• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #40: Titik Terang Polemik Pembangunan Stasiun Cicalengka

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #40: Titik Terang Polemik Pembangunan Stasiun Cicalengka

Mendaftarkan Stasiun Cicalengka Sebagai Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) menjadi langkah sementara mencegah penghancuran bangunan selama proses kajian berlangsung.

Muhammad Luffy

Pegiat di Lingkar Literasi Cicalengka

Stasiun Cicalengka berfungsi sebagai stasiun kelas I di Daerah Operasi II Bandung yang mulai beroperasi sejak tahun 1884,, Minggu (3/10/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

16 Agustus 2023


BandungBergerak.id – “Siang itu hari Rabu (26/7/2023), tepat ketika suara azan zuhur berkumandang, saya tiba-tiba menerima pesan Whatsapp dari Balai Teknik Perkeretapian (BTP) yang berisi undangan audiensi. Dalam pesan itu tertulis bahwa acara akan dilaksanakan pukul 13.00 WIB. Dengan kata lain, pihak BTP mengundang kami hanya berjarak satu jam dari rencana audiensi yang akan dilangsungkan”.

Begitulah penggalan cerita Hafidz kepada kami, soal undangan audiensi yang diberikan satu jam sebelum pelaksanaan. Tidak hanya itu, konon, satu minggu kemudian pada hari Kamis (24/7/2023), Hafidz menerima kembali undangan audiensi melalui pesan Whatsapp. Kali ini, pihak BTP memberikan surat undangan tersebut sekitar pukul 3 dini hari. Sementara acaranya sendiri akan digelar pukul 10.00 WIB. Merasa tidak dihargai, Hafidz lebih memilih untuk tidak datang pada audiensi penting itu, meski saat pihak BTP menelepon, Hafidz memberikan alasan ada halangan mengajar.

Cara yang dilakukan oleh BTP itu memang mengandung unsur ketakutan. Bukan saja Hafidz yang merasakan demikian, saya beserta kawan Lingkar Literasi Cicalengka (LLC) lainnya mencurigai jika undangan yang ditujukan secara mendadak itu merupakan upaya BTP untuk membendung kami. Selain itu, undangan tersebut hanya diberlakukan bagi dua orang, yang sebelumnya sempat menghadiri audiensi dengan Kepala BTP bersama jajarannya, yakni Hafidz dan Nurul selaku koordinator Lingkar Literasi Cicalengka.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #37: Dari Cicalengka hingga Menjadi Ketua Presiden Penulis Perempuan Asia Tenggara
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #38: Bertahan di Tengah Gempuran
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #39: Bermaknakah Dua Ribu Tanda Tangan Petisi Penolakan Pemugaran Stasiun Cicalengka?

Titik Terang untuk Stasiun Cicalengka

Beruntung, setelah undangan pertama yang diberikan secara mendadak itu, salah seorang kawan Hafidz yang kini bekerja pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bandung langsung memberikan formulir Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) kepada Nurul agar segera didaftarkan, sehingga bangunan lama tidak dapat diganggu gugat selama proses kajian berlangsung. Sebut saja kawan Hafidz yang tidak mau disebutkan nama aslinya itu Abdul, dari dirinya kami memperoleh informasi tersebut.

Waktu Hafidz menolak untuk menghadiri audiensi, kebetulan Abdul turut serta dalam audiensi itu bersama jajaran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bandung. Menurut berita yang didapat dari Abdul, audiensi terakhir yang juga mengundang perwakilan dari Badan Riset dan Inovasi (BRIN) serta Balai Pelestarian Kebudayaan, menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, bangunan ODCB tidak akan dihancurkan sampai selesai kajian dilakukan. Kedua, pembangunan dilanjutkan, tetapi tidak mengganggu bangunan ODCB. Tentu saja, kami yang tidak menghadiri audiensi tersebut sangat senang mendengar informasi ini. Meski ini belum bersifat final, tetapi hal ini patut disyukuri mengingat hasil yang sudah maju selangkah.

