• Buku
  • RESENSI BUKU: Rantai Kekerasan, Kekuasaan, Ras, dan Agama di Indonesia

RESENSI BUKU: Rantai Kekerasan, Kekuasaan, Ras, dan Agama di Indonesia

Andreas Harsono mencatat konflik-konflik kekerasan berbasis ras dan agama yang terjadi di seluruh penjuru Indonesia setelah runtuhnya Orde Baru.

Jurnalis senior Andreas Harsono menyatakan dukungannya terhadap LPM Lintas yang diberedel IAIN Ambon. (Sumber: Instagram Andreas Harsono)

Penulis Izam Komaruzaman13 Agustus 2023


BandungBergerak.id – Kekerasan menjadi salah satu bagian panjang dari sejarah Indonesia. Salah satu promotor terbesar dari kekerasan di Indonesia adalah rezim Orde Baru (Orba). Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto melahirkan satu bentuk state of violence atau negara kekerasan yang menghendaki kekerasan guna mempertahankan kepatuhan di masyarakat.

Operasi militer yang dilakukan pada masa Orba, di Aceh, Papua, dan Timor Leste merupakan satu bentuk kekerasan oleh negara. Di Bumi Serambi Mekkah, laporan Komnas HAM mengenai operasi militer pada rentang 1989-1998, menyebabkan 781 orang tewas, 120 wanita diperkosa, 3.000 orang menjadi janda, dan sekitar 15 sampai 20 ribu anak menjadi yatim, serta kemungkinan korban bisa lebih besar. Di Timor Leste pun mengalami kekerasan serupa, laporan CAVR atau Komisi Rekonsiliasi dan Pencari Fakta Timor Leste yang diserahkan ke PBB menyatakan pada rentang 1975 sampai 1999, semasa pendudukan Indonesia terjadi pembunuhan kepada 100 ribu warga Timor Leste.

Sementara itu, dalam bentuk lain, negara juga memfasilitasi kekerasan dengan membuat konflik-konflik horizontal di masyarakat. Dalam analisis Ian Douglas Wilson di buku Politik Jatah Preman, Orba memelihara kekuatan-kekuatan paramiliter, sebagai kepanjangan tangan kekerasan negara,  seperti Pemuda Pancasila (PP) dan Front Pembela Islam (FPI). Hubungan keduanya biasanya bersifat patron-klien, dengan satu pihak diuntungkan lewat jaringan keuntungan ekonomis. Sedangkan Orba dapat memelihara struktur sosio-politik yang harmonis.

Namun, bangunan negara kekerasan ala Orba menyisakan lubang kerusakan yang begitu besar. Pasca runtuhnya Orba, beragam konflik terjadi di seluruh penjuru Indonesia. Andreas Harsono dalam buku Race, Islam, and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia, menuliskan konflik-konflik kekerasan berbasis ras dan agama pasca keruntuhan Orba. Andreas membagi bukunya menjadi tujuh bab, masing-masing bab merepresentasikan pulau-pulau besar di Indonesia, dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Maluku, Nusa Tenggara, hingga Papua. Namun, tulisan ini hanya akan membahas tiga bab di dalamnya, yaitu bab Sumatera, Kalimantan, dan Ambon.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Masa-masa Kelam Perempuan di Zaman Pendudukan Jepang
RESENSI BUKU: Bagaimanapun Caranya, Patriarki Harus Hancur
RESENSI BUKU: Purnama Kedua Belas Sabari

Kecamuk di Ujung Barat

Andreas membuka bukunya dengan konflik di wilayah paling barat Indonesia, Aceh. Konflik berkepanjangan di Aceh diciptakan oleh pemerintahan Soeharto yang Jawa sentris dan koruptif. Geoffrey Robinson dalam esainya Rawan is as Rawan Does: The Origins of Disorder in New Order Aceh, menganalisis setidaknya terdapat dua sebab kenapa rakyat Aceh melancarkan perlawanan terhadap negara. Pertama, ketimpangan ekonomi di mana sumber daya alam Aceh diisap oleh Orba tanpa memberikan manfaat yang jelas bagi Aceh. Kedua, doktrin kekerasan Orba yang selalu menganggap kemarahan rakyat Aceh sebagai tindakan separatis, ini menyebabkan antagonisme antara Aceh dengan pemerintah pusat.

