• Opini
  • Tunggu Dulu, Jangan Percaya terhadap Politisi?

Tunggu Dulu, Jangan Percaya terhadap Politisi?

Refleksi terhadap fenomena yang terjadi saat ini di tahun-tahun yang dipenuhi berita politik elektoral.

Minhajuddin

Pengajar Program Studi Perdagangan Internasional Universitas ‘Aisyiyah Bandung

Pemilu 2024 masih 24 bulan lagi, namun kini isunya mulai santer. Pesan politik bertebaran baik di jalan raya maupun yang diusung demonstrans, di Bandung, 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

10 Agustus 2023


BandungBergerak.id – Bukan, sama sekali ini bukan tentang ajakan untuk memboikot pemilu atau ajakan ikut dalam kelompok yang memilih menjadi golongan putih (Golput). Itulah kenapa saya tambahkan tanda tanya di akhir kalimat judul tulisan.

Saya mengamati begitu banyaknya pendengung (buzzer) atau bahkan masyarakat umum yang terlalu mengglorifikasi seorang politisi yang hendak maju dalam pesta politik elektoral hanya dengan melihat gerak-gerik yang ditampilkan di media. Entah dengan tendensi apapun tetapi cukup mengganggu apalagi tahun politik seperti sekarang ketika masyarakat seharusnya mampu berpikir sehat dalam memilih seorang pemimpin.

Masih masuk akal jika yang melakukan pemujaan terhadap politisi adalah buzzer karena mereka mempunyai kepentingan pribadi sehingga apapun dilakukan untuk mencapai tujuannya. Namun saya agak miris jika masyarakat biasa yang tidak mempunyai kepentingan apa-apa, ikut dalam polarisasi yang terjadi dan mengidolakan seorang politisi secara berlebihan.

Media menjadi sarana politik yang tidak berjalan dengan baik karena mengikuti alur permainan politisi, sementara masyarakat butuh informasi faktual dan hal-hal ideal sebagai dasar untuk memilih pemimpin. Sementara media merupakan saluran paling efektif untuk meningkatkan literasi politik untuk masyarakat umum.

Citra yang dibangun oleh para politisi di media merupakan sesuatu yang sudah didesain sedemikian rupa, apapun bentuk atau pola yang mereka tampilkan. Citra diri seorang politisi meliputi banyak hal termasuk mereka yang terlihat sebagai korban politisasi, mencitrakan diri sebagai paling agamis, paling nasionalis, peduli terhadap rakyat, dan semua bentuk komunikasi politik yang mereka tampilkan.

Semua itu dilakukan melalui diskusi panjang para politisi dengan konsultan politik mereka dengan tujuan semata untuk memaksimalkan perolehan kantong suara dalam politik elektoral. Pola sederhana ini dulu yang seharusnya dipahami oleh masyarakat akar rumput agar dalam memilih para politisi, mereka tidak secara instan berdasarkan narasi-narasi artifisial yang setiap hari membanjiri lini masa media sosial maupun media mainstream.

Tulisan ini juga bukan ajakan untuk ikut berpartisipasi memilih dalam pemilu karena saya percaya semua orang memiliki preferensi masing-masing untuk memutuskan apakah mereka akan mencoblos atau memilih untuk golput. Tulisan ini hanya sekadar refleksi saya pribadi terhadap fenomena yang terjadi saat ini di tahun-tahun yang dipenuhi berita politik elektoral.

Keterlibatan dalam politik tidak terbatas hanya memilih dalam pesta politik elektoral. Tetapi keterlibatan dalam politik memiliki ruang lingkup yang cukup luas. Termasuk menyampaikan pendapat, kritis terhadap kebijakan publik, mengorganisasi komunitas untuk kegiatan kebangsaan dan berbagai kegiatan lain yang memberikan sumbangsih terhadap kepentingan umum, tidak sebatas untuk mengejar kepentingan pribadi.

Menurut Huntington dan Joan Nelson sebagaimana dikutip dari buku Muslim Mufti (2019), partisipasi politik merupakan sikap politik yang mencakup segala aktivitas yang mempunyai relevansi politik atau mampu memengaruhi pejabat pemerintah dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan publik. Signifikansi partisipasi politik oleh masyarakat sangat dibutuhkan karena dalam setiap bidang kehidupan, mereka yang mengetahui pola kebijakan seperti apa yang mereka butuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: Rahasia Umum Korupsi dan Politik Uang di Tahun Politik
Mempertanyakan Keberadaan Para Artis di Panggung Politik
Menanti Langkah Elite-elite Politik untuk tidak Menggunakan Politik Identitas di Pemilu 2024

Mengambil Jarak

Salah seorang kawan saya yang sudah saya kenal sejak 17 tahun silam, memutuskan untuk ikut dalam kontestasi politik tahun depan. Dia akan berjuang dalam pemilihan calon legislatif (caleg) di kota asalnya. Dia cukup akrab dengan saya bahkan kami tergabung dalam sebuah organisasi. Kami sering bekerja sama dalam sebuah kegiatan dan tentunya merupakan preferensi saya menilai bagaimana dia mengkoordinasi kegiatan.

