• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #39: Bermaknakah Dua Ribu Tanda Tangan Petisi Penolakan Pemugaran Stasiun Cicalengka?

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #39: Bermaknakah Dua Ribu Tanda Tangan Petisi Penolakan Pemugaran Stasiun Cicalengka?

Petisi ini adalah representasi kecemasan, kekhawatiran, dan kepedulian yang ternyata lebih besar dari semata kemegahan bangunan modern.

Nurul Maria Sisilia

pegiat literasi di Rumah Baca Kali Atas yang tergabung dalam komunitas Lingkar Literasi Cicalengka, bisa dihubungi di [email protected]

Stasiun Cicalengka, Kamis (13/7/2023). Satu dari sedikit bangunan sejarah di Cicalengka yang kini akan diruntuhkan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

3 Agustus 2023


BandungBegerak.id – Tulisan terdahulu karya Muhammad Luffy pada 26 Juli 2023 di Bandung Bergerak menyoroti perkembangan isu renovasi Stasiun Cicalengka yang masih bergulir. Dalam tulisannya, ia mengemukakan kegelisahan terhadap gempuran yang muncul adalah justru dari sisi internal.  Komentar warganet menjadi bukti sikap beberapa warga Cicalengka yang masih skeptis memandang isu ini.

Di sisi lain, sejak diluncurkan pada 17 Juni 2023, petisi berisi penolakan terhadap pemugaran stasiun Cicalengka terus bergulir. Sebanyak dua ribu orang telah menandatangani petisi daring ini. Komentar di situs change.org ini pun ramai berisi dukungan mempertahankan nilai sejarah Stasiun Cicalengka. Petisi ini mengemuka di udara setelah kabar pemugaran total Stasiun Cicalengka dimunculkan oleh Lingkar Literasi Cicalengka di media sosial.

Memandang hal ini, saya ingin sedikit memetakan dan mempertanyakan yang terjadi. Hal-hal tersebut berkaitan dengan alasan atau landasan gerakan kemudian pendapat reflektif tentang makna dua ribu petisi yang telah ditandatangani.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #36: Walking Tour Cicalengka, Menghadirkan Lingkungan sebagai Sumber Belajar
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #37: Dari Cicalengka hingga Menjadi Ketua Presiden Penulis Perempuan Asia Tenggara
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #38: Bertahan di Tengah Gempuran

Aksi Protes untuk Apa?

Sedikit menyegarkan ingatan.  Lingkar Literasi Cicalengka adalah forum komunikasi taman baca masyarakat (TBM) di wilayah Kecamatan Cicalengka. Setidaknya, LLC mewadahi sembilan taman baca masyarakat yang tersebar di hampir tiap desa di Cicalengka. Kegiatannya beragam namun berfokus pada peningkatan minat baca masyarakat dan kegiatan pendidikan. Forum inilah yang kemudian menginisiasi penolakan terhadap perombakan total bangunan bersejarah stasiun Cicalengka.

Menarik ketika timbul pertanyaan, mengapa forum taman baca serupa ini justru mempersoalkan isu perombakan stasiun? Mengapa tidak membuat kegiatan perbukuan saja seperti biasa dilakukan? Lebih jauh, apa kewenangan kami untuk mempermasalahkan isu ini? Menanggapi pertanyaan ini, setidaknya, saya sebagai representasi Lingkar Literasi Cicalengka, punya dua alasan mendasar. Pertama, Stasiun Cicalengka memiliki nilai sejarah.  Kedua, makna literasi yang kami pahami.

Pertama, alasan historis. Sejak diresmikan pada 1884, Stasiun Cicalengka berperan sebagai sarana transportasi garam dan kopi ke Batavia. Tak lama setelah itu, stasiun ini pun difungsikan sebagai sarana pengangkutan orang. 

Terdapat beberapa tokoh yang beririsan dengan Stasiun Cicalengka yaitu Douwes Dekker dan Soekarno. Pada 1920, Douwes Dekker  memenuhi panggilan pemerintah kolonial terkait aktivitas Insulinde Partij di Semarang. Ia naik Bandoeng-Express di Stasiun Cicalengka. Hal tersebut dimuat dalam surat kabar Preanger Bode dan Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi 8 Januari 1920. Selanjutnya pada 1929, Soekarno kembali dari penangkapan pemerintah kolonial di Wirogunan. Dari Stasiun Tugu, ia diangkut ke Bandung dengan kereta dan turun di Stasiun Cicalengka. Alasan kedua tokoh ini beririsan dengan Stasiun Cicalengka tentu bukan serta merta melainkan karena ada alasan kuat dan penting. Alasan tersebut yakni alasan keamanan dan stabilitas negara atas kondisi genting saat itu.

Alasan historis ini kemudian menjadi penting sebab masyarakat perlu memahami sejarah wilayah yang kemudian akan menjadi jati dirinya. Lebih jauh, untuk memaknai semangat zaman yang ada pada masa itu guna menjadi cerminan kehidupan masyarakat masa kini dan nanti.

