SURAT DARI TAIWAN #8: Organ Tunggal a la Lampung di Negeri Formosa
Yogi punya nama panggung Yogi Music. Sejak 2019, dia sudah membina namanya sebagai musisi pekerja migran Indonesia di Taiwan.
Irfan Muhammad
Penulis buku Bandung Pop Darlings, sedang belajar di National Yang Ming Chiao Tung University, Taiwan, IG: @irfanpopish.1990
7 Juli 2022
BandungBergerak.id - Pagi menjelang siang, Yogi tampak bersemangat. Langkahnya panjang-panjang. Tampil cukup perlente dengan kemeja lengan pendek motif bunga-bunga dan rambut nampak mengkilap karena disipuh dengan gel, pekerja migran Indonesia di Taiwan asal Lampung ini sigap menyapa Sima, seorang pegiat Trans/Voices Project, sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di pemberdayaan pekerja migran, yang kebetulan bersama saya. Sima-lah yang kemudian memperkenalkan saya pada Yogi.
Hari itu Yogi datang dari tempat kerjanya di Tainan ke Taichung yang jaraknya sekitar satu setengah jam dengan kereta bukan tanpa sebab. Ia akan tampil di gelaran "Senandung Asmara" yang dihelat oleh kelompok Sima bersama The Cultural Taiwan Foundation. Yogi adalah seorang pekerja yang juga aktif tampil sebagai pemusik di akhir pekan. Ia memainkan organ tunggal dengan subgenre yang ia sebut sebagai gaya Lampung.
Tak heran kalau di siang yang cerah itu, Yogi tampak sibuk dengan keyboard besar yang ia tenteng dengan tangan kanannya. Badannya yang berat ke kanan menunjukkan kalau keyboard itu tidaklah ringan.
"Ketemunya malah di sini," kata Yogi sambil menjabat tangan saya dan Sima yang sedang menunggu lampu lalu lintas beralih warna dari merah ke hijau untuk menyeberang. Kami pun berbincang seraya menunggu lampu yang mungkin baru akan berganti warna 20 detik kemudian.
Jujur, sebelum saya bertemu Yogi, saya tidak begitu paham pada genre turunan dari musik organ tunggal. Bahkan saya tidak begitu memahami perbedaan antara organ tunggal, koplo, campur sari, dan lain macamnya. Yogi sendiri menjelaskan pada saya secara singkat, kalau organ tunggal gaya Lampung lebih menitikberatkan pada unsur remix yang cukup mendekati gaya musik disko. Lain dari itu ada juga gaya musik organ tunggal lain di Sumatera.
Yogi tidak bercakap lama ketika kami sampai di Toko Indonesia Fang Fang, tempat diselenggarakannya acara. Jika saya dan Sima memilih untuk sarapan lebih dulu, Yogi memilih langsung beranjak ke lantai 4, sebuah hall milik toko yang memang biasa diadakan acara pekanan. "Aku ke atas dulu mas, mau check sound," kata Yogi kepada kami.
Yogi tampak lancar dengan semua denah toko. Ia pun tampak tak canggung dengan mbak Aam, perempuan asal Surabaya yang menjadi tangan kanan dari pemilik toko Indonesia tersebut. "Maklum, kalau mas Yogi sudah biasa di sini," kata mbak Aam menceritakan Yogi yang bisa disebut punya acara reguler di tempat itu. Yogi ke atas, saya dan Sima pun mengisi perut lebih dulu.
Yogi Music di Formosa
Yogi punya nama panggung Yogi Music. Sejak 2019, dia sudah membina namanya sebagai musisi pekerja migran Indonesia di Taiwan dengan membentuk semacam kelompok organ tunggal. Jika diajak tampil dalam format penuh, kelompoknya terdiri dari enam sampai tujuh orang dengan pemain kendang, dan beberapa biduan. Jika tampil sendiri, Yogi hanya ditemani dua rekannya yang bertanggung jawab dalam pengelolaan tata suara. Ia adalah Joe dan Rizky. Semua tim Yogi Music adalah sama-sama pekerja migran dari Indonesia di Taiwan.
Meski bisa dibilang kelompok amatir, semua persiapan bisa dibilang profesional. Siang itu misalnya, meski Yogi tampil sendiri, Joe dan Rizky telah sigap di balik laptop untuk menyelaraskan suara yang keluar dari musik yang akan Yogi mainkan. Mixer digital di laptop itu Yogi otak atik sehingga suara yang dihasilkan pas dan enak didengar.
Ketiganya memang terbilang serius menjadikan musik sebagai hobi. Joe, di Taiwan juga aktif membentuk kelompok musik bergenre pop/rock bersama rekan-rekan pekerja dengan nama band, Devisa. Begitu juga Rizky. Sementara Yogi memang telah menggeluti organ tunggal Lampung jauh sebelum ia merantau ke Taiwan. Dia bahkan mempelajari musik ini sejak masih duduk di bangku SMP.
