• Kolom
  • SURAT DARI TAIWAN #7: Yang Bekerja, Yang Berkarya: Maria Chullun

SURAT DARI TAIWAN #7: Yang Bekerja, Yang Berkarya: Maria Chullun

Maria Chullun, seorang asisten rumah tangga yang sudah delapan tahun tinggal di Taiwan, produktif menghasilkan lagu. Berkarya untuk diingat anak cucunya kelak.

Irfan Muhammad

Penulis buku Bandung Pop Darlings, sedang belajar di National Yang Ming Chiao Tung University, Taiwan, IG: @irfanpopish.1990

Maria Chullun (kanan) berduet bersama rekannya menyanyikan lagu “Antara Bandung dan Taichung” yang dia gubah sendiri di acara Senandung Asmara di Toko Indonesia Fang Fang, ASEAN Square, Taichung, Taiwan, Minggu (19/6/2022). (Foto: Irfan Muhammad)

22 Juni 2022


BandungBergerak.id - "Antara Bandung dan Taichung,

Bersemi cintaku dan cintamu.

Bersabarlah kekasihku."

Lirik syahdu yang bercerita tentang hubungan jarak jauh itu terdengar kencang dari lantai empat Fang Fang, sebuah toko Indonesia yang berdiri di padatnya pusat pertokoan ASEAN Square, Taichung, Taiwan, Minggu (19/6/2022). Disenandungkan secara langsung oleh seorang penyanyi laki-laki dan seorang penyanyi perempuan, lagu dengan langgam pop yang sekilas mengingatkan saya pada nada-nada gubahan Melly Goeslaw dengan sentuhan pop-rock Melayu 80-an itu, bukanlah lagu daur ulang atau cover version. Lagu tersebut diciptakan sendiri oleh Maria, si penyanyi perempuan yang sudah hampir delapan tahun tinggal di Taiwan untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga.

"Lagu ini tentang ceritaku sendiri, Mas," kata Maria bercerita kepada saya di sela-sela check sound.

Hari itu, saya memang sengaja datang dari Hsinchu ke Taichung untuk menonton sang penyanyu tampil di perhelatan "Senandung Asmara". Acara ini digelar oleh Trans Voice Project: Indonesia-Taiwan dan The Cultural Taiwan Foundation, dua organisasi nirlaba Taiwan yang menaruh perhatian pada urusan pekerja migran melalui pendekatan kesenian.

Maria, perempuan asal Lampung ini, tidak membuat lagu tersebut sendirian. Ia berkolaborasi dengan seorang musisi di Bandung yang dikenalnya melalui media sosial. Namanya Gito Santhiong. Di Bandung, Gito memang lebih dulu dikenal sebagai penggubah lagu. Karya-karyanya di antaranya bisa ditengok di kanal YouTube-nya, Santhiong Music. Tidak lama setelah berkenalan lewat jejaring maya dan berkreasi bersama, keduanya lantas mantap mendeklarasikan diri sebagai pasangan kekasih.

"Dari situ kami jadi lebih sering bekerja sama di musik. Mas Gito yang mengaransemen musiknya, sementara saya buat liriknya," kata Maria yang menyebut bahwa lagu yang mereka ciptakan tidak melulu dinyanyikan olehnya, tetapi juga oleh penyanyi lain yang di antaranya adalah juga kawan-kawan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Taiwan.

"Mereka ingin kisah hidupnya jadi lagu juga. Ya sudah, saya dan Mas Gito buatkan, nanti mereka yang nyanyikan," imbuhnya.

 

Maria Chullun berfoto bersama tim pengiring dari Yogi Music dan Trans Voice Project seusai acara Senandung Asmara di Toko Indonesia Fang Fang, ASEAN Square, Taichung, Taiwan, Minggu (19/6/2022). (Foto: Irfan Muhammad)
Maria Chullun berfoto bersama tim pengiring dari Yogi Music dan Trans Voice Project seusai acara Senandung Asmara di Toko Indonesia Fang Fang, ASEAN Square, Taichung, Taiwan, Minggu (19/6/2022). (Foto: Irfan Muhammad)

Berkarya di Sela Kesibukan

Maria, yang punya nama panggung Maria Chullun, memang terbilang produktif menggubah lirik. Sudah ada empat lagu yang dia ciptakan dan nyanyikan, kemudian direkam dan dirilis. Belum lagu yang dinyanyikan penyanyi lain. Selain "Antara Bandung dan Taichung" yang dalam versi rekamannya dia nyanyikan dalam duet bersama Gito, ada juga lagu "Janda Anak Dua", "Bojone Uwong", dan "Suka Sama Suka". Semua lagu yang diciptakan sejak 2019 ini bercerita tentang pengalaman hidupnya.

"Setelah (lagu) direkam, aku belajar daftarin lagu-lagu itu ke Digital Service Provider (DSP). Coba aja cari (nama) Maria Chullun di Spotify. Itu aku yang masukin sendiri," kata Maria.

Produktif dalam bermusik, Maria bukannya punya banyak waktu luang. Sebagai pekerja di sektor domestik, hampir seluruh waktu Maria dihabiskan di rumah majikannya. Memang jam kerjanya relatif baku, dari pagi sampai malam, dengan waktu istirahat satu jam.

