• Buku
  • Bandung Lautan Api: Ketika Rumah Rakyat Dibakar

Bandung Lautan Api: Ketika Rumah Rakyat Dibakar

Bandung dibakar bukan tanpa alasan. Ratusan ribu rakyat mengungsi sampai Yogyakarta. Inggris Kerahkan Tentara Gurkha dan Belanda

Monumen Bandung Lautan Api di Lapangan Tegallega, Bandung. (Foto: Dok Pemkot Bandung)

Penulis Iman Herdiana24 Maret 2021


BandungBergerak.id - Di ujung Perang Dunia II menjelang peristiwa “Bandung Lautan Api”, di Bandung terjadi pertempuran sporadis antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dibantu laskar rakyat melawan tentara Inggris yang mengerahkan tentara bayaran Gurkha dan Belanda.

Inggris yang sebenarnya bertugas mengawal transisi kekuasaan dari Jepang ke Belanda, mendapat perlawanan karena mereka datang membonceng Netherlands Indies Civil Administration (NICA), Belanda. TKR bersama rakyat Bandung menolak kehadiran NICA yang berniat mengukuhkan kembali kolonialisme di Tanah Air.

Inggris yang kerepotan melawankan perlawanan pejuang Bandung, akhirnya mengeluarkan ultimatum sampai dua kali. Pada ultimatum 17 Maret 1946, Inggris meminta TKR meninggalkan Bandung. Sementara rakyat sipil diperbolehkan tetap tinggal di Bandung.

Pejuang rakyat dan TKR sudah siap melawan sampai titik darah penghabisan. Namun PM Sjahrir memutuskan agar TKR menjalankan ultimatum Inggris dengan pertimbangan taktis dan strategis.

Waktu itu, TKR di Bandung hanya diperkuat 100 pucuk senjata api. TKR lebih banyak menggunakan senjata bambu runcing. Sedangkan Inggris memiliki 12 ribu tentara bersenjata lengkap dan modern, ditambah pasukan bayaran Gurkha dan pasukan NICA.

“TRI adalah modal yang harus dipelihara. Jangan sampai hancur dahulu. Harus kita bangun untuk kelak melawan NICA,” kata Perdana Menteri Sjahril.

Sjahril menyampaikan keputusannya saat menerima Komandan Divisi III (cikal bakal Kodam III Siliwangi) Kolonel AH Nasution, Komandemen I Jabar Mayjen Didi Kartasasmita dan Mr Syarifuddin Prawiranegara.

Para petinggi militer dan PM Sjahrir membahas ultimatum Inggris sebagaimana disarikan dalam buku “Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan”.

Buku setebal 164 halaman ini disusun Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung (Penerbit Bunaya, Maret 2002 dan cetak ulang 2013). Buku ini ditulis Ratnayu Sitaresmi, Aan Abdurachman, Rustadi Widodo Kinartojo, Ummy Latifah Widodo, dengan penyelia Soewarno Darsoprajitno.

Selanjutnya, para petinggi TKR mengadakan rapat di Markas Divisi III TKR pada 24 Maret 1946 pukul 10.00 WIB. Rapat dihadiri Komandan Divisi III Kolonel Nasution, Komandan Resimen 8 Letkol Omon Abdurrahman, Komandan Batalyon I Mayor Abdurrahman, Komandan Batalyon II Mayor Sumarsono, Komandan Batalyon III Mayor Ahmad Wiranatakusumah, Ketua MP3 Letkol Soetoko, Komandan Polisi Tentara Rukana, dan lain-lain.

Rapat berlangsung emosional, sikap petinggi TKR terbelah antara menyerahkan Bandung dan mengobarkan perlawanan terhadap Inggris dan NICA.

Komandan Rukana bahkan usul meledakkan terowongan Sungai Citarum di Rajamandala agar Bandung menjadi lautan. Karena emosional, Rukana bukan menyebutkan “lautan air”, tetapi malah menyebutkan “lautan api”.

Diduga dari rapat itulah istilah “Bandung Lautan Api” berasal, peristiwa heroik yang terjadi 24 Maret 1946 atau tepatnya hari ini 75 tahun lalu.

Kronologi Pembakaran Kota Bandung

Rapat itu akhirnya memutuskan menaati keputusan Pemerintah RI. TKR akan mundur tapi tak akan menyerahkan Bandung dalam keadaan utuh. TKR akan mengungsi bersama rakyat, serta akan melakukan infiltrasi, bumi hangus, dan melakukan perang gerilya.