Dalam bukunya, Andreas beberapa kali menyentil perilaku semena-mena aparat keamanan di Aceh, termasuk penjarahan dan pemerkosaan. Saat berada di monumen nol kilometer Indonesia Andreas melontarkan sebuah pertanyaan, "Apa arti simbol ini ketika banyak orang di luar Jawa diperlakukan dengan hina saat menuntut keadilan?"(hlm. 6).

Gempa Aceh menjadi titik balik di daerah tersebut. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang terbentuk pada masa Orba sebagai bentuk perlawanan terhadap negara bersepakat untuk melakukan gencatan senjata dengan pemerintah, lewat perjanjian damai di Helsinki, Finlandia tahun 2005. Salah satu poinnya adalah menjadikan Aceh sebagai "daerah otonomi khusus" dengan hukum syari'ah. Namun, dari kacamata Andreas hal ini tidak semata-mata menghilangkan konflik kekerasan di Tanah Rencong. Justru timbul kekerasan dan diskriminasi terhadap umat agama lain maupun orang-orang yang memiliki orientasi seksual berbeda.

Dari Sambas ke Ambon

Bab selanjutnya membicarakan tentang pembantaian orang Madura di Kalimantan. Sekira tahun 2004, Andreas mengunjungi Abunawas, seorang korban dari konflik pembantaian Madura antara tahun 1997-2001. Konflik yang terjadi di wilayah Sambas, Sampit, dan Sanggau Ledo itu memakan korban lebih dari 6.500 orang Madura.

Beberapa kebrutalan konflik itu dituliskan Andreas, di antaranya pemenggalan kepala, bayi yang dilemparkan ke sarang semut merah, hingga pemotongan payudara perempuan. Menurut Andreas, salah satu pembunuhan terkeji adalah di Senangi, sebuah desa terpencil di Sambas. Konflik terjadi antara suku Melayu dan Dayak, melawan suku Madura. Terdapat 40 kepala keluarga di Sambas, pertempuran tidak berjalan imbang, banyak perempuan dan anak-anak melarikan diri ke arah hutan. Salah satu korban, Mariyama mengatakan 14 orang terdekatnya meninggal saat itu.

Dibanding masalah ras, Chairil Anwar salah seorang profesor di Universitas Tanjungpura melihat pembantaian suku Madura sebagai masalah ekonomi. Ketika orang Madura datang, mereka mengancam pekerjaan-pekerjaan pribumi. Hal yang sama juga diungkapkan Maria Goreti dari Djuweng Pancur Kasih juga melihat terjadi kecemburuan sosial antara suku. Program transmigrasi Orba melahirkan ketimpangan, ketika tiap orang dari suku Madura mendapat konsesi dua hektare lahan, penduduk pribumi Dayak hanya memiliki 0,5 hektar.

Selain faktor ekonomi tersebut, Gerben Nooteboom, seorang Antropolog asal Universitas Amsterdam  dalam artikelnya Why the Madurese? Ethnic Conflict in West and East Kalimantan Compared menganggap diskriminasi oleh Orba terhadap suku Dayak menjadi bahan bakar dari konflik di Kalimantan Barat. Rezim Soeharto menganggap masyarakat Dayak sebagai masyarakat kelas dua yang tidak merepresentasikan karakteristik Indonesia modern. Representasi suku Dayak dalam politik dan administrasi pun minim, mereka dianggap Orba sebagai suku terbelakang dan primitif dibanding suku lainnya di Kalimantan. 

Konflik selanjutnya yang menjadi perhatian Andreas terjadi di Ambon tahun 1999–2002. Namun, berbeda dengan konflik antar suku di Kalimantan, konflik Ambon lebih disebabkan oleh sentimen keagamaan. Konfrontasi antar umat beragama di sana memaksa 700 ribu orang mengungsi. Sementara itu diperkirakan 10 ribu orang tewas dalam konflik berdarah tersebut.