Secara ikatan emosional, saya dengan sangat mudah mengatakan bahwa dia mempunyai modal awal sebagai seorang politisi dan saya secara pribadi mendukung keputusannya untuk mencoba mengambil peran mewakili kepentingan rakyat, toh dia punya prasyarat yang dibutuhkan untuk menjadi seorang politisi.

Tapi tunggu dulu, menjadi seorang politisi yang merepresentasikan kepentingan rakyat, bukan seremeh dengan membuat kegiatan di organisasi mahasiswa. Sebagai kawan lama yang cukup dekat secara emosional, saya tetap mengambil jarak untuk memahami secara utuh perjalanan politiknya termasuk aktivitasnya dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam proses pemilihan calon pemimpin, terdapat begitu banyak pertimbangan-pertimbangan lain yang jauh dari variabel ideal termasuk kedekatan emosional. Variabel ini yang sering kali menghalangi calon pemilih untuk melihat secara utuh calon pemimpin yang akan mereka pilih.

Masyarakat harus mengambil jarak dari seorang politisi, bukan secara literal jarak yang bisa dikuantifikasi, tetapi yang saya maksud mengambil jarak semacam menjaga diri untuk tidak serta merta menilai seorang politisi hanya dari berita media, atau yang lebih ekstrem, mengambil jarak juga dapat dimaknai sebagai sebuah pertahanan diri untuk tidak dijadikan komoditas politik oleh para politisi.

Jika masyarakat mampu memposisikan jarak secara presisi dengan para politisi, maka mereka akan mampu menilai secara adil, politisi mana yang kemungkinan pantas untuk mewakili kepentingan mereka di pemerintahan.

Jangan terlalu jauh mengambil jarak karena kita tidak bisa menjangkau tetapi juga jangan terlalu dekat dengan politisi karena kita tidak akan mampu membaca kondisi. Layaknya saat membaca buku, kita tidak akan bisa membaca buku ketika mata terlalu dekat karena tulisan akan menjadi sangat kabur.

Negative Thinking

Pada salah satu forum diskusi yang diadakan oleh Page Turner, salah satu komunitas diskusi yang saya ikuti, kami diskusi panjang tentang dinamika politik Indonesia termasuk juga strategi bagaimana memilih pemimpin yang ideal pada pemilu tahun depan. Bagaimana memilah narasi yang diberitakan di media, termasuk bagaimana memastikan kebenaran informasi mengenai seorang politisi.

Salah seorang kawan memberikan pandangannya yang agak skeptis terhadap para politisi khususnya dari kalangan artis karena menganggap bahwa mereka tidak punya fondasi yang kuat dalam hal perpolitikan, hanya semata karena mereka memilih penggemar atau followers yang banyak di media sosial dan diprediksi mampu mendongkrak perolehan suara.

Kawan yang lain, seorang alumnus jurusan ilmu Hukum Unhas, merespons bahwa jangan selalu berpikiran negatif terhadap politisi meskipun mereka berasal dari latar belakang artis. Siapa tahu pada saat mereka menjabat, mereka mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pejabat publik.

Nah, pada titik inilah, saya agak terganggu dengan respons di atas bahwa jangan terlalu sering berpikiran negatif terhadap para caleg termasuk dari kalangan artis. Makna dasar dari negative thinking memang semacam pikiran yang selalu menilai orang lain dari aspek negatif, termasuk meragukan kemampuannya, tidak percaya akan kapasitas mereka, atau dalam relasi individu, kita menganggap orang lain memiliki sifat yang merugikan orang lain.

Negative thinking harus diposisikan dalam dua hal yang berbeda. Pertama dalam relasi kita dengan orang lain yang tidak berhubungan dengan kepentingan umum, maka sudah sewajarnya kita harus positive thinking terhadap orang lain dengan tujuan untuk membangun kohesi sosial yang kuat.

Dalam konteks sebagai seorang pejabat publik atau mereka yang sedang maju sebagai calon pemimpin, maka negative thinking bukan sebuah dosa bahkan merupakan keharusan yang dilakukan oleh semua calon pemilih. Negative thinking terhadap para politisi merupakan mekanisme pertahanan diri masyarakat untuk tetap mengontrol setiap kebijakan mereka. Bisa juga dimaknai sebagai sebuah pikiran kritis kita terhadap mereka untuk menguji proyeksi mereka ketika menjabat. Maka tetaplah negative thinking terhadap para politisi sampai mereka melakukan pembuktian terbalik bahwa mereka memiliki kompetensi untuk merepresentasikan kepentingan publik.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//