Pengumuman mengungsi disampaikan melalui siaran RRI pada 24 Maret 1946 pukul 14.00, bahwa semua pegawai dan rakyat harus keluar sebelum pukul 24.00, tentara melakukan bumi hangus terhadap bangunan-bangunan vital agar tak diduduki Belanda.

TKR juga mempersiapkan titik-titik pengungsian yang tersebar dari Banjaran, Garut, Tasikmalaya, sampai Yogyakarta. Persiapan pengungsian dan pembumihangusan objek vital terjadi di tengah provokasi dari tentara Gurkha dan NICA.

Rencana bumi hangus dijadwalkan pukul 24.00, ditandai satu ledakkan pertama di Gedung Indische Restaurant (sekarang Gedung BRI). Di masyarakat, desas-desus bahwa Bandung akan dibakar dan penduduknya harus ngungsi segera menyebar.

Arus pengungsi mulai terjadi pukul 15.00, meski masih banyak penduduk yang belum mendapat informasi pengosongan Bandung. Petugas desa dan para pejuang terus mensosialisasikan berita RRI tentang pengungsian dan pembumihangusan. Semakin sore arus pengungsi kian besar. 

Momoh Salamah, seorang saksi yang dikutip buku “Saya Pilih Mengungsi”, baru tahu berita pengungsian dari suaminya yang Ketua RT. Dengan 3 anaknya, mereka ngungsi bersama para tetangga menuju Majalaya.

Kebanyakan pengungsi hanya membawa pakaian seadanya dan perhiasan. “Suami saya membawa mesin tik perusahaan, takut karena inventaris,” kata Momoh.

Di saat rakyat sibuk mengungsi, para pejuang yang bertugas membumihanguskan Bandung sudah siap dengan bahan peledak, bom molotov, minyak tanah dan bensin. Mereka ditugaskan meledakkan gedung-gedung vital yang kemungkinan akan digunakan Belanda.

Salah seorang pejuang, Endang Karmas, mendapat perintah pembakaran dimulai pukul 22.00. Sementara TKR menjadwalkan peledakan pukul 24.00. Maka antara pukul 15.00 sampai 20.00, para pejuang masih melakukan persiapan.

Tiba-tiba terjadi ledakkan pukul 20.00. Ledakkan pertama ini terlanjur dianggap aba-aba oleh para pejuang yang bertugas melakukan pembakaran dan peledakkan. Mereka pun buru-buru menjalankan tugasnya. Tetapi karena persiapan yang minim dan tergesa-gesa, banyak gedung vital yang tidak meledak.

Di sisi lain, rumah warga yang dibakar justru sangat banyak. Rumah rakyat tersebut kebanyakan dibakar sukarela oleh warga sendiri maupun oleh pejuang.

Para pengungsi melihat lautan api terjadi di sepanjang Jalan Buah Batu, Cicadas, Cimindi, Cibadak, Pagarsih, Jalan Sudirman. Kobaran api terbesar terjadi di daerah Cicadas dan Tegalega, sekitar Ciroyom, Jalan Pangeran Sumedang (Otista), Kopo, Cikudapateuh.

Menurut kesaksian, pasukan dan rakyat ikut membakar gedung dan rumah karena khawatir digunakan NICA. Oon Suharman menyaksikan Bandung benar-benar menjadi lautan api pada pukul 23.00.

“Jadi banyak pertanyaan kenapa bangunan itu dibakar? Bukan membakar bangunan rakyat, tapi bangunan yang sekiranya dipakai musuh seperti gedung pemerintahan, tapi karena kekacauan waktu itu hampir semua bangunan yang dibakar,” cerita Oon.

Arus pengungsian berlangsung sampai malam. Ini terjadi karena kacaunya situasi dan minimnya informasi. Para pengungsi mengosongkan kota di tengah ketakutan atas serbuan Belanda. Kepergian mereka diiringi dentuman bom dan kobaran api.

Diperkirakan 100 sampai 200 ribu warga Bandung meninggalkan kampung halaman. Sebagian besar bergerak dari daerah selatan rel kereta api ke arah selatan sejauh 11 kilometer (melewati Sungai Citarum). Ada juga yang yang bergerak dari utara, barat dan timur.