Namun bukan berarti Maria bisa bebas ke sana ke mari. Libur resmi, di mana dia bisa keluar dari rumah majikan dan pergi jauh untuk pelesir saja, paling hanya didapat satu hari dalam satu bulan. Selama pandemi Covid-19, libur malah semakin susah didapat. Perkaranya, majikan khawatir pekerjanya akan tertular virus kalau mereka keluar jauh dari rumah.

"Kalau bukan karena urgent banget, sekarang susah buat libur. Alhamdulillah hari ini aku bisa datang," ujarnya.

Dengan rutinitas kerja yang relatif padat, sebenarnya hampir sulit membayangkan Maria bisa begitu produktif menelurkan banyak karya. Namun, seperti yang dia bilang pada saya, kalau kita mau dan suka melakukannya, tentu akan selalu ada waktunya.

Dalam proses kreatifnya, Maria mengaku tak punya resep khusus. Kata-kata yang dia anggap cocok digunakan sebagai lirik kadang hinggap begitu saja di benak dan kemudian dia tulis, sekadar agar tidak lupa. Nantinya, ketika ada waktu luang, dia akan sempurnakan lirik tersebut, menyenandungkannya, lalu mengirim materi rekaman mentahnya ke Gito. Dari Bandung, Gito akan menyusun aransemen musiknya secara digital untuk kemudian direkam bersama secara jarak jauh. 

Maria mengaku dirinya bukan dan belum pernah menjadi seorang penggubah lirik profesional. Namun, sejak duduk di bangku SMP, dia punya kecintaan pada puisi. Sering dia menulis puisi di buku hariannya sekadar untuk mencurahkan perasaannya.

Sebagian dari puisi tersebut pernah juga dia kirimkan ke sejumlah media. Pada medio 2000-an, salah satu puisinya bahkan dimuat di Majalah Aneka. Puisi lain pernah juga dibacakan di sebuah acara dangdut yang tayang di salah satu stasiun TV swasta. Kesukaan pada puisi inilah yang kemudian membuat Maria berani menciptakan lirik lagu.

"Aku suka puisi, suka pantun. Mungkin karena aku introvert, pas SMP aku lebih sering curhat lewat puisi. Kemudian aku mulai coba-coba menyanyikan puisi-puisi yang aku buat itu," tutur Maria.

Baca Juga: SURAT DARI TAIWAN #6: Kampung Halaman di Rantau Pelabuhan Taiwan
SURAT DARI TAIWAN #5: Musik yang Mempertemukan
SURAT DARI TAIWAN #4: Transportasi Publik di Hsinchu, dari Halte Plang hingga Bus 5608 yang Garang

Disangka Penyanyi

Dengan bekal lagu-lagu yang dia gubah dan rekam, Maria Chullun mulai melenggang menjadi penyanyi di panggung-panggung komunitas Indonesia di Taiwan. Meski liburnya terbilang jarang, "profesi" barunya sebagai penyanyi ini membuat hari libur yang dia miliki semakin bermakna karena bisa diisi oleh kegiatan yang dia senangi, positif, mendatangkan manfaat, dan bahkan bisa jadi tambahan penghasilan.

Maria memang tidak tampil asal-asalan. Meski acara yang dia sambangi tidak begitu besar, dia tetap tampil total dengan kostum dan make up sempurna.

Menariknya, Maria juga mempersiapkan semuanya sendiri. Ketika pemain musik check sound, dia akan bersiap ke kamar ganti untuk mendandani diri. Semua perkakas untuk merias wajah tersimpan rapi di sebuah koper pink yang dia tenteng. Hari itu dia menggunakan baju gemerlap dengan warna kuning keemasan.

"Biar hemat, Mas, semuanya sendiri," kata Maria seraya tertawa.

Kiprah Maria Chullun sebagai penyanyi Indonesia di Taiwan pun perlahan mulai terdengar sampai ke kampungnya. Lewat media sosial, keluarga dan kerabatnya di Lampung mulai ngeh kalau Maria banyak mengembangkan talentanya di Taiwan.

Asal tahu saja, selain menjadi penyanyi dan pembuat lirik, di media sosial TikTok Maria sering memandu konsultasi kartu Tarot. Hari itu saja, setelah selesai dandan, sebelum acara dimulai, ia tampil dulu di TikTok untuk pertunjukan Tarotnya.

"Jadi banyak yang nanya sama aku: ‘Kamu itu kerja apa sih di Taiwan. Kayaknya sekarang sudah jadi artis, ya?’ Padahal aku masih bekerja seperti biasa," kata Maria seraya terkekeh.

Maria sendiri sendiri tak mau muluk-muluk. Baginya, proses berkesenian dan pengembangan bakat yang dia temukan di Taiwan adalah upaya dirinya untuk menjadi manusia yang lebih baik. Maria sempat berseloroh tentang menjadi sosok inspiratif, namun sedetik kemudian, hal itu dia tepis sendiri. 

"Yang penting, ini cerita buat anak cucuku kelak. Itu saja kalau aku," katanya merendah.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//