Just Energy Transition Partnership: Adakah Keadilan bagi Para Pekerja?
Belum ada keselarasan antara program transisi energi dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP) dengan implikasinya di sektor tenaga kerja.
Fariz Reza Ferdiansyah
Alumni Hubungan Internasional Universitas Amikom Yogyakarta
10 Agustus 2023
BandungBergerak.id – Beberapa tahun belakangan ini, isu transisi energi menjadi semakin isu yang “seksi” untuk diperbincangkan khususnya di tengah menguatnya fenomena perubahan iklim. Suhu rata-rata bumi yang semakin memanas menimbulkan gelombang protes dari kelompok masyarakat sipil di seluruh dunia. Berbagai desakan dari masyarakat internasional pada akhirnya mendorong negara-negara di dunia, tak terkecuali Indonesia untuk meninggalkan energi fosil.
Pemerintah Indonesia sendiri sudah berkomitmen untuk mencapai net-zero emission pada tahun 2060 yang ditandai dengan peluncuran Energy Transition Mechanism (ETM) bersamaan dengan penandatangan Just Energy Transition Partnership (JETP) pada KTT G20 akhir tahun 2022 lalu. Sebagai negara yang masih bergantung pada energi fosil, hal ini tentunya dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk meninggalkan energi fosil dan mengejar target Persetujuan Paris.
Baca Juga: Saatnya Menjalankan Konsep Kehidupan Berkelanjutan di Bidang Makanan, Transportasi, Komunitas, dan Energi
Ridwan Kamil ke Amerika Serikat Membahas Energi Terbarukan, Ini Catatan Miris Lingkungan Jawa Barat
Guru Besar ITB: Indonesia Perlu Segera Mengurangi Penggunaan Energi Kotor
Just Energy Transition Partnership dan Percepatan Transisi Energi
Just Energy Transition Partnership merupakan sebuah kesepakatan antara negara maju dan negara berkembang dalam mendorong pendanaan untuk transisi ke energi yang ramah lingkungan. Pendanaannya sendiri nantinya dapat berupa hibah, pinjaman bunga rendah dan investasi yang disediakan baik oleh sektor swasta maupun publik
Laporan Institute for Essential Reform (IESR) menyebutkan bahwa JETP menargetkan untuk memenuhi target emisi puncak sektor kelistrikan sebesar 290 juta metrik ton CO2 pada tahun 2030, mencapai bauran energi terbarukan sebesar 34% pada tahun 2030, dan mencapai net-zero di sektor kelistrikan pada tahun 2050.
Jika kita lihat pada beberapa dekade belakangan ini, batu bara masih mendominasi dalam bauran energi kita. Menurut Bloomberg NEF, Indonesia sendiri memang menjadi negara dengan pertumbuhan kapasitas PLTU tertinggi di antara anggota G20.
Sehingga, masih dalam laporan IESR yang sama, bahwa untuk mencapai target JETP di bawah sistem tenaga listrik saat ini, akan membutuhkan pengurangan 8,6 GW kapasitas PLTU batu bara di jaringan PLN pada tahun 2030.
Meskipun, proyek ini dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk dapat mempercepat aksi transisi energi, namun berbagai kelompok masyarakat sipil masih mempertanyakan tentang aspek keadilan di dalam skema JETP tersebut, terutama mengenai dampaknya terhadap sektor tenaga kerja.
Dampak terhadap Pekerja Nonformal
Komitmen pemerintah Indonesia sesuai dengan Perjanjian Paris untuk membatasi kenaikan temperatur rata-rata global di bawah 1,5 derajat Celcius, salah satunya adalah dengan memberlakukan pensiun dini batu bara. Program pensiun batu bara tentunya juga menjadi salah satu target dalam skema pembiayaan JETP.
Program pensiun batu memiliki tantangan tersendiri khususnya dalam sektor tenaga kerja. Berdasarkan temuan dari Dala Institute, praktik yang dijalankan melalui skema JETP nantinya dapat menimbulkan risiko pengangguran khususnya bagi para pekerja di sektor pertambangan yang menggantungkan ekonominya di industri batu bara.
Sebagian besar wilayah di Kalimantan dan Sumatra khususnya, yang akan terkena dampak dari program pensiun batu bara. Kedua wilayah tersebut merupakan wilayah yang penghasilan masyarakatnya sangat bergantung pada industri batu-bara. Hal ini ditenggarai juga oleh gelombang protes masyarakat internasional untuk menolak penggunaan bahan bakar fosil yang mana dapat mengarah pada penurunan permintaan global terhadap batu bara dan berujung pada menghambatnya pertumbuhan ekonomi domestik.
Data dari International Labor Organization (ILO) menyebutkan bahwa saat ini belum ada kejelasan dari pihak pemerintah dalam mendukung terbukanya lapangan kerja hijau (green jobs). Dengan kata lain, belum ada keselarasan antara program transisi energi dengan perencanaan terhadap implikasinya di sektor tenaga kerja.
Program pensiun batu bara di Indonesia melalui skema JETP tentu dapat mengkhawatirkan apabila pemerintah kurang matang dalam perencanaan dan pengelolaannya. Dalam hal ini, proyek-proyek transisi energi di Indonesia yang dibiayai melalui skema JETP bisa membawa ketidakadilan bagi masyarakat khususnya bagi para pekerja nonformal.
Kesiapan SDM Kita Terhadap Green Jobs
Tren transisi energi di Indonesia seharusnya dibarengi juga dengan kesiapan SDM terutama mengingat bahwa tren ini memiliki potensi untuk meningkatkan keterbukaan terhadap lapangan kerja di sektor energi terbarukan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Coaction Indonesia, bahwa besarnya potensi green jobs di Indonesia tersebar hampir di semua sektor.
Meskipun begitu, hal ini juga memerlukan strategi yang terukur. Agar dapat meningkatkan minat masyarakat khususnya kaum muda, sosialisasi terhadap peluang green jobs juga harus banyak diperbincangkan. Selain itu, pemerintah maupun sektor swasta juga bisa memberikan pelatihan kepada para pekerja untuk mempersiapkan diri dan mengembangkan skill mereka di sektor energi terbarukan.
Kenyataannya saat ini, masyarakat Indonesia masih banyak yang belum memiliki pembekalan dalam menghadapi tren transisi energi dan bahkan masih banyak juga yang tidak paham akan fenomena perubahan iklim. Jika kita di lihat di level pendidikan misalnya, tidak adanya kurikulum pendidikan kita yang membahas tentang perubahan iklim semakin menghambat kesiapan kita dalam mengisi potensi green jobs.
Program pensiun batu bara memang sangatlah penting dalam mendukung Indonesia yang netral karbon di tahun 2050, namun persoalan keadilan khususnya bagi masyarakat yang terdampak juga tak boleh dilupakan. Dengan menerapkan prinsip keadilan, JETP seharusnya dapat mendorong keikutsertaan berbagai pihak dalam perencanaannya.
Kehadiran JETP di Indonesia yang dapat berdampak pada sektor tenaga kerja mempertanyakan kembali makna Justice (Keadilan) pada Just Transition itu sendiri. Pemerintah harus dapat menyelaraskan kebijakannya terkait ekonomi hijau, pembangunan dan ketenagakerjaan. Selain itu pemerintah juga harus menghadirkan paradigma pembangunan yang inklusif dalam peluncuran proyek-proyek yang didanai oleh melalui skema JETP.