• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #3: Anak Pasar, Anak Angon

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #3: Anak Pasar, Anak Angon

Kehidupan anak-anak di Jakarta sama seperti daerah lain di Indonesia, tumbuh besar dalam suasana kehidupan desa. Jalan-jalan ke pasar dan mengangon kerbau di sawah.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Seorang anak sedang mengangon kerbau. (Foto: Ilustrasi Karya Asmali)

17 September 2023


BandungBergerak.id – Tinggal sebagai anak Jakarta dengan jarak yang tidak begitu jauh dari pusat pemerintahan Republik Indonesia tentu tidak serta merta membuat kehidupan banyak anak Betawi menjadi gedongan juga. Aku misalnya, meskipun keluargaku terbilang berada, tetapi cara orang tua mendidikku tetaplah sama dengan cerita banyak orang yang tumbuh besar di desa. Aku akrab dengan kerbau, atau sesekali diajak Baba, panggilanku untuk ayahku, ke pasar tempat dia berjualan.

Sedikit aku ceritakan kalau aku besar di keluarga pedagang. Ayahku adalah pengusaha songkok atau peci hitam yang cukup terkenal di kampung kami. Biasanya setelah rampung produksinya di rumah, aku akan ikut ayahku ke tokonya di sebuah pasar besar yang ada di bilangan Jakarta Pusat.

Aku masih ingat betul apa saja yang ada di seputar rumahku. Misalnya beberapa alat tenun kain atau beberapa mesin jahit untuk memproduksi songkok-songkok yang nanti dijual. Aku sendiri saat itu masih kecil. Tidak ambil tahu pada alat-alat itu, hanya melihat saja. Kerjaku hanya duduk-duduk, berlarian di halaman rumah yang saat itu masih luas, bermain, makan ketika sudah waktunya dan tidur siang serta malam.

Lagi pula zaman dulu di kampungku memang kebanyakan rumah punya alat produksi songkok, atau yang orang sini bilang sebagai kopiah. Proses produksinya panjang. Dari mulai bahan saja sampai jadi dan kemudian siap dijual. Selain usaha bikin kopiah, ada juga yang membuat dusnya dengan merek macam-macam. Seingatku ada yang pakai merek Cap Dua Kunci, Nasional, atau Madinah. Karena aku dulu menganggapnya sebagai hal yang biasa, aku pun tak tahu menahu sejak kapan orang di kampung ini, terutama orang tuaku berdagang kopiah. Namun semakin ke sini semakin jarang keluarga yang memproduksi songkok seperti zaman dulu.

Sebagai pedagang songkok yang cukup besar, Babaku memproduksi kopiah dari hulu sampai hilir. Dari produksi, kemudian mendistribusikannya, hingga mempunyai toko sendiri di sebuah pasar yang sampai saat ini masih amat terkenal bahkan sampai ke mancanegara. Sebagai informasi, pasar ini bahkan kerap jadi arena politik lima tahunan. Apabila ada pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden, selalu dikunjungi.

Di waktu libur sekolah biasanya aku ikut Baba ke pasar. Dari rumahku yang kini masuk daerah administrasi Jakarta Selatan, kami naik becak lalu disambung dengan delman. Setelah ke jalan yang lebih besar kami sambung naik bemo, sebuah kendaraan bermotor menyerupai mobil dengan roda tiga. Dari tempat pemberhentian bemo, kami masih harus berjalan kaki sampai tiba di toko Baba. Sepanjang jalan dari kendaraan ke kendaraan lain aku selalu di tuntunnya. Tidak lepas dari genggaman tangan orang tuaku.

Sampai di pasar, jalan lorong pasar sudah agak menyempit oleh pengunjung pasar dan barang-barang milik pedagang yang dijajakan.

Biasanya setiba kami di toko, dagangan sudah tertata rapi untuk di jual, mengingat di toko kami, ada dua kerabat yang bekerja sebagai pelayan. Nantinya Babaku tinggal duduk dan menyapa pelanggan. Sedangkan aku hanya main-main di dalam toko. Kalau bosan, aku mampir ke toko-toko di sekitar. Tokonya macam-macam, begitu juga yang punya. Ada orang Tionghoa, Arab, dan lain-lain. Mereka sudah kenal denganku. Tidak heran kalau aku mampir untuk bermain, mereka menyambutnya. Aku digendong dan tidak jarang juga diajak bercanda.