"Dari sejak di Lampung saya sudah manggung bawain musik ini," kata Yogi kepada saya.
Sejak 2019 itu pula ia sedikit demi sedikit mulai merintis hobi seriusnya ini. Dari keyboard murahan, ia mulai ganti ke keyboard yang lebih mahal. Sementara untuk keperluannya sebagai kelompok organ tunggal, Yogi sebelumnya membeli perangkat sound system bekas dari loakan-loakan yang ada di Taiwan. Kini sound system tersebut sudah beralih menjadi perangkat yang lebih bagus dan relatif baru.
Sebagai pekerja, Yogi dan kelompoknya memiliki keterbatasan tempat untuk menyimpang barang-barang. Mereka tinggal di mess yang tentunya harus berbagi ruang dengan teman pekerja lainnya. Namun hal ini bukan kendala. Yogi yang hampir tiap pekan menjadi pengisi tetap atau bisa dibilang home band dari Toko Indonesia Fang Fang, menyimpan semua perangkat audionya di hall lantai 4 toko tersebut. Dengan begitu, kalau hendak tampil Yogi tak perlu repot memindahkan barang-barangnya dari tempat tinggal ke toko.
"Kalau acaranya di tempatku, di Tainan misalnya, aku paling cari dari tempat-tempat yang ada di Tainan. Tapi karena seringnya di sini, ya aku simpan di sini. Sudah sering kerja sama juga kan (dengan Toko Indonesia Fang Fang)," ucap dia.
Sama seperti pekerja lainnya, Yogi dan rekan-rekannya juga bukan orang yang punya banyak hari libur. Ia hanya bisa menyisihkan waktu sehari dalam sepekan untuk pelesiran seperti ini. Belum kalau ada kewajiban lembur karena ada produksi yang belum selesai. Bisa jadi hari libur di pekan tersebut diganti ke hari lain. Yogi sedikit beruntung karena kreativitasnya didukung oleh bosnya, sehingga bosnya mahfhum dengan aktivitas Yogi di luar pabrik sebagai musisi.
"Kalau bosku asal aku tidak bekerja di tempat lain saja di hari libur. Karena banyak juga seperti teman-teman dari Vietnam yang masih kerja di pabrik lain saat hari libur," kata dia.
Di Taiwan, Yogi dan tim biasa main di acara-acara orang Indonesia. Selain mengisi panggung reguler di Toko Indonesia Fang Fang, Taichung, ia biasanya main juga di acara pernikahan, atau pesta organisasi pekerja di Taiwan.
Baca Juga: SURAT DARI TAIWAN #5: Musik yang Mempertemukan
SURAT DARI TAIWAN #6: Kampung Halaman di Rantau Pelabuhan Taiwan
SURAT DARI TAIWAN #7: Yang Bekerja, Yang Berkarya: Maria Chullun
Ditonton Istri
Satu hal menarik yang saya lihat dari persiapan Yogi hari itu adalah terpancangnya sebuah ponsel pintar di sebelah tempat duduk Yogi. Di layar, tampak wajah seorang perempuan dengan gambar Yogi di pojokan kecil layar. Rupanya dia check sound sambil melakukan panggilang video dengan istrinya.
"Itu istri saya mas," kata Yogi seraya memainkan tuts demi tuts menciptakan sebuah nada yang enak buat bergoyang.
Seperti Yogi, istrinya juga seorang pekerja migran Indonesia di Taiwan. Bedanya, istri Yogi bekerja di sektor domestik. Hal ini membuat waktu liburnya lebih tidak beraturan. Tak heran meski mereka dijalin dengan ikatan pernikahan, pertemuan tetap jarang dilakukan.
"Biar gak dimarahin ya, laporan dulu," kata saya kepada Yogi. Ia hanya tertawa menanggapi komentar saya.
"Tapi ada waktunya sendiri mas (buat ketemu istri)," kata Yogi.
Sebetulnya pengalaman seperti ini bukan hanya milik Yogi. Pengalaman ini juga dirasakan oleh Joe, Rizky, dan banyak pasangan pengantin lain yang pernikahannya diiringi oleh alunan musik Yogi. Sebagai pekerja, mereka yang memadu kasih di Formosa dan memutuskan untuk menikah di sana, tidak begitu saja dapat menikmati lembaran baru sebagai sepasang suami istri. Di pagi hari, pada hari libur, mereka akan melangsungkan akad dan resepsi. Hingga sore hari, ketika hari libur hampir habis, pasangan ini akan pulang ke tempatnya masing-masing, dan menunggu satu dua pekan ke depan untuk bertemu kembali.
Tetapi selalu ada cara untuk tetap saling terjalin. Seperti yang dilakukan Yogi dan istri. Dan alunan dari Yogi, sekilas mengingatkan saya pada falsafah dangdut yang pernah saya baca di sosial media: Seberat apa pun liriknya, dangdut tetap membawa kita bergoyang.