• Opini
  • Urgensi Kampanye Pengelolaan Sampah di Sekolah

Urgensi Kampanye Pengelolaan Sampah di Sekolah

Dalam situasi darurat sampah saat ini sekolah dapat mengambil peran mengedukasi, mengampanyekan pengelolaan sampah bahkan dengan mencontohkannya secara langsung.

Fauzan

Pegiat Pendidikan dan Literasi

Kendaraan alat berat bekerja mengangkut sampah di TPS Kota Bandung. Sampah-sampah tersebut belum terpilah. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

1 September 2023


BandungBergerak.id – Darurat sampah yang tengah terjadi di Bandung Raya mesti jadi momentum untuk menggalakkan kampanye pengelolaan sampah di sekolah. Sekolah bisa menjadi agen MLM (multi level marketing). Melalui guru-guru, tidak hanya siswa yang dapat tercerahkan untuk lebih bijak dalam mengelola sampah. Lebih dari itu orang tua siswa juga bisa diajak untuk melakukan dari hal-hal yang kecil, dari praktik-praktik yang sangat sederhana.

Dengan kampanye yang dilakukan terus menerus, bukan tidak mungkin virus pengelolaan sampah dari sumber dapat menyebar luas. Orang tua siswa yang tercerahkan bisa melakukannya di rumah yang bukan tidak mungkin akan menarik perhatian tetangga dan semoga juga turut melakukan hal serupa. Ada hampir 300.000 siswa yang ada di Kota Bandung di semua jenjang. Bisa dibayangkan efek domino yang akan terjadi apabila dilakukan dengan masif.

Meminjam terminologi Kang Pisman (Kurangi Pisahkan Manfaatkan) yang digembar-gemborkan Pemkot Bandung, sekolah bisa memulainya dengan program pengurangan sampah. Siswa dikondisikan untuk semaksimal mungkin mengurangi produksi sampah harian. Minimalnya sampah yang dihasilkan selama beraktivitas di sekolah.

Misalkan dengan memberlakukan aturan keharusan membawa tumbler sendiri dari rumah untuk memenuhi kebutuhan air minum. Lalu bisa juga dengan mengharuskan siswa membawa wadah makanan untuk jajan. Atau lebih ekstrem lagi kalau siswa disuruh untuk membawa bekal sendiri dari rumah masing-masing, dilarang jajan di lingkungan sekolah.

Beranjak ke gerakan memisahkan sampah. Orang bisa tergerak kalau tersedia sarana prasarana yang menarik. Sediakan tempat sampah yang dibedakan berdasarkan jenisnya. Misalkan tiga jenis sampah: organik, anorganik, dan residu. Usahakan bentuknya unik, atau minimal bergambar seperti robot atau karakter kartun tertentu agar menarik minat siswa.

Buat aturan main sejelas mungkin agar siswa didorong untuk menyadari betapa penting pengurangan dan pemilahan sampah ini. Edukasi praktis seperti ini sangat disarankan dibandingkan dengan hanya penyampaian teori di kelas. Pemberian reward and pusihment dengan kadar yang disesuaikan juga tidak ada salahnya untuk diterapkan.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #20: Yang Belum Usai dari Program Pengelolaan Sampah (2)
Data Produksi Sampah Harian Berdasarkan Jenisnya di Kota Bandung 2009-2021: Sampah Sisa Makanan Jadi Penyumbang Terbesar
Darurat Sampah, Sekolah, dan Kampanye Pengelolaan Sampah

Mulai dengan Mengubah Kebiasaan

Saat masih mengajar di SD, penulis pernah menerapkan hal yang sangat sederhana di kelas. Siswa tidak diperbolehkan pulang sebelum kelas bersih dari sampah. Terutama dari sampah-sampah bekas makanan yang sering kali mereka simpan di bawah meja belajar. Kebiasaan kecil yang dilakukan berulang sedikit banyaknya akan berdampak pada sikap mereka dalam melihat sampah.

Setelah dipilah, sampah dapat dimanfaatkan sesuai jenisnya. Sampah organik dapat diolah menjadi kompos. Cara sederhananya dapat memilih metode OTG (organic tower garden) yang berupa integrasi antara pengolahan sampah organik dengan penanaman sayuran berbahan utama ember cat bekas dan paralon yang didesain sedemikian rupa.

