• Kolom
  • Lewat Cara Ini Saya Mengenang Sutuq

Lewat Cara Ini Saya Mengenang Sutuq

Ade Yusup alias mang Sutuq berkuliah di Jerman. Lewat indiepop, ia bersama Nishkra menginisiasi jenis musik baru yang kala itu belum umum di Bandung.

Irfan Muhammad

Penulis buku Bandung Pop Darlings, sedang belajar di National Yang Ming Chiao Tung University, Taiwan, IG: @irfanpopish.1990

Almarhum musikus Bandung, Ade Yusup alias mang Sutuq, sebagai salah satu dari sedikit orang yang membawa indiepop ke Bandung.(Sumber foto: Penulis)

22 April 2022


BandungBergerak.idAkhirnya kabar itu datang juga. Sekitar pukul 4:50 waktu Taiwan, atau lebih satu jam dari waktu Indonesia bagian barat, Joz Yusadiredja, founder dari label rekaman independen asal Bandung, Maritime Records, mengabarkan pada saya bahwa Ade Yusup atau yang akrab disapa Mang Sutuq meninggalkan kita semua. Kanker stadium lanjut yang diidapnya, yang semula diupayakan penyembuhannya dengan dibantu sokongan donasi dari kawan-kawan komunitas, menjadi sebab.

Bagi masyarakat umum, Sutuq mungkin adalah orang biasa. Tetapi bagi kami, yang menggemari indiepop, Sutuq adalah sosok luar biasa. Namanya perlu dicatat sebagai satu dari sedikit orang yang membawa indiepop ke Bandung. Bersama Nishkra (sering dia sebut sebagai soulmate-nya, yang juga ada di sampingnya saat akhir hidupnya), Sutuq membangun sebuah klab indiepop bernama poptastic! pada awal dekade millenium ketiga.

Dipertemukan oleh jaringan pertemanan Bandung yang berbasis tongkrongan dan didekatkan oleh kanal MiRC #dreampop, Sutuq yang waktu itu berkuliah di Jerman semakin dekat dengan Nishkra yang berada di Australia. Lewat indiepop, mereka intens berbagi dan muaranya adalah menginisiasi jenis musik baru yang kala itu belum umum di Bandung. Dibantu oleh sejumlah tokoh lain di kancah seperti Helvi Sjarifuddin dan Dxxxt, poptastic! pertama terselenggara di tahun 2000 dan mengubah lanskap pop bawah tanah lokal. Dari yang semula "petantang petenteng" penuh imajinasi popstar imbas dari Britpop ke arah yang lebih politis. Ya, dalam bagian lain, kamu harus tahu bahwa indiepop adalah politis!

Waktu itu, dalam wawancaranya untuk Bandung Pop Darlings, Sutuq menyebut membawa 200 CD dari Jerman. Katalognya tentu adalah katalog tidak umum di kancah lokal. Beberapa di antaranya adalah besutan dari Fire Station Tower Records yang nama-namanya entah jadi tidak bisa saya ingat saat mengetik tulisan ini. Jujur saja, masih lemas.

Selain poptastic!, kerja-kerja kancah dia dilakukan lewat sejumlah acara dengan nama lain, seperti yang ia helat di Buqiet Skatepark bersama band punk Runtah, atau menginisiasi kompilasi pop penting yang menandai gelombang pop baru pascaera indies, “Delicatessen” (2002). Kompilasi ini berisikan sejumlah band yang kemudian hari menjadi besar seperti Mocca atau The Upstairs.

Baca Juga: Mahasiswa dan Rakyat Bandung Turun ke Jalan Mengkritik Pemerintahan Jokowi
NGALEUT BANDUNG: Penerbit Alma’arif, dari Yaman ke Ibu Kota Priangan
Catatan Gelap Nasib Perempuan dari Aceh hingga Sumbawa

Namun, meski kami di kancah tak ada yang sangsi kalau dynamic duo Sutuq dan Nishkra adalah pionir, keduanya menolak penokohan. Bagi Sutuq terutama, dia hanya menyebut dirinya sebagai orang yang tepat di tempat dan saat yang tepat. Itu yang selalu dia bilang berulang ketika saya sematkan kata "legenda" saat menyebut dirinya.

Dan indiepop dia hayati sampai ke sumsum! Baginya, indiepop bukanlah sekadar gitar jangly repetitif dan vokal sha lala parapapap. Indiepop baginya lebih dari itu. Indiepop membuatnya kritis di satu sisi tetapi someah dan egaliter di saat bersamaan. Bagaimana dia menyatakan pandangannya soal dunia, dan apa yang ia lakukan pada sekitar.

Di tulisan awal saya tentangnya, yang saya naikkan di Anoa Records hanya sehari sebelum kepergiannya bertemu Sang Maha, Sutuq saya sebut sebagai indiekid yang paham akan hakikat. Hal yang membuat ia memilih kembali ke tanah, memberdayakan alam dan petaninya, tanpa banyak bacot. Lakukan saja apa yang ia suka dan percaya, indiepop banget! Membuat saya tak perlu merujuk ke nama-nama asing seperti Clare Wadd dari Sarah Records atau McRobbie dari The Pastels saat hendak mengambil teladan tentang bagaimana mengaplikasikan indiepop dalam keseharian.

Saya masih ingat juga waktu saya hendak mengangkat profilnya di rubrik pekanan di koran tempat dulu saya bekerja. Dengan santun dia menolak. Menurutnya, ia belum melakukan apa-apa. "Belum sampai ke mana-mana saya mah, kang," begitu katanya. Dan ya, seperti juga Nishkra, dia selalu menyapa saya dengan sapaan kang. Meski umur kami terpaut jauh, mungkin itu cara mereka berdua menunjukkan semangat egalitariannya.

Saya tidak bisa menulis banyak. Tapi saya ingin mengenang mang Sutuq sebagai pribadi yang menginspirasi. Yang namanya saya dengar 10 tahun lalu sebagai mitos karena seringnya ia dibicarakan namun tidak pernah saya temui, kemudian mengubah banyak persepsi saya tentang musik yang saya suka dan percaya saat banyak berbagi pandangan dengannya.

Sutuq adalah guru dalam hidup. Yang kisah dan pengalaman hidupnya saya reguk.

Pileuleuyan, mang. Doa terbaik dari saya buat mamang. Magfirah Allah bersama mamang.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//