Pertanyaan kemudian, apa yang akan dilakukan oleh kami selama proses kajian itu berlangsung? Atau, bagaimana bila kajian tersebut tidak membuahkan hasil karena kajian itu tidak memenuhi kriteria? Hingga kini, kami masih terus memikirkan kegiatan yang cocok setelah stasiun lama Cicalengka telah ditetapkan menjadi cagar budaya. Salah satu yang sudah pasti, yaitu menjadikan bagian stasiun lama sebagai museum yang mudah diakses oleh masyarakat. Di samping itu, kami juga ingin agar stasiun itu bisa menjadi tempat kegiatan diskusi yang berkaitan. Bagi kami, ini bukan saja dapat memantik masyarakat untuk berkunjung ke stasiun, namun juga bisa menjadi medium untuk mengedukasi masyarakat akan pentingnya sejarah.

Menyiapkan Langkah Selanjutnya

Untuk jawaban kedua, tentu saja kami tidak akan mudah menyerah. Ikhtiar kami yang sudah dilakukan selama ini sangat kami nikmati, kendati ada konsekuensi yang mesti dihadapi, yakni bertentangan dengan harapan yang diinginkan. Namun kami sangat yakin, bila upaya yang telah dijalani itu akan membuahkan hasil yang baik. Dalam artian, kami yakin bahwa  bangunan stasiun lama akan resmi ditetapkan sebagai cagar budaya. Sekarang ini kami hanya perlu memikirkan bagaimana langkah ke depannya agar rencana yang kami rumuskan itu betul-betul terlaksana.

Yang jelas, sebagaimana sering dinyatakan, bahwa penolakan kami terkait proyek yang sedang berjalan ini bukanlah ditekankan pada penolakan terhadap pembangunan, melainkan pada penghancuran bangunan lama yang sudah kami anggap sebagai simbol untuk mengedukasi. Stasiun Cicalengka hanyalah sebuah benda mati. Tetapi selama satu abad lebih, benda tersebut menyimpan memori kolektif yang seakan-akan hidup melampaui zaman yang terus berganti. Di situ ada jejak Sukarno,ada jejak Douwes Dekker, jejak Wolff Schoemaker sebagai mentor Sukarno, jejak Dewi Sartika sebagai pendiri sekolah Kautamaan Istri, jejak Ir. H. Juanda yang nantinya akan menjadi Perdana Menteri, serta jejak-jejak lain tokoh-tokoh yang sempat menempati ruang bangunan stasiun lama.

Jejak-jejak mereka ini bukan sebatas jejak seorang tokoh yang hanya menginjakkan kakinya ke tempat pemberhentian kereta api. Lebih dari itu, jejak mereka mengandung berbagai spirit kebangsaan dan perlawanan atas kolonialisme. Seperti yang ditunjukkan oleh Sukarno saat ditangkap di Yogyakarta menuju Bandung dan berhenti di Stasiun Cicalengka untuk selanjutnya dibawa ke penjara Banceuy. Begitu juga dengan Douwes Dekker yang sedang berjuang untuk organisasi Insulinde. Atau, Wolff Schoemaker yang datang ke Pesantren Fathul Khoer untuk berkhotbah. Di sinilah, perlunya kami untuk meneruskan semua spirit itu dengan cara menjaga bangunan tersebut agar tetap kokoh. Lalu menyampaikan pesan-pesan dalam spirit tersebut bahwa dulu, para tokoh bangsa bersikukuh mempertahankan kepentingannya untuk masyarakat, sehingga dari poin inilah kita mesti mencontoh bahwa suatu keyakinan yang baik akan kerap terbentur dengan segala tantangannya.

Kami sadar, jika hasil audiensi tempo lalu telah membuka secercah titik terang dalam permasalahan Stasiun Cicalengka. Namun, lagi-lagi ini bukan bagian paling akhir. Banyak persoalan di depan yang sedang menunggu. Tentunya soal-soal yang berkaitan dengan literasi. Secara beriringan kami juga sedang memperjuangkan Pojok Baca yang kelak ruangan itu dapat menjadi titik sentral untuk kegiatan LLC. Semoga saja urusan kami selanjutnya selalu mudah dilewati. Termasuk dalam urusan Pojok Baca yang hampir 80 persen menuju pencapaian.

* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//