Sisa makanan atau dedaunan dapat dimanfaatkan untuk budidaya maggot yang bisa menjadi makanan hewan. Atau bisa juga memanfaatkan biodigester sehingga menjadi biogas. Dan masih banyak metode pengolahan lainnya yang dapat dipilih.

Sementara sampah plastik, kertas, atau dus yang bernilai ekonomi dapat dikumpulkan untuk kemudian dijual kepada pengepul. Program bank sampah dapat digalakkan sekaligus untuk mengedukasi anak agar rajin menabung sedari dini meski tidak berbentuk uang.

Gerakan-gerakan seperti itu merupakan wujud kepedulian kita terhadap kondisi lingkungan. Apalagi dalam situasi darurat sampah seperti ini. Saat tulisan ini dibuat, sudah ada lebih dari 10 ribu ton sampah di Kota Bandung yang tidak terangkut ke tempat pembuangan.

Akibatnya, jangan heran kalau sudah mulai ada bau tidak sedap di banyak tempat karena tumpukan sampah dimana-mana. Betapa tidak, masih banyak yang tidak sadar atau bahkan tidak peduli dengan darurat sampah yang sedang terjadi sehingga dengan seenaknya membuang sampah sembarangan. Padahal, bukan tidak mungkin situasi ini akan menimbulkan sejumlah penyakit.

Harus Dimulai dari Sekarang

Setiap orang menghasilkan sampah setiap harinya. Akan tetapi tidak sedikit orang yang abai terhadap pengelolaannya. Jika sudah terjadi bencana atau minimal mengganggu pandangan dan penciuman malah misuh-misuh. Diminta untuk berkontribusi malah menunjukkan sikap not in my backyard atau dalam Bahasa Indonesia EGP (emang gue pikirin).

Mengedukasi masyarakat memang tidaklah mudah. Butuh waktu yang tidak singkat. Tidak bisa hanya dilakukan sehari dua hari. Mengedukasi masyarakat tak ubahnya mengajak kepada kebaikan. Orang akan sangat suka melihat orang lain berbuat baik. Akan tetapi, tidak akan bersikap yang sama apabila diajak kepada kebaikan.

Sedikit mengingatkan pemberitaan yang cukup viral terkait aksi pendukung dan pemain timnas sepakbola Jepang saat Piala Dunia 2022 lalu. Mereka melakukan aksi pungut sampah di stadion maupun ruang ganti pemain sehingga tampak klinis setelah pertandingan. Banyak orang melontarkan puja puji atas aksi tersebut. Sebaliknya, jika diajak untuk melakukan hal serupa, banyak yang enggan bahkan malah nyinyir.

Situasi darurat sampah seperti ini entah sampai kapan terjadi. Sekalipun dalam waktu dekat akan ditemukan solusi, bukan tidak mungkin akan terjadi situasi serupa di kemudian hari. Secara kapasitas, TPA Sarimukti sudah melampaui batasnya. Sementara di sisi lain, TPPAS Legok Nangka konon memerlukan waktu hingga lima tahun untuk proses transisinya.

Maka tidak bisa tidak, kita semua harus sudah mulai berpikir untuk mengelola sampah dari sumber. Ini momentum untuk mengubah sikap kita terhadap sampah. Mari kita berbuat dengan kapasitas masing-masing. Pemerintah berupaya dengan sumber daya yang dimilikinya. Sekolah dapat mengambil peran mengedukasi, mengampanyekan pengelolaan sampah bahkan dengan mencontohkannya secara langsung.

Tidak perlu dengarkan omongan miring dari orang yang tidak mau diajak berbuat baik. Bukankah di pendidikan ada program guru penggerak, program sekolah penggerak, atau program organisasi penggerak yang bermoto bergerak, tergerak, dan menggerakkan? Isu pengelolaan sampah ini sangat-sangat layak untuk dijadikan sebuah program yang nantinya dikampanyekan dalam lokakarya bahkan dipamerkan hasil akhirnya di panen karya.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//