RUANG RENUNG #26: Gugat Samar Garis-garis Cartier-Bressonian
Pameran “Rabu Motret Showcase: Any Given Wednesday” menyajikan hasil berburu foto dalam gerakan memotret apa saja yang ada di jalan di hari Rabu.
Mardohar B.B. Simanjuntak
Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.
11 September 2023
BandungBergerak.id – Liliput memang mungil, tapi kehidupan tidak bisa dilepaskan dari tangan-tangan mini jaring pengaman peradaban. Frank Wiese, seorang geobiolog dari Universitas Göttingen, Jerman, mengatakan bahwa “efek lilliput” tidak bisa disepelekan, apalagi diabaikan.
Kepunahan dinosaurus era Kretasean membutuhkan tangan-tangan kecil yang menyengat – yang menuntun pada kebangkitan varian hominin, seperti Homo sapiens. Pameran kali ini di Kunasi adalah bentuk kehadiran “lilliput visual” yang mencoba mengajukan satu gugatan tentang pemaknaan ruang.
“Tidak Semudah itu, Ferguso”
Henri Cartier-Bresson memulai sebuah gelagat fotografi yang mengakomodasi seduksi waktu. Bresson memulai sebuah era “bajak laut” bagi para fotografer, saat mereka menjadi “perompak temporal”. “Harta karun” Cartier-Bressonian adalah berbagai momen-momen yang tidak bisa disangkal kemewaktuannya.
Fotografi ala Cartier-Bresson memulai era “hunting” sebagai berburu hewan buruan di kandang. Sebelumnya, perburuan kala semacam itu ada di eksotisme padang rumput Afrika – glorifikasi “Big Game Hunter”. Cartier-Bresson menariknya ke daerah pedesaan, hingga ke dalam kota.
Foto orang tergesa-gesa khas ketinggalan kereta di stasiun Saint-Lazare, Paris, tahun 1932 menjadi monumen yang tidak terbantahkan bagi Bresson untuk proklamasinya. Cartier-Bresson lahir di era Kodak, kamera yang bisa dibawa ke mana saja; dan Gare Saint-Lazare adalah harta karun ultimnya. Siapa pun yang mau membantah Bresson harus membantah momen monumental tersebut, hingga tidak kurang Joan Foncuberta tidak bisa tidak menegasi argumen visual Cartier-Bressonian ini, agar karpet merah argumen fotografi non-temporalnya segera bisa diurai dan digelar.
Diktum Cartier-Bressonian akhirnya menjelma masuk dalam fotografi cantik yang sebenarnya memamerkan kamera alih-alih karyanya. Dunia foto salon adalah salah satu derivat dari apa yang dilakukan Carter-Bresson, saat “momen” menjadi sangat spesifik, dan “cantik” menjadi sangat terbatas. Sayangnya, persis ungkapan di serial Telenovela, “tidak semudah itu, Ferguso”.
Antusiasme yang mengental oleh hasrat dan mengalami ejakulasi visual di fotografi tidak bisa semudah itu menjadi harta karun temporal. Dan persis seperti itu pula, jalanan tidak bisa ditaklukkan begitu saja, sekalipun dengan modal kerendahan hati atau ekstremnya kerendahdirian sekalipun.
Baca Juga: RUANG RENUNG #23: Menghidupkan Kembali Bayang Senja yang Menolak Surut
RUANG RENUNG #24: Bambu-bambu Problematik Schrodinger
RUANG RENUNG #25: Bulir-bulir Layar Embunan Citra Diri
Objek yang Menolak untuk Tunduk
Kunasi, kata Pramuhendra sang pemilik, berusaha lepas dari kata “Kunst” (“seni”- Jerman) tapi sekaligus rindu. “Benci-benci tapi rindu” adalah akar dari nama kafe yang didesain untuk menawarkan pendekatan seni yang lebih egaliter dan demokratis. Sebuah antitesis dari glorifikasi elitis menara gading, di galeri ini secangkir kopi harus bisa dibawa berhadapan dengan karya. Menyeruput latte dan melihat komposisi adalah sebuah tindakan yang didesain untuk dilakukan simultan; bahkan dapur kafe ini ada di ruang pamernya.
