Pemuda Peradaban Menuju Masyarakat Madani
Generasi muda menopang hampir 24% total populasi Indonesia. SDM muda tersebut mesti baik secara intelektual, kesehatan, dan kesejahteraan.
Sidik Permana
Freelancer, pemilik akun Instagram si.per_multiverse
5 September 2023
BandungBergerak.id – Republik Indonesia optimis untuk menyambut status sebagai “negara maju” pada usia kemerdekaan ke-100 tahun di 2045 mendatang. Sebagaimana cita-cita pembangunan Presiden RI Joko Widodo yang dikutip dari siaran pers tertanggal 6 Oktober 2021, sebagaimana dikutip dari laman Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Republik Indonesia (2021). Namun, harapan tersebut tidak akan berarti apa pun apabila tidak turut diwujudkan melakukan sebuah aksi nyata dan perencanaan yang matang serta berkomitmen penuh.
Salah satu target utama yang perlu dibangun sedari dini dan krusial adalah pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Di antara variabel-variabel SDM tersebut, salah satu yang menjadi sorotan adalah para pemuda (generasi muda).
Namun, berbagai persoalan menghampiri pembangunan manusia muda Indonesia ini, di antaranya adalah persoalan pendidikan dan kesehatan. Dikutip pada laman Lemhannas (2021), diketahui bahwa 54% angkatan kerja di Indonesia terindikasi mengalami stunting, yang tersebar di sektor kerja swasta, birokrasi sipil, kepolisian, dan kemiliteran. Sedangkan kita ketahui, bahwa stunting berpotensi memperlambat perkembangan otak, dengan dampak jangka panjang berupa keterbelakangan mental, rendahnya kemampuan belajar, dan risiko penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, hingga obesitas.
Sayangnya, dilansir dari laman Alodokter.com (2023), didasarkan pada data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, ada sekitar 24% atau 5,33 juta balita Indonesia mengalami stunting. Jadi, mulai sejak balita hingga angkatan kerja sekalipun, masalah stunting menjadi permasalahan kesehatan yang terus menghantui Indonesia.
Di tengah permasalahan kesehatan yang membayangi Indonesia, masalah pendidikan turut memperburuk keadaan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) (2022), secara demografis, terdapat sekitar 24% atau 65,82 juta pemuda di Indonesia, dengan komposisi kelompok umur 16-30 tahun. Namun, kualitas pendidikan Indonesia tidak mentereng layaknya jargon “Indonesia Emas 2045”.
Dalam situs pemeringkatan dunia, worldtop20.org (2023), yang diambil dari United Nation’s Sustainable Development Goal Initiative (2015-2030), memosisikan kualitas pendidikan Indonesia di urutan 67, dibandingkan dengan Singapura di urutan ke-22, dan tetangga lainnya seperti Vietnam di urutan ke-53. Pada saat yang sama, tingkat intelegensi (Intelligence Quotient atau IQ) masyarakat Indonesia, menurut laporan dari World Population Review (2023), berada di urutan ke-130 dengan rata-rata IQ 78,49 dari total 277.534.122 juta penduduk. Dengan kondisi demikian, apa yang bisa diharapkan dari generasi penerus bangsa?
Baca Juga: Menelaah Makna Kemerdekaan, Kecerdasan, dan Kekuatan
Menuju Mahkamah Kebijaksanaan dan Mahkamah Konsistensi
Generasi Penerus Mesti Madani
Sejauh ini, dalam perspektif berbangsa dan bernegara, generasi penerus bangsa sejatinya berada pada taraf masyarakat madani, setidaknya mendekati. Madani sendiri merujuk kepada sebuah bangsa yang berperadaban dengan konsekuensi bangsa tersebut memiliki karakteristik maju progresif dengan ciri khas yang tidak dimiliki oleh bangsa terbelakang dalam percaturan peradaban dunia. Maka, masyarakat madani dapat digambarkan sebagai masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Syamsuddin, 1997). Dalam gambaran tertentu, nilai-nilai kebajikan, kualitas interaksi sosial, keterbukaan terhadap gagasan, dan demokratis adalah bagian dari konsep civil society modern.
