SURAT DARI TAIWAN #10: Taiwan (Bukan) Wilayah Konflik
Tahun ini adalah Wan An ke-45. Pelatihan perang bagi seluruh rakyat Taiwan ini sebagai siap siaga jika sewaktu-waktu China menyerang.
Irfan Muhammad
Penulis buku Bandung Pop Darlings, sedang belajar di National Yang Ming Chiao Tung University, Taiwan, IG: @irfanpopish.1990
4 Agustus 2022
BandungBergerak.id - Senin lalu, di awal Agustus 2022, saya merasakan sebuah pengalaman baru di Taiwan. Tidak tanggung-tanggung, sebuah latihan militer di musim panas. Orang sini menyebutnya Wan An Exercise.
Berdasarkan sejumlah informasi yang saya dapat, dari rekan dan juga media, Wan An Exercise adalah sebuah latihan militer tahunan yang diikuti setiap orang yang berada di Taiwan. Tahun ini adalah Wan An ke-45. Tujuannya, apalagi kalau bukan siap siaga jika sewaktu-waktu China menyerang wilayah ini.
Maklum sejak partai nasionalis Kuomintang terusir dari China daratan ke Taiwan pada 1949, dan membentuk Republik China yang diklaim terpisah dari Republik Rakyat China di pulau ini, hubungan kedua belah pihak jadi sensitif.
Sebagai orang asing, tentu saya dan istri tidak langsung ngeh dengan latihan tersebut. Tetapi di Senin itu, istri mendapat kabar dari rekan kerjanya untuk tidak keluar rumah pada pukul 14.30. Rekan kerja istri saya bercerita, Wan An digelar di jam tersebut sampai satu jam ke depan. Latihannya ringan saja, semua orang diminta siaga mencari tempat perlindungan sebagai simulasi jika ada serangan udara. Jika kamu sedang membawa kendaraan, segera menepi dan masuk ke tempat apa saja yang bisa dijangkau lalu berdiam diri di sana selama satu jam.
Dalam praktiknya, benar saja, pada pukul 14.30, alarm masuk ke ponsel saya beserta sebuah pesan. Pesan itu ditulis dalam bahasa Mandarin dan sebagian kecil bahasa Inggris yang tertulis: Ada serangan udara. Saya yang sedang berada di apartemen langsung melihat ke bawah lewat jendala. Wah, situasi jalan depan tempat tinggal saya yang biasa ramai langsung sepi. Saya videokan, unggah di media sosial bersama potongan pesan tadi. Beberapa kawan tampak kaget. Mereka langsung menanyakan kondisi kami. Tenang, Alhamdulillah kami baik-baik saja di sini.
Kedatangan Nancy Pelosi Bikin Geger
Tetapi apa yang kami alami di sini tentu berbeda dengan apa yang diceritakan oleh banyak media dan dipahami oleh orang-orang di luar Taiwan. Sebagai wilayah sensitif, apalagi digadang-gadang akan menjadi Ukraina kedua, banyak orang di luar Taiwan beranggapan kalau pulau ini berada dalam situasi mencekam.
Asumsi ini makin liar seiring wacana kedatangan Ketua DPR AS, Nancy Pelosi, ke Taiwan yang bikin China berang. Dalam pantauan saya, selama dua pekan terakhir, kabar ini jadi sorotan media internasional besar yang dikutip oleh media-media di Indonesia. Presiden China, Xi Jinping bahkan mengultimatum Presiden AS Joe Biden. Perang urat syaraf pun digencarkan. Katanya jika Pelosi mendarat di Taiwan, China tak segan melancarkan serangan militer. Berulang kali dikabarkan juga kalau China mulai menggelar latihan militer di dekat wilayah Taiwan. Pesawatnya bahkan bolak balik masuk.
Dengan kabar-kabar mencekam seperti ini, tak heran memang jika kemudian banyak kekhawatiran dari saudara-saudara di Indonesia akan nasib keluarganya yang tengah merantau di Taiwan. Apalagi, populasi orang Indonesia di sini amat banyak. Bersanding dengan migran dari Filipina. Tetapi apakah benar situasinya semencekam itu?
Tentu saya tak ingin anggap enteng. Di mana pun kita berada, wilayah konflik atau bukan, kewaspadaan harus selalu menjadi prioritas. Pun saya tak bisa menggeneralisasi. Boleh jadi Hsinchu, kota saya tinggal, relatif aman, tetapi mungkin tidak untuk Pulau Kinmen. Sebuah pulau yang masuk dalam otoritas Taiwan tetapi lebih dekat secara geografis ke China daratan. Sangking berisikonya, konon masyarakat di pulau itu mendapat pelatihan militer khusus.