Jalan raya besar seperti Regentsweg (kini Dewi Sartika), Jalan Raya Banjaran (Muhammad Toha), Jalan Kopo, dan Jalan Buahbatu menjadi jalan utama yang digunakan pengungsi. Sebagian pengungsi ada yang melalui Cigereleng, Jalan Raya Banjaran, Menuju Dayeuhkolot.

Api terus berkobar sepanjang malam. Para pengungsi yang sudah tiba di Majalaya sempat memandang langit merah Bandung. 

Buku tentang Bandung Lautan Api. (Foto: Iman Herdiana)
Buku tentang Bandung Lautan Api. (Foto: Iman Herdiana)

Pulang ke Kota Mati dan Arti Bandung Lautan Api

Pada 1948, kebanyakan pengungsi mulai kembali ke Bandung yang berubah menjadi kota mati, masih ada sisa-sisa bangunan yang terbakar. Tetapi ternyata ada sebagian warga tidak ikut mengungsi.

Malah mereka yang baru pulang mengungsi mendapati rumah mereka sudah ditempati orang lain. Kalaupun rumahnya masih kosong, semua barang telah dijarah. Sebagian besar pengungsi sibuk mengurusi rumah yang hancur.

Ketika pergi mengungsi mereka membawa barang seadanya. Ketika mereka kembali juga dengan barang seadanya. Mereka menghadapi kondisi sangat sulit.

Buku “Saya Pilih Mengungsi” mencatat sejumlah poin penting peristiwa Bandung Lautan Api. Pertama, adanya kekompakan antara pemerintah sipil, TKR dan rakyat dalam melakukan pengungsian dan pembumihangusan.

Ketaatan kepada pemerintah sipil ini menjadi salah satu nilai tersendiri dari tentara Inggris, bahwa TKR dan pemerintah sipil di Bandung bersatu padu untuk kemerdekaan. Terlebih Inggris dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi supremasi sipil di mana kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat.

PM Sjahrir menggunakan peristiwa Bandung Lautan Api untuk tawar-menawar dengan Sekutu-Inggris dalam usaha memperoleh konsesi politik, yaitu pengakuan RI secara de facto.

Sebelumnya, Belanda menolak berunding dengan alasan Indonesia adalah negara bentukan Jepang.  Pasca-Bandung Lautan Api, Inggris berhasil memaksa Belanda melakukan perundingan Linggajati 10 November 1946.

Perundingan Linggarjati dinilai merugikan Indonesia. Namun sejak itu, sengketa Indonesia dan Belanda selalu melibatkan dunia internasional, yakni Perserikatan Bangsa Bangsa. Misalnya, Agresi Militer Belanda I membawa RI dan Belanda untuk berunding dan menghasilkan perjanjian Renville pada 1948.

Begitu pula setelah Agresi Militer Belanda II pada 1948, PBB membentuk United Nations Commission for Indonesia (UNCI) dan mendorong RI untuk berunding dengan Belanda hingga menghasilkan perjanjian Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, 27 Desember 1949. Dalam konferensi ini RI diakui kedaulatannya oleh Belanda.

Catatan lainnya dari peristiwa Bandung Lautan Api, peledakan bangunan vital di Bandung memang tidak berjalan sempurna, tetapi aksi rakyat yang membakar rumah sendiri dinilai sebagai bukti nyata terhadap pendudukan Belanda. Rakyat ikut membakar rumahnya tanpa memperhitungkan akibatnya.

“Ya, mereka itu merasa bahwa ini kemerdekaan...karena merdeka pokoknya ngungsi, ngungsi. Jadi mereka tidak bisa membawa apa-apa. Nah, ini yang menjadi kebanggaan kita. Rakyat itu merelakan membakar rumahnya. Pikirannya masih pendek...ngerti juga enggak mereka. Jadi udah, karena nanti kalau sudah merdeka mah bakal hebat. Diganti itu jadi yang baru. Jadi pikirannya sudah, ‘Nanti. Kita berjuang dulu, sekarang masing-masing meninggalkan (dulu),’” kata Oetama Sa’arah.

Informasi Buku

Judul: Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan

Penulis: Ratnayu Sitaresmi, Aan Abdurachman, Rustadi Widodo Kinartojo, Ummy Latifah Widodo,

Penerbit: Penerbit Bunaya

Cetakan: Maret 2002 dan cetak ulang 2013

Editor: Redaksi

COMMENTS

//