Kami biasanya sampai di pasar sekitar pagi menjelang siang. Ketika azan Zuhur berkumandang, Babaku akan pergi sejenak ke musala yang jaraknya tidak jauh dari toko. Sepulang dari musala biasanya sudah tersaji hidangan yang rutin Baba pesan dari warung makan di sekitar toko. Makanan yang diantarkan adalah menu nasi lengkap dengan lauk dan sayur seperti daging sapi yang diiris tipis dengan labu yang dipotong tipis memanjang. Bersama dengan makanan yang disajikan di piring ada juga satu gelas air es yang ditutup dengan kertas putih untuk mencegah debu masuk.

Sore hari, biasanya pembeli sudah berkurang. Baba dan aku pun pulang sambil meninggalkan toko yang masih diurus oleh dua kerabat yang ikut bekerja di toko kopiah milik Babaku.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #1: Masa SD dan Kenangan Dibonceng Motor
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #2: Jakarta Yang Dulu, Bukan Yang Sekarang

Anak Angon

Sedari kecil aku hidup sederhana, seperti anak-anak pada umumnya. Aku bermain di luar dan memainkan sejumlah permainan tradisional. Yang aku masih ingat di antaranya adalah main taplak, main damplu, main kalawadi, main perang-perangan, adu galah, karet gelang, hingga kasti. Mainnya pun bersama-sama, campur antara laki dan perempuan.

Tapi selain main, aku juga dididik Babaku untuk membantu orang tua. Hal yang dikerjakan kecil saja dan kadang dilakukan sambil bermain. Seperti di antaranya mengangon kerbau.

Iya, dulu Babaku punya seekor kerbau. Ukurannya sedang saja, dan tidak memiliki kandang. Kalau di rumah, kerbau itu hanya diikat di pohon kecapi di halaman rumah. Biasanya, aku menggiring kerbau itu di pagi hari untuk menemaninya mencari makan di sawah dekat sungai yang berbatasan dengan kampungku. Tentu sawah itu sekarang sudah tidak ada, berganti kontrakan padat dan gedung perkantoran yang tinggi. Setelah digiring pagi hari, kerbau itu aku biarkan dan dijemput pada sore hari untuk kubawa pulang.

Biasanya sebelum aku bawa pulang, kerbau itu aku mandikan. Sesekali kerbau itu berendam di kubangan sawah sampai-sampai hanya kepalanya saja yang terlihat. Aku senang sekali melihatnya, layaknya manusia saja, pikirku.

Tidak jarang kerbau ini membandel ketika aku mengajaknya pulang tetapi dia masih asyik berenang. Kepalanya geleng-geleng ketika aku tarik tali yang menjeratnya. Sekali waktu aku bahkan hampir diseruduk oleh kerbauku saat dia sedang makan rumput di tegalan sawah dan aku berada di depannya. Refleks aku melompat. Bukannya takut, aku malah senang dengan momen itu. Aku anggap ia mau bermain denganku. Aku pun berjoget di depannya seolah mengolok-olok dia yang tidak bisa menyerangku. Kerbauku hanya menatapku dan menunduk sambil melanjutkan makannya.

Banyak pelajaran yang aku dapat ketika mengangon kerbau. Aku berasumsi kalau kerbau termasuk binatang yang memiliki ingatan kuat. Misalnya dia hafal betul jalan yang sering ia lintasi dari rumah ke sawah dan sebaliknya.

Dan seperti yang aku ceritakan di atas, hewan pun layaknya manusia, punya perasaan. Kerbauku misalnya, tidak mau ditarik dibawa pulang kalau belum mandi. Kalau sepi, ia akan bersuara “mooooo” seolah-olah mengajak kerbau lain berinteraksi. Kalau sedang makan dan kuusap-usap lehernya, ia akan angkat kepalanya dan bergoyang-goyang. Aku asumsikan ia menyuruhku tidak mengganggunya bersantap. Kalau sudah begitu, aku akan main ke kubangan. Kalau lihat ikan, aku coba tangkap dengan tangan kosong. Aku jerumuskan tanganku ke air kencang-kencang beradu cepat dengan ikan liar yang ada di sawah. Aku kurang cekatan, ikannya kabur cepat, sementara air yang tadinya bening jadi keruh karena aku obok-obok.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//