM di bilangan Surapati yang merupakan pusat UMKM usaha sablon tepatnya di Kampung Wisata Sablon (KWS). Daerah ini sudah sejak lama dikenal sebagai komunitas yang memelopori usaha sablon di kota Bandung. Komunitas KWS ini letaknya tepat di di Jalan Surapati, Gang Muararajeun, Kelurahan Cihaurgeulis, Kecamatan Cibeunying Kaler, Kota Bandung.

Ketika memasuki kawasan ini, kita akan menjumpai gang-gang yang dipenuhi pelaku usaha sablon yang sedang sibuk mengerjakan pesanan pelanggan. Beberapa dari mereka membuka toko kelontong dan usaha warung makan khas Sunda sebagai usaha tambahan selain usaha sablon. Namun demikian, kawasan ini didominasi oleh pelaku usaha sablon.

Mengingat sejarah masa lalu saat masih jaya sebagai pelopor usaha sablon, saya agak sedih saat menyambangi komunitas KWS melihat geliat usaha yang terlihat sedikit menurun. Namun demikian, ada beberapa faktor yang tentunya sangat berpengaruh dalam dunia usaha baik faktor internal maupun faktor eksternal. Problematika inilah yang saya diskusikan dengan para pengurus komunitas KWS.

Setiba di lokasi komunitas KWS, saya diterima dengan baik oleh Denni Juniardhy yang merupakan ketua komunitas KWS dan beberapa pengurus komunitas lainnya yang kebetulan sedang tidak ada kegiatan. Kami mengobrol panjang lebar di teras rumah salah seorang warga sambil menikmati kopi hitam dan beberapa batang rokok. Sesekali kang Denni harus menerima telepon yang mungkin dari pelanggan atau rekanan serta anggota komunitas jika sedang ada koordinasi.

Tujuan utama saya berkunjung ke kawasan ini dalam rangka mengadakan kegiatan Pengabdian Masyarakat (PkM) yang merupakan salah satu tugas yang dibebankan oleh pihak kampus. Namun selain itu, saya juga tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang perkembangan UMKM di kota Bandung yang memang sudah dikenal sejak dulu khususnya komunitas KWS yang sempat mengalami penurunan yang cukup drastis pada saat pandemi Covid-19.

Saya banyak berbincang dengan kang Denni yang menceritakan sejarah KWS sebagai salah satu pelopor komunitas sablon di kota Bandung. Meskipun dikenal sebagai pionir dalam dunia usaha sablon, namun komunitas KWS tidak berkembang sesuai harapan karena beberapa faktor. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi kang Denni sebagai ketua komunitas yang baru terpilih untuk memikirkan bagaimana para pelaku usaha sablon bisa mengoptimalkan produksinya.

Proses sosialisasi regulasi ekspor. (Foto: Dokumentasi Tim Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Bandung)
Proses sosialisasi regulasi ekspor. (Foto: Dokumentasi Tim Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Bandung)

Baca Juga: Pengembangan Desa Wisata Harus Mendengar Aspirasi Warga
Berkenalan dengan Delapan Desa Wisata Jawa Barat melalui Urban Village D’Fest 2022
Wisata Kampung 200 Pelangi, Jejak Kehidupan Warga pada Ratusan Anak Tangga

Tantangan Yang Dihadapi

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh komunitas KWS dalam mengoptimalkan produksi dan penjualan karena mereka masih menjalankan sistem konvensional. Ketika perkembangan marketing melalui digitalisasi sudah sangat maju dan dilakukan hampir seluruh pelaku usaha, komunitas KWS masih menggunakan sistem PO sehingga sangat bergantung pada kenalan dan pelanggan lama.

Sistem PO ini juga yang kemudian menyulitkan pelaku usaha KWS untuk tetap menjalankan usahanya ketika pandemi Covid-19. Pada saat itu, tidak ada PO yang masuk sehingga dengan sangat terpaksa, beberapa pelaku usaha banting setir menjadi tukang ojek dan usaha lain yang masih bisa dijalankan. Kondisi seperti ini berlangsung cukup lama dan harus menunggu keadaan benar-benar pulih untuk memulai kembali usaha.

Memulai usaha dari awal lagi tentu merupakan tantangan berikutnya karena harus mengeluarkan modal dan energi yang tidak sedikit. Apalagi tidak didukung dengan perangkat pemasaran dan branding melalui digitalisasi. 

