• Buku
  • RESENSI BUKU: Purnama Kedua Belas Sabari

RESENSI BUKU: Purnama Kedua Belas Sabari

Novel “Ayah” karya Andrea Hinata menyisipkan pesan moral mengenai kehidupan, kegigihan, kebersamaan, dan perjuangan.

Buku “Ayah” karya Andrea Hinata terbitan PT Bentang Pustaka (2018). (Foto: Audrey Kayla Fachruddin)

Penulis Audrey Kayla Fachruddin23 Juli 2023


BandungBergerak.id – Andrea Hirata dapat dikatakan sebagai salah satu novelis Indonesia yang mampu menulis suatu karya yang melekat pada benak pembacanya, salah satunya adalah novel "Ayah" yang saya terima sebagai kado ulang tahun di tahun 2019 lalu. Meskipun novel ini sudah lama tidak saya baca, kisah yang ditulis oleh Andrea Hirata tetap memiliki tempat istimewa di dalam benak saya.

Berlatar belakang di Belitong, novel ini menceritakan liku-liku perjalanan hidup Sabari yang ditemani oleh dua sahabatnya, Ukun dan Tamat. Berbeda dengan Ukun dan Tamat yang mudah jatuh cinta, Sabari dikenal sebagai pria "dingin" yang sulit jatuh cinta. Baginya, cinta adalah perbuatan buruk yang dilindungi hukum (hal. 10).

Namun, hal itu berubah ketika Sabari bertemu dengan Marlena secara tidak sengaja saat tes masuk SMA. Di mata Sabari, Marlena memiliki mata yang indah, teduh tetapi berkilau, bak purnama kedua belas (hal. 13). Sejak itu, Lena disebut sebagai "Purnama Kedua Belas" oleh Sabari.

Ia akhirnya memahami bagaimana perasaan Ukun dan Tamat ketika jatuh cinta sehingga ia tidak lagi "mencela" kedua sahabatnya. Awalnya Sabari hanya curi-curi pandang terhadap Lena tetapi berakhir berusaha untuk menarik perhatian Lena. Tidak jarang ia menitipkan salam dan lagu untuknya melalui radio lokal. Kemudian, karena Sabari piawai dalam berbahasa Indonesia, tidak lupa juga ia mengirimkan berbagai puisi cinta yang merupakan keahliannya.

Sabari juga mencoba berbagai hal yang dia dengar mengenai kesukaan Lena, mulai dari menjadi pemain kasti karena Lena suka main kasti hingga masuk ke grup band SMA dan menjadi tukang gulung kabel karena Lena menyukai pemain gitar band SMA-nya. Melihat berbagai tingkah laku Sabari, Ukun dan Tamat yang mudah jatuh cinta pun meminta Sabari untuk menghentikan sandiwara tersebut. Tidak hanya itu, Lena juga diceritakan selalu menolak Sabari.

Setelah berbagai penolakan Lena dan patah hati yang dirasakannya, perasaan Sabari akhirnya terbalaskan secara terpaksa. Ayah Lena menawari Sabari untuk menikahinya karena Lena sedang mengandung anak dari hubungannya dengan pria lain. Meskipun situasinya seperti itu, Sabari tetap menyayangi Lena dan anaknya, Zorro. Baginya, Zorro adalah pemantik semangat hidupnya.

Sabari rela kerja membanting tulang hanya untuk membahagiakan Zorro, untuk melihat Zorro tumbuh dengan baik, untuk melihat Zorro tertawa dan tersenyum riang. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama karena Lena menggugat cerai Sabari dan mengambil alih hak asuh atas Zorro.

Semenjak kejadian itu, Sabari menjadi gundah gulana hingga tidak mengurus dirinya sendiri. Ia terus menunggu kapan Zorro akan kembali di berandanya sembari menggenggam pensil yang diberikan Lena saat tes masuk SMA dengan erat. Karena iba melihat Sabari seperti itu, Ukun dan Tamat pada akhirnya memutuskan untuk membantu Sabari mencari Zorro dari ujung Pulau Sumatera hingga bertemu.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Bukan Pasar Malam, sebuah Cerita Penerimaan dan Perpisahan
RESENSI BUKU: Masa-masa Kelam Perempuan di Zaman Pendudukan Jepang
RESENSI BUKU: Bagaimanapun Caranya, Patriarki Harus Hancur

Alur Campuran yang Menarik

Berbagai hal menarik yang saya temui ketika membaca novel ini adalah terdapat beberapa bab yang menggunakan perspektif tokoh yang berbeda. Alur campuran yang dituliskan ini dapat membingungkan para pembaca untuk pertama kalinya. Meskipun begitu, alur campuran ini dapat membawa saya terhanyut di dalam cerita seperti sedang menonton film yang kerap mengganti scene-nya ketika membahas sesuatu dalam waktu yang berbeda.

Dalam penulisannya, Andrea Hirata dapat dikatakan telah berhasil membawa berbagai warna ke dalam novel ini melalui guyonan dan puisinya. Ia juga menaburi berbagai "bumbu" lokal di dalam tulisannya karena terdapat banyak penggunaan kosakata khas Belitong yang semakin memperkuat narasi yang dibawakan. Hal ini membuat saya seperti ikut dibawa pada kondisi Sabari ketika menghadapi liku-liku kehidupannya dan keadaan Sabari ketika berbicara dengan berbagai tokoh, terutama kepada kedua sahabatnya.

Selama membaca, emosi saya seperti dicampur aduk dengan baik dan diakhiri dengan kelegaan. Seperti berbagai karyanya, di dalam novel ini juga Andrea Hirata kembali menggarisbawahi isu sosial yang kerap menjadi masalah besar, yakni kualitas pendidikan dan pergaulan bebas. Melalui berbagai hal itu, novel ini tentu memiliki berbagai pesan moral mengenai kehidupan, kegigihan, kebersamaan, dan perjuangan.

Informasi Buku

Judul: Ayah
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka)
Perancang Sampul: Andreas Kusumahadi
Cetakan: Keduapuluh Tiga, Oktober 2018
Halaman: xx + 412 halaman
ISBN: 978-602-291-102-9

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//