• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Tantangan Transisi Energi Fosil Menuju Enerji Hijau untuk Indonesia

MAHASISWA BERSUARA: Tantangan Transisi Energi Fosil Menuju Enerji Hijau untuk Indonesia

Transisi energi menuju energi hijau merupakan hal rumit untuk dilakukan bagi negara berkembang yang masih yang sangat tergantung pada energi fosil.

Adhim Muharman Rinaldi

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon, Jawa Barat. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung membatalkan izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A Cirebon dalam sidang putusan Kamis (13/10/2022). (Sumber: Walhi Jabar)

23 Agustus 2023


BandungBergerak.id – Target emisi nol pada 2050 menjadi topik utama COP 27 lalu yang dihadiri oleh 92 kepala negara. Target emisi nol bertujuan agar setiap negara mengurangi pengeluaran karbon masing-masing menuju angka hampir nol untuk mengurangi perubahan iklim yang menjadi isu dunia terbesar pada abad 21. Negara-negara anggota diimbau untuk memakai sumber energi alternatif seperti energi tenaga angin dan surya dan berusaha mengurangi atau bahkan menghilangkan penggunaan energi tak ramah lingkungan seperti batu bara, gas, dan minyak.

Beberapa negara dengan ekonomi yang kuat seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Cina sudah memiliki target dalam upaya mencapai target emisi nol. Negara seperti Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa di untungkan dengan status ekonomi dan kemampuan teknologi mereka yang sudah maju.

Sementara berkembang merasa target yang didorongkan kepada mereka tidak adil akibat kondisi sosio-ekonomi mereka sangat berbeda dengan negara maju. Negara berkembang harus mengalami kerugian apabila berpaling ke energi alternatif.

Negara seperti Indonesia akan mengalami kesulitan dalam mengikuti agenda transisi energi karena sektor teknologi yang masih kurang memadai. Hal ini juga akan berdampak yang besar pada perekonomian Indonesia karena ketergantungan negara terhadap batu bara.

Walau transisi ke energi alternatif memiliki risiko yang tinggi bagi perekonomian, pemerintah Indonesia merasa optimis bahwa Indonesia dapat mencapai emisi karbon nol pada tahun 2060. Pemerintah Indonesia optimis sumber daya alam Indonesia yang merupakan komponen utama dari teknologi hijau seperti nikel dapat mengalahkan ekspor batu bara pada tahun 2030, walaupun saat ini hampir seluruh wilayahnya bergantung pada pemakaian dan ekspor batu bara.

Transisi energi merupakan hal rumit untuk dilakukan terutama bagi negara yang sangat tergantung pada energi fosil. Tantangan eksternal juga akan mempersulit strategi dalam transisi energi.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Kebebasan Berekspresi dalam Demokrasi, Tantangan dan Sikap Netral Universitas Muhammadiyah Surakarta
MAHASISWA BERSUARA: Kontroversi Sistem Peradilan Pidana Anak
MAHASISWA BERSUARA: Meredam Resesi Ekonomi Melalui Pengelolaan Investasi

Simalakama Meninggalkan Energi Fosil

Indonesia tidak bisa lepas dari permasalahan pemanasan global. Sebagai negara kelautan, pemanasan global memiliki dampak yang membahayakan Indonesia. Dalam jangka panjang, pemanasan global dapat menyebabkan kenaikan muka air laut yang diprediksikan dapat menenggelamkan beberapa wilayah pesisir di Indonesia, terutama pesisir pulau Jawa pada tahun 2050.

Dalam jangka pendek, hujan badai dan banjir akan sering menghantam Indonesia. Terjadinya banjir di wilayah Indonesia yang konstan dapat berakibatkan dengan menurunnya produktivitas industri Indonesia. Gelombang panas juga akan terjadi dari adanya pemanasan global pada musim kemarau, hal ini dapat menyebabkan kegagalan panen yang dapat menyerang keamanan pangan Indonesia yang akhirnya berdampak pada perekonomian.

Dengan ekonomi Indonesia terserang dampak langsung dari banjir dan gelombang panas, tingkat kemiskinan di Indonesia akan menaik yang menyebabkan permasalahan kesehatan dan kestabilan sosio-politik Indonesia. Maka, pemanasan global memiliki dampak sangat serius bagi Indonesia dan meninggalkan energi fosil akan penting bagi keberlanjutan infrastruktur ekonomi Indonesia.

Ketergantungan Indonesia pada energi fosil menjadi permasalahan utama dari transisi energi Indonesia. Hampir dari seluruh sumber energi Indonesia berasal dari energi fosil dengan 86% dari infrastruktur Indonesia menggunakan energi fosil.