Pada saat diskusi dengan komunitas KWS, salah satu pelaku usaha menyampaikan idealismenya bahwa komunitas ini ingin mempertahankan legacy dari para pendahulu yaitu tetap menggunakan manual dan sebisa mungkin menghindari penggunaan mesin. Produksi secara manual tentunya membutuhkan waktu yang cukup lama dibandingkan ketika menggunakan mesin tentu dengan hasil yang lebih baik.

Di satu sisi saya sepakat dengan keinginan komunitas KWS mempertahankan budaya yang dijalankan turun-temurun namun tentu saja bahwa menjaga nilai dan idealisme tidak serta merta harus menghindari perkembangan zaman. Bahkan dengan mempertahankan produksi secara manual dengan hasil yang lebih sempurna, akan lebih dikenal secara luas jika dipasarkan secara digital dengan catatan di-branding sedemikian rupa sehingga calon pelanggan benar-benar bisa mengetahui kualitas produk melalui online.

Tantangan inilah yang harus disosialisasikan oleh para pengurus komunitas KWS ke seluruh pelaku usaha agar berani mengkompromikan apa yang selama ini diyakini dengan kemampuan menjawab tantangan zaman. Jika tidak ingin mengubah pola pemasaran yang selama ini dijalankan maka akan sulit untuk bersaing di dunia usaha.

Pelatihan aplikasi e-commerce untuk memasarkan produk sablon. (Foto: Dokumentasi Tim Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Bandung)
Pelatihan aplikasi e-commerce untuk memasarkan produk sablon. (Foto: Dokumentasi Tim Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Bandung)

Upaya Membangkitkan Komunitas

Pasca Pandemi Covid-19, kang Denni sebagai ketua bekerja keras untuk mendorong para pelaku UMKM kembali memulai usaha mereka dan kembali menghidupkan komunitas yang sudah dikenal sejak dulu. Dia mengajak seluruh pelaku usaha yang sempat beralih profesi untuk kembali menjalankan usaha sablon sebagai mata pencaharian. Selain itu, KWS juga sudah menjadi identitas bagi para pelaku usaha sablon di kawasan ini.

Kang Denni belajar dari kondisi ketika Pandemi Covid-19 bahwa sistem yang selama ini dijalankan dengan pemasaran secara konvensional ternyata sudah ketinggalan dengan pesatnya perkembangan marketing melalui digitalisasi. Beberapa pelaku usaha sablon sudah mencoba sarana pemasaran digitalisasi namun belum maksimal.

Menurut kang Denni, Selain tantangan di atas, ada tantangan lain yang cukup fundamental dan butuh energi yang lebih untuk mengubah pola yang terjadi yaitu mayoritas pelaku UMKM tidak berani mengambil risiko dan keluar dari zona nyaman. Mereka menikmati pola yang sudah berjalan selama ini meskipun harus mendapatkan keuntungan yang minim. Sebagai pelaku usaha, menghindari risiko merupakan tindakan yang sama sekali tidak diharapkan karena dunia usaha sangat akrab dengan risiko.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh kang Denni sebagai ketua komunitas adalah menggandeng akademisi dan berkolaborasi untuk membuat sebuah kegiatan yang diharapkan mampu membuka cakrawala berpikir anggota komunitas dalam menjalankan usahanya. Kami dari kampus Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Bandung berkolaborasi dengan komunitas KWS mengadakan pelatihan pendampingan pemasaran melalui penerapan aplikasi e-commerce dalam rangka mendorong para pelaku usaha sablon untuk memperluas jaringan pasarnya.

Aplikasi e-commerce sangat berguna bagi pelaku usaha sablon tidak hanya untuk menjadikan sarana pemasaran namun aplikasi tersebut juga menjadi sarana untuk membranding produk mereka yang selama ini hanya dikenal melalui promosi konvensional.

Selain dalam hal pemasaran, pengurus komunitas KWS juga sedang mengupayakan pendirian sebuah galeri KWS sebagai salah satu bentuk saluran pemasaran. Jika ada calon pelanggan yang datang ke lokasi dan ingin melihat barang display maka mereka hanya perlu datang di galeri untuk melihat berbagai jenis barang display tanpa harus mendatangi satu persatu pelaku usaha.

Pada akhirnya, para pelaku usaha sablon di komunitas KWS yang harus menindaklanjuti program yang sudah dibuat dan dijalankan secara konsisten untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Dunia usaha bukan dunia yang instan karena memerlukan waktu dan strategi yang tepat untuk mencapai target yang sudah direncanakan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//