SURAT DARI TAIWAN #9: Apa yang Dinyanyikan Pekerja Migran Indonesia di Taiwan?
Kegiatan musisi pekerja migran Indonesia di Taiwan beragam, mulai dari pop dan dangdut hingga band punk. Mereka menciptakan musik sebagai ekspresi pekerja migran.
Irfan Muhammad
Penulis buku Bandung Pop Darlings, sedang belajar di National Yang Ming Chiao Tung University, Taiwan, IG: @irfanpopish.1990
27 Juli 2022
BandungBergerak.id - Dua bulan terakhir ini saya sedang sering-seringnya ikut kegiatan musisi pekerja migran di Taiwan. Setidaknya ada dua acara yang sudah saya ikuti dan satu acara lain di Agustus nanti. Semuanya dihelat oleh The Cultural Taiwan Foundation bersama Trans/Voice Project, sebuah organisasi nirlaba yang fokus pada isu pekerja migran dengan pendekatan seni.
Dari dua acara yang sudah saya ikuti, terdapat perbedaan yang mencolok satu sama lain. Acara pertama yang digelar di Taichung, fokus pada jenis musik pop dan dangdut. Waktu itu tampil Maria Chullun, seorang pekerja yang juga musisi asal Lampung, serta Yogi Music, seorang pekerja pabrik, yang juga dari Lampung, dan dikenal di Taiwan sebagai seorang penata musik (music arranger).
Sementara di acara kedua, yang digelar di Tainan, lebih rock. Satu band punk dari Pingtung bernama Southern Riot dan band metal yang berbasis di Chiayi, Jubah Hitam, didapuk jadi highlight. Adapun dari Tainan, sebagai tuan rumah, tampil dalam format akustik Firman dan Dawer, dua pekerja Indonesia di kota tersebut yang aktif menciptakan lagu dengan gaya pop Jawa.
Dari semua rangkaian ini saya memetakan beragam tema yang diciptakan, dinyanyikan, dan ditampilkan oleh para pekerja migran Indonesia di Taiwan. Temanya ternyata beragam. Tidak hanya tentang kerinduan pada kampung halaman, tetapi juga tentang kerentanan dan beratnya pengalaman sebagai migran. Jejak berkesenian yang tentunya patut didokumentasikan.
Cari Jodoh, Dapat Pacar, Putus Lagi
Cinta rasanya akan selalu menjadi tema yang laris manis untuk digubah sebagai lagu dari masa ke masa. Penantian, pertemuan, kerinduan, dan perpisahan dua insan hampir pasti dirasakan oleh setiap individu, yang membuat tema ini menjadi relevan di berbagai zaman. Tema ini pula yang nampaknya mendominasi lagu-lagu dari para pekerja migran Indonesia di Taiwan.
Dari empat penampil (minus Yogi, yang menjadi pengiring Maria di acara Taichung), dua di antaranya banyak menjadikan tema cinta sebagai tema lagunya. Maria Chulun misalnya, hampir semua lagunya bercerita tentang hubungan antarkekasih. Kepada saya, Maria bercerita, kalau lagu-lagu ini terilhami dari pengalamannya sendiri.
Lagu "Antara Bandung dan Taichung" misalnya, menceritakan tentang hubungan jarak jauhnya dengan sang kekasih yang tinggal di Kota Kembang. Atau lagu Bojone Uwong (Suami Orang) yang terinspirasi dari pengalamannya mencari pasangan di dunia maya. Dua lagu ini, mewakili kisah Maria sebagai perantau yang jauh dari tanah air. Hidup sendiri dengan waktu libur yang teramat pendek di tengah lingkungan yang berbeda baik dari bahasa dan kebiasaan membuat Maria cukup sering menghabiskan waktunya berinteraksi di media sosial. Dari media sosial ini sempat terjalin beberapa hubungan spesial hingga ia menemukan sosok pria yang ia anggap tepat kini. Yakni Ghito Shantiong, seorang musisi asal Bandung yang jadi partner-nya dalam bermusik.