Pemahaman tentang literasi kemudian menjadi alasan gerakan kami yang kedua. Masyarakat barangkali telah telanjur mendefinisikan literasi sebagai aktivitas baca-tulis semata sehingga menilai aksi protes kami sebagai hal yang tak sesuai. Sungguh sayang, sebab literasi semestinya dimaknai lebih luas sebagai proses bernalar.

Membaca yang dimaksud seharusnya dimaknai sebagai membaca dalam arti yang luas yakni membaca konteks kemasyarakatan. Oleh sebab itu, tak salah rasanya jika forum taman baca serupa Lingkar Literasi Cicalengka kemudian merespons hal yang terjadi di masyarakat dari kacamata yang berbeda. Kewenangan dan tanggung jawab yang kami ambil adalah jelas perihal edukasi kepada masyarakat. Dengan demikian, keterlibatan kami dalam isu ini sudah semestinya sangat berterima.

Kereta api di Stasiun Cicalengka antara tahun 1900-1920, diabadikan oleh K. Kroitzsch. (Foto: TM-10014039, collectie.wereldculturen.nl)
Kereta api di Stasiun Cicalengka antara tahun 1900-1920, diabadikan oleh K. Kroitzsch. (Foto: TM-10014039, collectie.wereldculturen.nl)

Menolak Kemajuan

Seperti yang dikemukakan dalam tulisan Muhammad Luffy, terdapat beberapa pihak yang kemudian memandang gerakan kami sebagai gerakan yang menolak kemajuan.  Ia memaparkan komentar warga yang memandang pembangunan Stasiun Cicalengka adalah demi modernitas yang dinamis.

Saya sepakat dengan pendapat Muhammad Luffy terkait makna modernitas yang sesungguhnya. Dalam hal ini, agaknya kita mesti sama-sama mendefinisikan kemajuan seperti apa yang dimaksud. Setelah itu, maka selanjutnya dapat kami jelaskan apa sebenarnya sedang kami tolak.

Dalam isu ini, kemajuan kerap disandingkan dengan modernitas yang tampak permukaan seperti kelengkapan fasilitas, kemegahan bangunan, kemewahan, dan kecepatan pembangunan. Sayangnya, hal-hal tersebut sesungguhnya akan cukup melenakan jika tanpa dibangun dengan hal-hal lain yang lebih fundamental. Sejatinya, kemajuan dapat pula diukur dengan kualitas sumber daya manusia yang cakap dan literat. Artinya, tidak mudah teralihkan dengan hal yang minim tantangan intelektual atau semata kesenangan semu. Budaya massa yang terbentuk, pada akhirnya,  tidak berbeda dengan metamorfosis komoditas dalam bentuk yang lebih canggih dan memikat (Strinati, 1995:10).

Dengan demikian, tuturan bahwa kami menolak kemajuan sungguhlah tanpa dasar. Yang kami tolak sesungguhnya adalah penghilangan unsur mendasar dari kemajuan itu sendiri yakni nilai dan pengetahuan, gagasan, serta semangat zaman.  Tanpa unsur tersebut, kemajuan macam apa pun rasanya serupa menara gading yang tiada menjejak atau ibarat pohon yang kerontang kehilangan akar.

Secara teknis, kami tidak menolak progresivitas pembangunan tetapi kami menolak penghilangan “akar”; nilai historis dan identitas. Nilai historis dan modernitas ini sesungguhnya bisa berjalan beriringan. Banyak contoh bangunan lama yang masih dioperasikan seiring sejalan  dengan unsur modern. Hal tersebut justru menambah nilai suatu bangunan menjadi lebih bermakna dan memberi edukasi kepada masyarakat. Tentu kemajuan seperti inilah yang seharusnya diharapkan. Bukan semata megah namun tanpa arti yang mendalam.

Dua Ribu Petisi

Saat tulisan ini dibuat, petisi daring di laman change.org masih bergulir. Jika dikaitkan dengan penjelasan-penjelasan saya sebelumnya,  jumlah dua ribu petisi tersebut semestinya dapat dimaknai lebih dari sekadar tanda tangan.

Petisi tersebut jadi penanda bahwa isu perombakan stasiun Cicalengka bukan isapan jempol belaka.  Terdapat hal yang sangat layak diperjuangkan dibandingkan semata pembangunan dan segala hal yang tampak digdaya di permukaan namun rapuh di dalamnya. Ingatan bahwa kelak generasi penerus kita tidak akan pernah lagi mengenal sejarah wilayahnya dan tidak akan pernah mewarisi semangat zamannya rupanya menjadi kekhawatiran bersama.

Dua ribu petisi ini adalah representasi kecemasan, kekhawatiran, dan kepedulian yang ternyata lebih besar dari semata kemegahan bangunan modern. Dengan demikian, jumlah petisi ini adalah kekuatan besar yang sejatinya menjadi pertimbangan banyak pihak.  Termasuk masyarakat Cicalengka itu sendiri. Jangan sampai dukungan dan kesadaran tentang pentingnya nilai historis Stasiun Cicalengka justru tumbuh jauh dari luar masyarakat Cicalengka.

* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//