Sudah seharusnya Indonesia mengurangi ketergantungan dengan energi fosil, namun permasalahan seperti kurangnya akses pada energi hijau dari segi teknologi dan pemeliharaan energi tersebut menghambat Indonesia untuk mengurangi penggunaan energi fosil seperti batu bara. Ketersediaan infrastruktur sampai saat ini masih belum merata bagi seluruh wilayah Indonesia, hal ini akan menyulitkan pengurangan ketergantungan pada energi fosil. Wilayah pelosok Indonesia akan merasa kesulitan apabila transisi ke pembangkit listrik dengan energi hijau mencapai wilayah tersebut karena kurangnya akses untuk pemeliharaan pembangkit tersebut.

Transisi energi bagi Indonesia bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan terutama karena adanya ketergantungan pada sumber energi tidak ramah lingkungan seperti batu bara. Indonesia, sebagai negara berkembang, memiliki kelemahan dalam transisi ke energi alternatif ramah lingkungan terutama karena kurangnya akses teknologi dan kurangnya infrastruktur yang merata. Kedua hal tersebut akan mempersulit transisi energi karena memaksa Indonesia untuk meloncat tiga kali ke depan yang akan berdampak pada perkembangan ekonomi negara pada jangka pendek.

Tantangan Substitusi Batu Bara dengan Nikel

Pemakaian batu bara sebagai sumber energi dapat ditelusuri kembali ke masa revolusi industri pertama di abad 18. Pemakaian masal batu bara telah merusak lingkungan dari asap yang dihasilkan oleh sumber energi tersebut. Walau batu bara sangat berbahaya bagi lingkungan sebagian besar negara, terutama negara berkembang, masih memakainya sebagai sumber energi utama negara seperti contohnya Indonesia.

Batu bara bukanlah sumber daya ekspor terbesar bagi Indonesia, namun dalam beberapa tahun terakhir kuantitas ekspor batu bara mulai meningkat. Pada tahun 2022 sendiri, ekspor batu bara Indonesia meloncat sebanyak 30 juta ton dari tahun 2021 walaupun Domestic Market Obligation (DMO) batu bara di Indonesia sudah berjalan sejak 2017. Meningkatnya kuantitas ekspor batu bara Indonesia akan membuat permasalahan bagi Indonesia apabila Indonesia menargetkan untuk berpaling ke ekspor nikel pada tahun 2030.

Walau Indonesia masih bergantung pada batu bara, pemerintah Indonesia sudah menerapkan beberapa kebijakan yang membantu perkembangan industri pengolahan nikel lokal. Indonesia merupakan produsen nikel nomor satu di dunia yang menyebabkan Indonesia mendapatkan keunggulan apabila berpindah dengan fokus produksi dan ekspor nikel. Indonesia sebagai negara yang berkontribusi pada 37% dari produksi nikel dunia pada tahun 2021, dapat menarik investasi asing seperti Hyundai Motor Group.

Investasi asing pada produksi nikel Indonesia dapat mengakibatkan dua hal yang sangat penting bagi transisi ekspor dan energi Indonesia: perkembangan industri pengolahan nikel yang dapat meningkatkan pendapatan negara dan semakin mudahnya bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan mobil listrik.

Produksi nikel di Indonesia yang bisa dibilang cukup besar, seharusnya berdampak pada perkembangan industri nikel dalam negeri yang berkembang. Kenyataannya industri nikel di Indonesia hanya berkembang pada beberapa tahun terakhir karena peran aktif pemerintah untuk membatasi peran negara asing dalam pertambangan Indonesia. Contoh yang paling konkret adalah dengan pengambilalihan sebagian besar saham dari PT Freeport Indonesia pada tahun 2017 lalu.

Pengambilalihan saham Freeport Indonesia mengakibatkan meledaknya industri nikel di Indonesia yang akan mempermudah transisi Indonesia ke energi hijau. Maka itu, Indonesia seharusnya akan lebih mudah dalam bertransisi ke energi hijau apabila dibandingkan dengan negara berkembang lainnya.

Walau faktor-faktor yang memperkuat transisi energi Indonesia banyak, kebijakan nasional yang seharusnya membantu transisi energi justru diserang oleh negara-negara yang mendorong adanya pencapaian target emisi nol. Organisasi kawasan seperti Uni Eropa yang mengecam kebijakan nasional untuk membatasi ekspor nikel demi perkembangan industri domestik mempersulit langkah Indonesia untuk dapat bertransisi secara utuh.

Pada 2019, Uni Eropa menggugat Indonesia ke WTO mengenai pelarangan ekspor nikel mentah Indonesia yang dinilai oleh Uni Eropa sebagai kebijakan yang tidak adil karena betapa pentingnya barang tersebut bagi negara-negara Eropa. Gugatan Uni Eropa berakhir pada WTO yang mendukung Uni Eropa, walau begitu kasus tersebut masih berjalan sampai tahun 2023. Di tengah tekanan tersebut, perlu kiranya masyarakat mendukung kebijakan pemerintah untuk berperan aktif mendukung pengurangan ketergantungan pada batu bara agar perkembangan infrastruktur dan ekonomi dapat bersifat berkelanjutan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//