• Kolom
  • SURAT DARI TAIWAN #6: Kampung Halaman di Rantau Pelabuhan Taiwan

SURAT DARI TAIWAN #6: Kampung Halaman di Rantau Pelabuhan Taiwan

Forum Silaturahmi Pelaut Indonesia (FOSPI), sejak pembentukannya pada 2008 lalu, menyediakan ruang aman bagi para nelayan migran Indonesia di Donggang, Taiwan.

Irfan Muhammad

Penulis buku Bandung Pop Darlings, sedang belajar di National Yang Ming Chiao Tung University, Taiwan, IG: @irfanpopish.1990

Masjid An-Nur di Donggang, Taiwan, menjadi bagian penting dalam hidup dan perjuangan para nelayan migran Indonesia. (Foto: Chongkian)

15 Juni 2022


BandungBergerak.id - Hidup jauh dari kampung halaman tentu bukan hal yang mudah bagi semua. Ada batas-batas yang mesti ditembus atau paling tidak diselaraskan terkait pola hidup harian, cita rasa makanan, atau bahkan bahasa. Hal ini pula yang dihadapi oleh para nelayan Indonesia di Taiwan.

Donggang, sebagai salah satu kota pelabuhan penting di Taiwan, menjadi saksi bisu bagaimana para nelayan Indonesia berjibaku untuk menembus atau menyeleraskan batas-batas budaya tadi. Berbeda dengan Pekerja Migran Indonesia yang bekerja di darat, seperti sektor rumah tangga atau pabrik, para nelayan sebagai pekerja migran berbasis laut punya
kekhasan sendiri pada masalah yang dihadapi dan bagaimana cara mengurainya.

Di sinilah Forum Silaturahmi Pelaut Indonesia (FOSPI) lantas hadir sebagai alternatif jawaban.

Dari Silaturahmi ke Advokasi

Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), silaturahmi dimaknai sebagai tali persahabatan atau persaudaraan. Kata ini merupakan serapan dari Bahasa Arab, silaturahim yang artinya hubungan kasih sayang.

Jika mengacu pada definisi ini, FOSPI sepintas mungkin hanya dimaknai sebagai tempat kumpul-kumpul pelaut Indonesia di Taiwan. Jika diterjamahkan dalam bahasa Inggris, Forum Silaturahmi pada nama FOSPI pun diterjemahkan sebagai gathering forum semata.

Tidak salah memang, krena sebagai forum tertua dengan anggota yang mencapai lebih dari 2000 orang pelaut Indonesia di Donggang, FOSPI menjadi simpul bagi para nelayan Indonesia untuk merasakan "cita rasa kampung halaman".

Lain halnya dengan pekerja migran di darat, pekerja migran berbasis laut punya cara yang berbeda menghabiskan hari liburnya. Jika para pekerja migran darat di setiap akhir pekan terlihat ramai di stasiun,taman, atau pusat perbelanjaan, pekerja migran berbasis laut dituntut
kreatif untuk rehat sejenak dari rutinitas di atas kapal.

Situasi pelabuhan yang kerap jauh dari pusat kota dan keterbatasan mengakses transportasi publik membuat para nelayan Indonesia memilih untuk menciptakan ruangnya sendiri. FOSPI lantas menjadi ruang untuk melepas penat dan menyalurkan daya kreatif.

Namun, terlalu sempit juga kalau FOSPI hanya dimaknai tempat berkumpul dan merasakan "cita rasa kampung halaman" di tanah rantau, karena kerja-kerja yang dilakukan oleh FOSPI lebih dari itu.

FOSPI serupa orang tua bagi para anggotanya. Ia menjadi tempat mengadukan banyak permasalahan khas yang dihadapi para pekerja migran. FOSPI menjadi wakil dan perantara komunikasi dengan masyarakat lokal dan juga dengan pemerintah, baik Taiwan maupun Indonesia.

Masalah yang dihadapi para nelayan migran beragam. Mulai dari timpangnya hubungan
industrial antara pekerja dan majikan, perkelahian bersumber konflik antar-individu dan kelompok, hingga urusan asmara.

"Inilah kami. Dalam posisi kami sebagai pemimpin FOSPI, kami harus menangani semuanya, mulai dari masalah percintaan, perselisihan perburuhan, perkelahian, dan semua masalah yang dibawa kepada kami," kata Mang Edy, salah satu sesepuh FOSPI.

Baca Juga: SURAT DARI TAIWAN #5: Musik yang Mempertemukan
SURAT DARI TAIWAN #4: Transportasi Publik di Hsinchu, dari Halte Plang hingga Bus 5608 yang Garang
SURAT DARI TAIWAN #3: Bau Parutan Keju, Cimahi, dan Lebaran di Negeri Orang

Berangkat dari Masjid

FOSPI didirikan pada 2008. Ia menjadi payung dari sepuluh organisasi nelayan migran di Donggang, Taiwan yang sudah ada jauh lebih dulu.

Sepuluh kelompok migran ini adalah organisasi persatuan kampung halaman yang berasal dari Pantai Utara Pulau Jawa, yaitu LPS (Laskar Patih Sampun), PPI (Persatuan Pemalang Ikhlas), Tegal-Slawi, OPS (Tegal Surodadi), Lare Grage, Indramayu, Semarang, Cilacap, ORBAT (Batang), dan Brebes.

Selain sepuluh kelompok ini, ada juga satu kelompok lain yang bergabung, yakni Komunitas Kampoa. Satu-satunya komunitas nelayan Indonesia di bawah naungan FOSPI yang tidak berdasarkan kampong halaman. Komunitas tersebut dinamai Kampoa Pos, sesuai dengan fakta mereka tinggal di tenda persinggahan sementara yang mereka bangun antara tahun 2010-2015 di Pelabuhan Perikanan Yanpu, Donggang.