Venue semacam ini menjadi sangat relevan dengan pameran Rabu Motret Showcase: Any Given Wednesday, dari tanggal 14 Juni hingga 2 Juli 2023 yang lalu, di kafe galeri Kunasi Indonesia Jl. Gandapura No. 61. Gerakan memotret di hari Rabu memang tidak elite. Ada pelukis Minggu dan tukang foto Sabtu.
Rabu dalam gerak rampak kapitalisme akhir – kapitalisme korporasi – adalah hari produktif saat segala keputusan penting akan segera diambil. Rabu jelas bukan didesain untuk acara buang waktu, apalagi buang uang – waktu adalah uang. Memotret jalanan di hari Rabu adalah tindakan sakrilegi – penodaan kesakralan dalam kalender kapitalistik.
Namun bukan cuma menyangkal, tindakan para pemotret di hari Rabu ini memang bukan sekadar menggugat ritme pergerakan ruang modal. Yang mereka lakukan adalah memotret apa yang ada di jalan, dan Cartier-Bresson ada tersenyum di jalan-jalan, melihat ideologinya bekerja dengan cantik dan gemulai. Perompak temporal yang rata-rata berusia 40 tahun ke bawah datang berburu harta karun kemewaktuan yang akan segera diunggah menjadi glorifikasi personal.
Riuh-tantang terberat dari para perompak ini adalah untuk menemukan harta karunnya yang teronggok menggunung di hadapan mereka. Tantangan mereka sebagai subjek adalah untuk menyerahkan objek visual tepat saat tangan mereka meremasnya.
Air tidak bisa diremukkan oleh jari-jari tangan – sama lenturnya dengan aliran realitas yang selalu menolak untuk diobjektifikasi. Butuh seorang Krisna Satmoko – Kang Encis – untuk memberi contoh keugaharian dalam hal memiliki, seperti memancing ikan yang dilepaskan setelah sang pemancing berhasil memancingnya. Sayangnya, hampir semua yang memancing mengambil ikannya untuk memamerkannya dalam deklarasi kompetensi. Tidak mudah bahkan untuk mentor sekaliber Kang Encis sekalipun untuk menunjukkan bahwa waktu hanya bisa diajak berdialog dengan kesahajaan.
Eksorsisme Hantu-Hantu Cartier-Bressonian
Mengusir hantu kata neurosains adalah sebuah tindakan deaktivasi interkoneksi neuronal di dalam otak kita. Memori tidak pernah permanen, dan semua perma-visualisasi pada dasarnya adalah apropriasi perseptif dalam kerangka pembentukan imaji dari rangkaian kerja rampak sinaptik antara akson dan dendrit.
Hantu-hantu Cartier-Bresson adalah hasrat kita yang paling dalam – kerinduan orgasmik akan sebuah tatanan visual cantik yang bisa menjadi escapade – pelarian menggugat khas pemberontakan remaja yang lari dari rumah. Kepenatan kita atas benam ritmik ritme urban menjelma menjadi kenakalan untuk segera lari – lari dari apa saja. Hantu-hantu Cartier-Bresson hanya merupakan tubuh semiotik dari hasrat intensif semacam ini.
Tidak semudah itu, bagi para lilliput untuk membangun kembali efek lilliput peradaban visual dari dinosaurus media yang sedang segera punah. Tangan-tangan mungil mereka memang bernas, dan memang kematangan butuh waktu.
Seduksi untuk mengambil menjadi semakin sulit karena fotografi selalu berada di antara tegangan mengambil dan membuat. Mengambil adalah untukku, dan membuat adalah untuknya. Fotografi jalanan membuatnya menjadi ekstra rumit, karena setiap detik yang berlalu membuat untuknya menjadi untukku, dan saat itu terjadi, semua misi segera basi – dan hari Rabu kembali ke kalender produksi.