"Kalau di media sosial ada yang ngaku kerjanya sesuatu, atau ngaku polisi misalnya, itu sudah pasti bohong. Ingin memanfaatkan kita saja," kata Maria bercerita tentang pengalamannya menjalin hubungan jarak jauh lewat media sosial. Pengalaman yang menjadi inspirasinya menggubah lagu Bojone Uwong.
Jika Maria banyak bercerita tentang pertemuan, maka Firman Setia Budhi, seorang pekerja migran Indonesia di Tainan banyak bernyanyi tentang perpisahan dan kesetiaan. Nuansa lagunya galau. Tak heran saat Firman dan tandem bermusiknya Dawer, tampil di salah satu acara Trans/Voices Project di Tainan, sorakan-sorakan pekerja migran banyak terdengar. Merasa terwakili.
Kepada saya, Dawer bercerita kalau lagu yang mereka ciptakan memang memotret kisah cinta para pekerja Indonesia di Taiwan. Lagu berbahasa Jawa berjudul Stasiun Tainan Ninggal Katresnan misalnya berkisah tentang perasaan patah karena kekasih yang mengkhianati janji. Sementara lagu Taiwan Dalan Uripku, bercerita tentang perjuangan pekerja migran yang harus kuat menahan rindu pada pasangan di Indonesia. Bagian akhir liriknya, "Ingin hidup bahagia, ya harus susah".
Menjadi pekerja migran Indonesia di Taiwan memang tidak bisa disamakan dengan migran Indonesia lainnya. Seperti mahasiswa misalnya. Sekali berangkat, pekerja akan terikat kontrak tiga tahun yang mana di rentang waktu itu mereka tidak akan bisa pulang ke Indonesia sama sekali. Ketika kontrak diperpanjang, maka akan ada tiga tahun lainnya yang memperpanjang masa perpisahan dengan keluarga. Di rentang waktu yang tidak sebentar ini tentu ada saja godaan.
"Itu makanya kami bikin lagu Selawase Siji. Yang ini ceritanya tentang kesetiaan. Walaupun kami jauh dari keluarga, tetapi enggak tergoda untuk cari pacar lagi," kata Dawer diselingi tawa.
Bagian favorit saya di lagu Selawase Siji adalah: "Penjalukku yo mong siji, sing sabar kowe ngenteni. Neng kene aku golek rejeki, kanggo kowe pujaan hati". Intinya saling sabar. Mereka bekerja di Taiwan hanya untuk membahagiakan keluarga di Indonesia.
Firman dan Dawer juga sering menyematkan beberapa tempat di Taiwan sebagai latar lagunya. Selain Stasiun Tainan, kini mereka sedang menggarap lagu baru yang judulnya menyematkan ikon Taiwan, yakni gedung 101 Taipei. Atau dalam bahasa orang sini yi ling yi Taipei.
"Karena kan di Indonesia tidak banyak yang tahu tempat-tempat di Taiwan. Lewat lagu kami coba perkenalkan," kata Dawer yang lagu-lagunya memang cukup populer di media sosial TikTok.
Baca Juga: SURAT DARI TAIWAN #6: Kampung Halaman di Rantau Pelabuhan TaiwanSURAT DARI TAIWAN #6: Kampung Halaman di Rantau Pelabuhan Taiwan
SURAT DARI TAIWAN #7: Yang Bekerja, Yang Berkarya: Maria Chullun
SURAT DARI TAIWAN #8: Organ Tunggal a la Lampung di Negeri Formosa
Protes dan Spiritual
Jika kebanyakan lagu pekerja migran Indonesia di Taiwan bertemakan cinta, maka Southern Riot dan Jubah Hitam punya formula yang berbeda. Southern Riot fokus pada musik protes sementara Jubah Hitam pada tema-tema spiritual.