Andreas bertemu dengan Wa Malia dan Wa Djalia yang menyaksikan langsung kengerian sejak pertama konflik Ambon bermula pada 19 Januari 1999. Kesaksian keduanya, perkelahian bermula antara supir bus beragama Kristen dengan seorang pemuda Islam. Konflik pun meluas menjadi antar kampung, pemuda Batumerah–kampung dominan kristen–dengan pemuda Mardika, sebuah perkampungan Muslim. Konflik menjadi semakin meluas ke seluruh Ambon, aparat keamanan terlalu lambat dalam merespons. Sementara di Jakarta, Habibie kelimpungan dengan intrik politik dan ragam kerusuhan pasca jatuhnya Soeharto.

Dalam bab kelima bukunya ini, Andreas menulis besarnya skala konflik di Ambon sehingga menyorot perhatian umat Muslim di seluruh dunia. Mantan pejuang Al-Qaeda, Jemaah Islamiyah, dan Laskar Jihad di Jawa ikut dalam konflik yang mereka sebut sebagai jihad tersebut. Ditambah, media di Ambon kala itu turut membuat api konflik semakin membara. Pers terbelah menjadi pers Islam dan pers Kristen. Suara Maluku saat itu mewakili kepentingan orang Kristen, sedangkan pecahannya adalah Ambon Express yang berpihak kepada orang Islam. Sialnya, dua koran itu sama-sama berada di bawah naungan Jawa Pos pimpinan Dahlan Iskan.

Menilik lebih dalam, konflik di Ambon juga tidak lepas dari peran Orba yang memarginalkan daerah timur Indonesia. Pembangunan ekonomi kala itu, selalu mengedepankan pulau Jawa sebagai titik utamanya, dan melupakan wilayah-wilayah terluar termasuk Ambon. Konflik di Ambon tidak bisa hanya dilekatkan pada sentimen agama saja. Pada nyatanya, konflik ini lekat dengan ketimpangan dan kecemburuan sosial, pribumi Ambon merasa Muslim Buton yang merupakan pendatang terlalu banyak menguasai pemerintahan dan ekonomi. Apalagi awal 1990-an, Soeharto menunjuk Saleh Latuconsina sebagai gubernur, meminggirkan orang-orang Kristen dari jabatan penting di pemerintahan.

Di akhir bab, Andreas mengutip perkataan seorang guru dari suku Kao, Yuningsih Saibaka, “Tidak ada yang menang, tidak ada yang kalah. Pemenang menjadi arang, yang kalah menjadi abu.” Andreas melihat konflik di Maluku tersebut hanya membawa kesengsaraan bagi masyarakat, ribuan rumah dibakar, ladang-ladang hancur, dan ribuan orang kehilangan sanak keluarga.

Tiga bab di yang sudah dijelaskan kiranya sudah cukup mewakilkan, konflik bersenjata, konflik kesukuan, dan konflik agama. Di bagian penutup, Andreas mencoba untuk memaknai ulang arti dari nasionalisme, untuk apa nasionalisme bila orang-orang di luar Jawa diperlakukan secara tidak adil?

Andreas mengutip Benedict Anderson, perlu sebuah perubahan radikal tentang mindset para politisi tentang nasionalisme. Nasionalisme sempit yang dipromosikan pemerintah pusat tidak mampu menampung keragaman dari Sabang sampai Merauke. Masih panjang jalan untuk membumikan “Bhinneka Tunggal Ika” di bumi pertiwi. Mewujudkan demokratisasi, kemanusiaan dan nasionalisme sekuler dapat menjadi jalan yang bisa ditempuh, sebelum nasionalisme itu menjadi fasisme, atas nama suatu etnis maupun agama.

Butuh waktu hingga 15 tahun untuk Andreas menyelesaikan seluruh isi dalam buku ini. Meski terlihat seperti sebuah catatan perjalanan, namun Andreas tidak menghilangkan unsur akademik di bukunya. Sebagai wartawan kawakan, Andreas menggunakan disiplin-disiplin jurnalistik dalam bukunya, kisah-kisah dari tiap aktor ia libatkan dalam setiap tulisannya.

 

Informasi Buku

Judul: Race, Islam, and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia

Penulis: Anderas Harsono

Penerbit: Monash University Publishing

Cetakan: 2019

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//