• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #1: Masa SD dan Kenangan Dibonceng Motor

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #1: Masa SD dan Kenangan Dibonceng Motor

Jakarta Selatan akhir 1960. Kebanyakan anak Betawi kala itu mendapat pendidikan formal di SD pada pagi hari dan siangnya melanjutkan belajar agama Islam di madrasah.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Ilustrasi. (Bing.com)

3 September 2023


BandungBergerak.id – Ini adalah rangkaian tulisan memoar dari seorang anak Betawi biasa yang menghabiskan hampir 40 tahun masa hidupnya di Bandung Raya terutama Kota Bandung-Cimahi. Adalah jarang bagi seorang anak Betawi asli meninggalkan halaman untuk masa waktu yang panjang sehingga membentuk satu pribadi sendiri bagi si penulis.

Rangkaian tulisan ini memberikan gambaran tidak hanya tentang Bandung di tahun 80an saat Penulis mulai merantau ke sana, tetapi juga tentang Jakarta yang ia kenal. Kampung rakyat Betawi yang masih hidup dalam ingatannya yang mungkin kita kenal lewat serial Si Doel, yang tentu sudah berbeda dengan Jakarta hari ini.

Jakarta Selatan 1960

Aku tuliskan cerita ini yang begitu panjang dan kompleks dalam perjalanan kehidupan yang selalu terkenang sampai kini. Perjalanan yang boleh jadi belum tentu dimiliki oleh semua orang pada masanya, yang menjadikan kebanggaan sendiri juga tentunya keluarga, hingga diketahui orang sekampung.

Ini Jakarta Selatan di akhir dekade 1960. Aku dilahirkan dididik dan dibesarkan oleh orang tua yang merupakan pedagang.

Anehnya, meski tumbuh di lingkungan pedagang, aku sendiri tidak tertarik untuk berdagang. Malah dalam hati kecil selalu berontak dan berpikir jika kelak dewasa nanti atau setidaknya setelah lulus sekolah, aku hendak keluar dari rumah. Mungkin ini berbeda dengan kebanyakan anak Betawi lain yang memilih untuk tetap tinggal di kampung halaman. Apalagi jika diwarisi banyak bidang tanah atau usaha oleh orang tua.

Seperti kebanyakan anak Betawi seusiaku, hidupku memang lebih banyak di kampung. Untuk pendidikan, aku tidak hanya ditempa pendidikan formal di SD tetapi juga di madrasah untuk mendalami ajaran-ajaran agama Islam. Jadwalnya pagi sampai tengah hari aku belajar di SD, kemudian siangnya aku belajar ke madrasah.

Aku masih ingat beberapa kitab yang aku pelajari di madrasah. Itu adalah kitab-kitab klasik seperti Matan Jurumiyah dan Matan Bina.

Seingatku aku beberapa kali pindah sekolah. Aku tiga kali pindah SD dan dua kali pindah madrasah. Alasannya kenapa, aku juga tidak begitu ingat. Namun yang aku ingat adalah perbedaan dari sekolah-sekolah yang pernah aku huni.

Ada satu sekolah yang begitu bebas sampai beberapa siswanya nyeker atau datang tanpa alas kaki. Tapi pernah juga aku sekolah di sebuah sekolah SD yang penampilan murid-muridnya harus rapi. Memang macam-macam.

Baca Juga: Sepak Bola Tanpa Iming-iming Juara
Lewat Cara Ini Saya Mengenang Sutuq
SURAT DARI TAIWAN #10: Taiwan (Bukan) Wilayah Konflik

Pak Murdi

Masa-masa SD-ku yang paling kuingat mungkin adalah interaksiku dengan guru. Ada beberapa guru yang dekat denganku, di antaranya Pak Murdi. Aku bahkan masih ingat namanya.

Kalau pulang sekolah aku sering dibonceng oleh beliau. Itu karena rumah beliau melintasi rumahku. Aku masih ingat motor beliau adalah Honda 90 atau yang di Bandung dikenal dengan motor siki nangka.

Sering kali aku pulang dengan pakaian yang sudah kotor karena bermain. Sandalku tebal dengan tanah. Sampai-sampai tebalnya tanah yang ada di alas kakiku mengenai celana dan bajunya Pak Murdi. Untungnya dia tidak pernah marah.

Aku bahkan tidak hanya akrab dengan Pak Murdi tapi juga dengan ibunya. Pernah sekali waktu diajak ke rumah Pak Murdi yang letaknya di sekitar daerah Ciledug. Tapi aku pun tidak tahu tepatnya, karena di usia awal-awal SD aku pun belum bisa menghafal tempat. Di rumahnyalah aku bertemu dengan ibu Pak Murdi.

Saat itu ibunya sudah cukup tua. Yang aku ingat dari kunjungan itu aku diciumnya dan banyak diberi kue. Semoga ibunya Pak Murdi selalu mendapatkan rahmat dan kasih sayang Allah di alam kuburnya karena kebaikannya. Begitu pula Pak Murdi, kalau sudah tiada aku berdoa semoga Allah mengangkat derajatnya di alam kuburnya, dan jika Pak Murdi masih hidup, semoga Allah memberkahi umurnya dan menyayanginya. Aamiin.

Yang paling kuingat dari pak Murdi memang adalah motornya. Bahkan aku masih ingat warnanya: oranye agak pudar. Karena di zaman itu, orang yang mempunyai motor, begitu juga sepeda sangatlah jarang di kampungku. Apalagi mobil. Kendaraan di kampungku pada waktu itu kebanyakan masih delman dan alat angkutnya adalah gerobak yang ditarik oleh kuda.

Aku juga masih ingat waktu aku kecil dulu, Baba, panggilanku untuk ayahku, juga punya motor dengan merek Lambretta. Saat itu tentu motor tersebut termasuk barang mewah. Motor Baba-ku warnanya biru telur asin, kalau aku diajak naik motor, biasanya aku berdiri di depan. Sesekali aku nongkrong entah dibawa ke mana.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//