• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Kontroversi Sistem Peradilan Pidana Anak

MAHASISWA BERSUARA: Kontroversi Sistem Peradilan Pidana Anak

Sebagian khalayak masih memandang sistem peradilan anak membuat anak yang terlibat dalam kasus tindak pidana membuat anak dengan mudah terlepas dari jerat hukum.

Nur Cholis Al Qodri

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya

Petugas memasuki ruang sidang Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (11/1/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

12 Agustus 2023


BandungBergerak.id – Anak-anak berada dalam posisi yang rentan karena menghadapi berbagai risiko dan ancaman terhadap hak-hak mereka. Pelanggaran hak anak dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti kekerasan fisik, seksual, atau emosional, eksploitasi ekonomi, perdagangan anak, pekerjaan anak yang berbahaya, dan diskriminasi.

Hak Asasi Anak, sebagaimana diakui dalam berbagai instrumen hukum internasional dan nasional, meliputi berbagai aspek kehidupan anak. Hak-hak tersebut mencakup hak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, hak atas kesehatan, pendidikan, identitas, partisipasi, kebebasan berpendapat, dan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.

Pentingnya perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak mereka tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan. Orang tua dan keluarga memiliki peran utama dalam memberikan lingkungan yang aman, kasih sayang, dan pendidikan yang baik bagi anak-anak. Masyarakat harus menciptakan lingkungan yang kondusif, bebas dari kekerasan, dan mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal. Lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab untuk memberikan pendidikan yang berkualitas, inklusif, dan sesuai dengan kebutuhan anak.

Selain itu, upaya pencegahan dan rehabilitasi juga penting dalam menangani anak-anak yang terlibat dalam tindak pidana. Pendekatan yang bersifat restoratif, rehabilitatif, dan mendidik harus digunakan untuk membantu anak-anak ini agar dapat berubah dan kembali menjadi anggota yang produktif dalam masyarakat.

Sistem peradilan anak juga harus mengedepankan prinsip-prinsip perlindungan, perhatian khusus, dan pemulihan. Untuk mencapai perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak secara menyeluruh, diperlukan kerja sama dan kolaborasi lintas sektor.

Pemerintah perlu mengadopsi kebijakan dan undang-undang yang berpihak pada anak, serta menyediakan anggaran yang memadai untuk implementasi program dan kegiatan yang berkaitan dengan perlindungan anak. Organisasi non-pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan sektor swasta juga dapat berperan aktif dalam memberikan dukungan dan melaksanakan program-program yang berfokus pada hak-hak anak. Pendidikan dan kesadaran publik juga penting dalam mengubah persepsi dan perilaku masyarakat terhadap anak.

Kampanye edukasi tentang hak-hak anak, pentingnya peran orang tua dan keluarga, serta bahaya pelanggaran hak anak dapat membantu meningkatkan pemahaman dan responsiitas masyarakat terhadap perlindungan anak. Secara keseluruhan, perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak mereka merupakan tanggung jawab bersama untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi anak-anak.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Pendekatan Restorative Justice dalam Penggunaan Hukum Pidana, Belajar dari Keadilan Rehabilitatif di Norwegia
MAHASISWA BERSUARA: Peran Anak Muda Mewujudkan Pancasila di Masyarakat
MAHASISWA BERSUARA: Kebebasan Berekspresi dalam Demokrasi, Tantangan dan Sikap Netral Universitas Muhammadiyah Surakarta

Sistem Peradilan untuk Anak

Dalam sistem penanganan hukum pidana yang melibatkan anak di bawah umur. Indonesia memiliki dua metode yang masih digunakan hingga saat ini, yakni Sistem Peradilan Diversi dan Restorative Justice. Diversi khususnya melalui konsep Restoratif Justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam penyelesaian perkara pidana yang melibatkan anak di bawah umur. Kedua metode ini menjadi pertimbangan penting dalam penyelesaian perkara pidana yang melibatkan anak, dengan fokus pada pendekatan rehabilitatif dan mengutamakan kepentingan anak.

Sistem peradilan diversi merupakan pengalihan proses pada sistem penyelesaian perkara anak yang panjang dan sangat kaku. Mediasi, dialog atau musyawarah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam diversi untuk mencapai keadilan restoratif pada kasus pidana yang melibatkan anak. Sistem peradilan diversi bertujuan untuk mengalihkan anak yang terlibat dalam tindak pidana ke jalur alternatif di luar proses peradilan pidana formal. Pendekatan ini melibatkan upaya untuk memulihkan dan merehabilitasi anak, serta mendorong tanggung jawab sosial anak terhadap perbuatannya.