Atas dasar itulah, maka anak muda harapan bangsa adalah anak muda yang merupakan perwujudan dari masyarakat madani. Salah satunya adalah anak muda yang memiliki kualitas intelektual yang mumpuni. Bagaimana pun, manusia berbudaya kritis, kreatif, dan inovatif mestilah memiliki kualitas intelektualitas yang mendukung.
Bayangkan, apa yang kurang dari sejarah panjang kerajaan-kerajaan yang besar di nusantara, namun harus berakhir buruk, di antaranya, oleh kekuatan bangsa kecil dari Barat yang melancong ke dwipantara dengan niat awal “berdagang”. Bagaimana Kesultanan Aceh, Kesultanan Banten, Mataram Islam, Maluku, dan lainnya, akhirnya berhasil ditumbangkan—tidak semuanya—oleh kekuatan asing.
Benar, kekuatan intelektual yang menjelma menjadi militer, persenjataan, politik, ekonomi, dan lainnya. Atas dasar sejarah itu, maka guna menghindari sejarah terulang, maka generasi muda Indonesia harus cukup berkualitas secara intelektual, menyumbang gagasan dan inovasi guna kemajuan bangsa. Bahkan, intelektualitas yang memadai, dapat digadang-gadang membuka pikiran yang jauh lebih terbuka, mengasah perasaan (kecerdasan emosional), dan memperluas peluang hidup dengan lebih terhormat.
Sayang, intelektualitas saja tidak bisa menopang semua itu apabila tubuh tidak mampu berdiri dengan tegak untuk mewujudkan semua aksi itu. Maka, bila dikorelasikan dengan permasalahan awal mengenai kesehatan, anak muda harapan bangsa mestilah sehat, baik raga maupun jiwa. Memang, jargon “sehat itu murah” benar adanya, kita bisa dengan sehat dengan pola hidup sehat dan makan-makanan bergizi. Namun, kita akan lebih mudah untuk menjadi lebih sehat bila kesejahteraan mengikutinya. Sederhananya, orang yang cukup sejahtera bisa leluasa untuk memenuhi asupan gizi, baik untuk dirinya maupun keluarganya. Tidak salah, bila kombinasi sempurna pemuda harapan bangsa adalah intelektualitas dan kesehatan yang mendukung.
Ini mungkin pendukung, namun memiliki signifikansi yang paling realistis. Bagaimana pun intelektualitas bisa didapatkan di mana pun, kesehatan bisa diatur melalui pola hidup sehat, akan tetapi akan jauh lebih mudah dan selangkah lebih terdepan apabila kesejahteraan menyertai masyarakat. Memang, tidak semua secara merata dapat menikmati kesejahteraan memadai, setidaknya di level menengah, termasuk penulis. Namun, setidaknya, keadaan ini mendorong mentalitas orang-orang pada level semacam ini untuk berusaha lebih pasti dan keras—terlepas dari kemiskinan kultural dan sistemtik secara teoritis—sehingga mampu naik ke level yang diharapkan, yaitu “aman” untuk menjalani hidup yang sulit.
Dengan semua hal di atas, maka untuk mencapai masyarakat madani—salah satu penopang kemadanian di Indonesia adalah pemuda—adalah melalui dengan peningkatan kualitas SDM-nya yang mana itu adalah generasi muda bangsa yang menopang hampir 24% dari total populasi bangsa Indonesia. SDM muda tersebut mestilah maju, baik secara intelektual, kesehatan, dan kesejahteraan. Maka, keinginan untuk “anak muda harapan bangsa” dapat benar-benar diharapkan dan membawa kemajuan bangsa. Bila dikonversi dengan lebih sederhana, kurang lebih anak muda harapan bangsa itu meliputi, anak cerdas, sehat (jiwa dan raga), dan sejahtera.