Southern Riot adalah band punk yang dibuat pekerja migran Indonesia di Pingtung. Penampilan pertama mereka di depan publik adalah di Demo Akbar pekerja migran ASEAN yang digelar di Taipei, Desember 2021 lalu. Jika Maria, Firman, dan Dawer memotret kehidupan pekerja migran secara mikro, maka Southern Riot melihatnya secara makro. "Sistemnya yang bikin pekerja migran seperti ini," kata Abu Abraham, vokalis Southern Riot.
Secara lirik, lagu-lagu Southern Riot relatif lugas. Tidak banyak berlindung di balik metafora. Mereka juga sering menyelipkan umpatan baik dalam bahasa Indonesia, Mandarin, dan Jawa. Di salah satu lagu mereka bertajuk "Surat Cinta Dari BMI" misalnya, mereka menyelipkan umpatan "Luang-chi-ba-cau" yang artinya "kacau banget" atau "Me-you-yong" (tidak berguna) yang mereka tujukan untuk agensi eksploitatif dan Kementerian Tenaga Kerja Taiwan. Lagu ini bahkan mereka nyanyikan di depan kantor Kemenaker Taiwan saat tampil di Demo Akbar. Lagu yang mampu menciptakan koor dari para pekerja migran lintas-negara.
"Saya kira Taiwan cukup demokratis untuk hal seperti ini. Jadi kritikan kami tidak dianggap kejahatan," kata Abu.
Sementara Jubah Hitam lirik-liriknya lebih introspektif. David, gitaris dan juga sosok yang dituakan di band ini, bercerita kalau gagasan-gagasan spiritual yang ia tuangkan pada liriknya adalah semacam konter atas stigma pada musik metal yang sering dianggap musik setan atau jauh dari agama. "Sementara kami enggak. Menurut kami musik juga bisa jadi bahan perenungan," katanya.
Robby sang vokalis menambahkan. "Kami sepertinya lebih cocok mengkritik diri sendiri. Belum mampu mengkritik orang lain," kata pria asal Subang ini. Tak heran kalau kemudian lagu-lagu Jubah Hitam dekat dengan terminologi agama, dalam hal ini Islam. Ada lagu bertajuk Haram, Kafir, Sakaratul, atau lagu terbaru mereka Tirakat Spiritual.
Sebuah Ikhtisar
Pada akhirnya musik menjadi salah satu sarana para pekerja migran Indonesia di Taiwan di tengah gempuran eksploitasi dan cara mereka bernegosiasi dengan situasi baru di tanah rantau. Boleh jadi mereka sesederhana menyanyikan lagu cinta, tetapi di balik lirik-lirik yang mereka gubah, ada rasa gundah. Kecamuk perasaan atau mungkin kerentanan yang mereka coba terjemahkan dalam bait lirik dan komposisi nada.
Jubah Hitam, boleh jadi tidak lugas menceritakan pengalaman mereka bekerja di Taiwan. Tetapi saya jadi teringat percakapan dengan Benny Soebardja, musisi gaek yang jadi salah satu pelopor musik psikadelik di Indonesia tentang lagunya bersama Shark Move, Evil War. Menurut Benny banyak kritikus menilai lagu ini memotret kisuh besar pergantian kuasa dari Presiden Sukarno ke Presiden Suharto. Padahal, ia sebagai pembuat lagu tidak merasa terilhami oleh kejadian itu.
"Tapi sangat mungkin juga alam bawah sadar saya terilhami dengan situasi politik saat itu. Secara alami akhirnya memengaruhi penulisan lirik dan musik saya," kata Benny.
Dikaitkan dengan Jubah Hitam, mungkin ini adalah ekspresi yang tidak mereka sadari kala berhadapan dengan nilai-nilai baru yang mereka temui di tengah masyarakat Taiwan. Sebagai minoritas Muslim yang harus bernegosiasi dengan batas-batas budaya di tanah rantau, sambil berharap tetap teguh di jalan-Nya. Seperti yang Robby nyanyikan dalam Tirakat Spiritual: "Takkan pernah ku berpaling dari-Nya. Dia-lah satu-satunya yang kupercaya".