Prinsip utama dalam diversi adalah menghindarkan anak dari stigmatisasi negatif jangka panjang yang mungkin terjadi jika mereka menghadapi proses peradilan pidana formal. Diharapkan setelah melalui program ini anak memiliki kemampuan untuk memahami kesalahannya dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Restorative Justice merupakan suatu pendekatan dalam penyelesaian tindak pidana yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan lainnya. Tujuannya adalah untuk mencapai penyelesaian yang adil melalui proses perdamaian, dengan penekanan pada pemulihan kembali keadaan semula dan terjadinya kesepakatan antara pelaku dan korban.

Apabila diversi dan pendekatan restoratif dalam proses penyelesaian tidak berhasil mencapai kesepakatan antara kedua pihak, baik pelaku maupun korban, maka sebagai jalan keluar, hakim akan melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan Hukum Acara Peradilan Pidana Anak. Namun, dalam menjatuhkan putusannya, hakim harus mempertimbangkan pelaksanaan diversi sebagai opsi yang telah dipertimbangkan sebelumnya. Dalam konteks ini, hakim perlu mempertimbangkan apakah pelaksanaan diversi, yang merupakan pendekatan alternatif dan rehabilitatif, masih memungkinkan untuk dilaksanakan demi pemulihan pelaku dan pemenuhan keadilan yang lebih luas.

Hakim juga harus memastikan bahwa penanganan kasus tersebut tetap berada dalam koridor hukum yang berlaku dan memperhatikan hak-hak semua pihak yang terlibat. Hal ini menunjukkan bahwa sistem peradilan pidana anak di Indonesia memberikan ruang bagi upaya restoratif dan rehabilitatif dalam menangani perkara pidana yang melibatkan anak. Namun, keputusan akhir tetaplah menjadi tanggung jawab hakim, yang harus mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk kepentingan anak, keadilan, dan perlindungan hak-hak semua pihak yang terlibat dalam kasus tersebut.

Peradilan Pidana pada Anak

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan upaya konkret dari negara untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Undang-undang ini mengatur seluruh proses penyelesaian perkara anak, mulai dari tahap penyelidikan hingga tahap pembimbingan setelah menjalani pidana, dengan tujuan memastikan bahwa anak mendapatkan perlakuan yang sesuai dengan usia dan kebutuhannya.

Pada dasarnya, peradilan pidana anak menekankan pendekatan yang berbeda dengan peradilan pidana orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh karakteristik dan kondisi perkembangan anak yang berbeda dengan orang dewasa. Dalam konteks ini, penting untuk memperhatikan beberapa asas perlindungan dalam penanganan perkara anak, antara lain asas kepentingan terbaik anak, asas rehabilitasi dan reintegrasi sosial anak, asas kesetaraan, asas privasi dan perlindungan identitas anak, serta asas tanggung jawab dan pertanggungjawaban anak yang proporsional.

Namun, dalam implementasinya, terdapat tantangan yang perlu diatasi. Salah satunya adalah ketidaksempurnaan sistem peradilan pidana anak, di mana masih terdapat kesenjangan antara kebijakan dan praktik yang terjadi di lapangan. Selain itu, pemikiran pesimisme juga muncul dari berbagai kalangan masyarakat terkait dengan kekebalan hukum yang dimiliki oleh anak di bawah umur. Hal ini dapat mengakibatkan perasaan ketidakadilan di antara masyarakat yang merasa bahwa anak di bawah umur dapat dengan mudah terlepas dari sanksi hukum yang seharusnya mereka terima.

Dalam konteks tersebut, negara perlu melakukan refleksi mendalam terkait dengan upaya untuk mengurangi tingkat kejahatan anak dan menghindari repetisi perilaku kriminal di masa depan. Perlindungan hak anak sebagai korban juga tidak boleh terlupakan, di mana negara harus memastikan pemenuhan hak-hak korban serta memberikan keadilan dan pemulihan yang setimpal. Selain itu, perlu adanya upaya yang berkelanjutan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perlindungan anak, mengurangi stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, serta membangun sistem pendidikan dan rehabilitasi yang memadai bagi anak pelaku tindak pidana.

Dalam hal ini, pemerintah, lembaga terkait, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya perlu bekerja sama untuk mengatasi tantangan tersebut. Pengembangan program dan kebijakan yang holistik dan terintegrasi menjadi penting guna memastikan perlindungan hak anak, rehabilitasi yang efektif, dan mencegah kriminalitas anak. Selain itu, perlunya pendekatan preventif dan edukatif dalam mengatasi faktor risiko yang mempengaruhi anak untuk terlibat dalam tindak pidana, seperti kondisi keluarga yang tidak kondusif, lingkungan yang negatif, serta kurangnya akses terhadap pendidikan dan kesempatan yang memadai untuk tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, upaya perlindungan dan penanganan anak dalam sistem peradilan pidana harus terus diperluas, diperbaiki, dan disempurnakan agar dapat memberikan perlindungan yang efektif dan adil bagi anak sebagai generasi penerus bangsa.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//