Cuma kalau dalam perspektif saya yang tinggal di Hsinchu, eskalasi antara China-Taiwan dan AS di tengah-tengah, hampir tidak terasa. Pasar malam tetap ramai, toko minum teh yang berjajar di kanan kiri jalan masih saja dipenuhi antrean, begitu pun dengan tempat-tempat hiburan. Semua berjalan normal.
Sepertinya hal yang sama juga terjadi di kota-kota besar lain di Taiwan. Setidaknya yang terpantau lewat media sosial teman-teman Taiwan saya. Saat Nancy Pelosi datang, band seorang teman sedang menjalani tur album di Kota Tainan. Penontonnya padat, situasinya meriah. Seorang teman lain di Taipei, yang juga musisi, asyik mengunggah jadwal manggungnya akhir pekan ini. Di restoran tempat saya bekerja, sama sekali tidak ada percakapan tentang situasi yang "genting" ini. Sekali lagi, semua berjalan normal.
Baca Juga: SURAT DARI TAIWAN #8: Organ Tunggal a la Lampung di Negeri Formosa
SURAT DARI TAIWAN #7: Yang Bekerja, Yang Berkarya: Maria Chullun
SURAT DARI TAIWAN #9: Apa yang Dinyanyikan Pekerja Migran Indonesia di Taiwan?
Dari Tidak Peduli Sampai Optimistis
Sikap mereka yang bertolak belakang dengan asumsi orang-orang di luar Taiwan membuat saya penasaran. Di tengah kerja, saya tanya seorang rekan tentang kabar kedatangan Pelosi yang kontroversial. Saya perlihatkan beritanya di ponsel. Tapi dia jawab dia tidak tahu.
"Aku enggak mengikuti berita ini," katanya. Beberapa rekan kerja lain menghampiri kami dan mulai berbincang dalam bahasa Mandarin. Saya diam tidak mengerti. Lalu rekan kerja lain menjelaskan. "Ya aku baca, China tidak suka (Pelosi datang), tapi kami tidak peduli," katanya sambil tertawa.
Saya lantas menceritakan respons kolega saya di Indonesia tentang berita Taiwan sepekan ini. Kata saya, situasi mencekam semakin tergambar karena Taiwan baru saja menggelar Wan An.
"Kamu tahu, ketika Wan An digelar saya lagi makan di restoran Michelin di Taipei. Saya tidak tahu hari itu Wan An," kata kawan saya. Lagi-lagi sambil tertawa.
Tidak puas, saya tanyakan lagi pertanyaan ini ke teman saya yang aktivis. Tetapi jawabannya kurang lebih sama. "Saya sih biasa-biasa saja. Walau pun ada sedikit nervous," kata dia melalui pesan singkat.
Menurutnya, ancaman China untuk menyerang Taiwan bukan kali ini saja digaungkan. Sejak ia kecil, ancaman-ancaman seperti ini sudah sering ia dengar. Kekhawatiran pasti ada. Tetapi berada dalam ancaman bukan hal baru bagi mereka. "Memang harus galau kalau setiap hari diancam?" kata kawan saya.
Kawan saya yang lain juga kurang lebih sama. Menurutnya, perang tidak semudah mengeluarkan peluru dari pelatuknya. China pun akan berpikir ribuan kali dan mengukur dampaknya jika mereka melakukan invasi militer ke Taiwan. "Ancaman (militer) itu tidak akan terjadi. Mereka punya cara lain yang lebih efektif selain militer," kata dia.
Kawan saya yang ini optimistis, kalau secara de facto, Taiwan sudah berdaulat. "Kami punya Presiden sendiri, sistem politik, wilayah, dan juga masyarakat majemuk yang bebas mengekspresikan adat dan bahasanya. Dunia internasional juga saya yakin bisa membedakan Taiwan dengan China. Apa lagi," kata dia.
Ya, pendapat ini tentu tidak mencerminkan pendapat orang Taiwan keseluruhan. Ini hanya pendapat dari sedikit kawan Taiwan yang saya kenal. Namun, yang jelas, situasi di sini kondusif. Ada sih berita "mencekam" seperti TV publik di stasiun dan minimarket yang diretas oleh hacker China. Mereka mengganti tayangannya dengan pesan ancaman. Tapi itu juga hanya jadi angin lalu.
Setelah itu semua biasa lagi. Menikmati sisa musim panas.