Namun, FOSPI tak akan serta merta berdiri tanpa adanya inisiasi pembangunan masjid di Donggang pada medio 2007-2008.

Karena mayoritas pelaut Indonesia di Taiwan adalah Muslim, keberadaan masjid sebagai sarana ibadah menjadi penting. Apalagi, tidak seperti gereja dan kuil yang cukup mudah ditemukan di Taiwan, masjid di pulau ini bisa dihitung dengan jari.

Sebelum masjid berdiri, kelompok pengajian sudah dimulai lebih dulu. Diampu oleh Muksin dan Sakur, pengajian ini ternyata diminati oleh banyak warga Indonesia di Donggang. Karena membutuhkan tempat yang lebih luas, secara swadaya, mereka pun menyewa gedung dua lantai di Jalan Fengyu 34-1 di Kota Donggang.

Gedung yang telah mereka sewa itu kemudian oleh pemiliknya hendak dijual dengan harga NTD 4.000.000 atau sekitar 2 miliar rupiah. Harga yang cukup mahal ini membuat kelompok pengajian Muksin dan Sakur berkonsultasi dengan Pengurus Cabang Istimewa Nadhlatu Ulama, Taiwan (PCI-NU) dan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei (KDEI).

Kedua lembaga tersebut mengusulkan pembentukan forum atau asosiasi nelayan migran Indonesia di Donggang. Dengan demikian, mereka akan memiliki legalitas untuk menarik sumbangan dari komunitas Indonesia di Taiwan dan luar negeri. Dari sinilah, FOSPI dibentuk.

Dengan Rano sebagai ketua dan Muksin sebagai pimpinan masjid, FOSPI bergerak cepat membawa semangat yang sama seperti di Indonesia. Pembangunan masjid dilakukan secara gotong-royong. Saat itu, lantai satu digunakan sebagai kantor FOSPI, sementara lantai dua dipakai untuk aktivitas pengajian dan ibadah.

Namun, perjuangan mendirikan masjid tak berhenti sampai di situ. Pada tahun 2014, saat FOSPI memiliki cukup dana untuk membeli gedung yang mereka sewa, pemilik bangunan justru menolak untuk menjual dengan harga yang disepakati. Mau tak mau, FOSPI harus mencari alternatif tempat yang bisa mereka beli untuk dijadikan masjid.

Akhirnya, mereka menemukan pemilik yang bersedia menjual bangunan tiga lantai dengan harga yang wajar. Bangunan yang persis berada di seberang kuil itu dibeli pada tahun 2016 dengan harga NTD 5.500.000 atau setara dengan Rp. 2.750.000.000.

Butuh waktu sekitar dua tahun untuk menyelesaikan renovasi masjid hingga hari peresmiannya pada 18 Februari 2018. Dinamai An-Nur, masjid ini menjadi masjid pertama di Kabupaten Pingtung sekaligus masjid terbesar yang dibangun oleh para pekerja migran Indonesia.

Dari Gerakan Agama ke Sosial

Menilik rekam sejarah tadi, hampir sulit memisahkan masjid An-Nur dengan FOSPI. Namun hal ini bukan pula suatu yang mengherankan. Sejak zaman Nabi Muhammad SAW mensyiarkan Islam dari Makkah dan Madinah, masjid memang tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah tetapi juga lumbung pendidikan, pengkaderan, dan ruang bagi penyelesaian masalah-masalah sosial.

Dalam konteks Indonesia, hal yang sama juga dilakukan di banyak lembaga pendidikan dengan model pesantren, atau lewat organisasi kebangkitan nasional seperti Sarekat Islam yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto.

Meski setelah An-Nur diresmikan, FOSPI memutuskan menyewa bangunan lain sebagai kantor, dapur, ruang berkumpul, dan tempat persinggahan, semangat keduanya tak akan pernah bisa dipisahkan. Mudzakir, salah satu sesepuh FOSPI yang menjabat ketua sejak 2018, menyebut An-Nur adalah roh atau jiwa dari FOSPI, sementara FOSPI adalah tubuhnya.

FOSPI yang menilai rohnya sudah mandiri secara finansial lantas meneruskan kerja-kerja sosialnya dengan tujuan yang lebih besar: mempersatukan masyarakat Indonesia di Donggang dan menjadi jembatan komunikasi mereka dengan masyarakat sekitar dan pemerintah.

FOSPI berupaya mengubah citra nelayan pendatang yang sering dianggap tidak beradab dan pengacau. Dan pada saat bersaman, FOSPI menjadi tempat para nelayan migran untuk mengatasi segala macam keluhannya.

Sejak didirikan pada tahun 2008, FOSPI telah memberikan tempat dan ruang yang aman bagi para nelayan migran Indonesia di Donggang, untuk bisa bertindak dan hidup sebagai orang Indonesia. FOSPI menjadi suar, tempat berlabuh setelah lelah melaut. Menjadi titik cahaya, sebagaimana makna An-Nur dalam bahasa aslinya. Menerangi sekitar,
memberi banyak harapan benderang.

*Tulisan ini semula dipersiapkan untuk ulang tahun FOSPI, tapi urung terbit karena satu dan lain hal. Tulisan ini bersumber dari penelitian senior saya di kampus, Jonathan Parhusip yang meminta saya untuk terlibat dalam kegiatan ulang tahun FOSPI tahun lalu dengan membuat risetnya menjadi sebuah tulisan populer. Menurut saya, menarik untuk mengangkat cerita ini ke pembaca yang lebih luas untuk menakar kehidupan para pelaut Indonesia di Taiwan. Bagaimana mereka bernegosiasi dengan batasan-batasan kultur dan bagaimana memaknai "rumah'. Saya sendiri belum pernah ke Donggang. 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//