MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #2: Jakarta Yang Dulu, Bukan Yang Sekarang
Perkampungan di Jakarta tahun 1960an masih lenggang. Satu rumah dengan yang lain diselang kebun dan tanah lapang. Rumah-rumahnya masih separuh bilik dan papan.
Asmali
Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.
10 September 2023
BandungBergerak.id – Sebelum melangkah lebih jauh ke kisahku yang lain, ada baiknya aku kenalkan dulu kampungku. Sebuah kampung yang kini secara administratif masuk ke wilayah Jakarta Selatan.
Sebelumnya ketika aku kecil, kampung tempatku tinggal masih jadi bagian Provinsi Banten, Jawa Barat. Sejak aku usia SMP lah baru kampungku masuk ke wilayah administrasi DKI Jakarta.
Penting aku sampaikan tentang kampungku karena ingatanku tentang kampung berbeda dengan situasi saat ini. Sebuah wilayah padat penduduk yang hampir sulit mencari ruang lapang. Sebaliknya, waktu aku kecil di tahun 1960an, pinggiran Jakarta di daerahku masih dipenuhi banyak kebun yang jarak dari satu rumah ke rumah lain cukup berjauhan.
Dulu dikampungku rumah terbuat dari bilik bambu. Kasau-kasau untuk penopang genteng pun masih menggunakan bambu. Lantainya tanah saja, belum ubin atau keramik seperti kekinian. Walaupun dari tanah tapi mencilak, seperti lantai yang di-plur. Sebagian rumah bahkan masih pakai atap seperti daun aren yang dianyam dengan bagus dan kuat.
Baca Juga: Geliat Mooi Indie van Kampung Jelekong
Setelah Polisi Mengepung Kampung Kami
Menjaga dan Melestarikan Budaya Reak Melalui Media Digital
Lampu Gantung dan Hujan
Pada masa itu, punya rumah separuh papan dan separuhnya bilik sudah bagus. Ukuran rumahnya pun besar dengan dapurnya juga luas jika dibanding rumah zaman sekarang.
Untuk memasak, seingatku masih jarang yang punya kompor minyak. Kebanyakan rumah tangga masih pakai dapur tungku. Yang aku heran, sekalipun rumah bilik dengan dapur tungku, jarang ada rumah kebakaran.
Sumurnya pun sumur gali. Ada yang pakai kerekan.
Halaman rumahku cukup besar dengan banyak pepohonan di sekitar. Kebanyakan pohon buat seperti nangka atau rambutan. Tidak heran kalau malam suasananya agak seram. Apalagi aliran listrik belum ada.
Untuk penerangan kami andalkan lampu pelita, lampu tempel, atau lampu gantung yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya. Ada orang yang lebih mampu, mungkin memilih pakai lampu petromaks, atau kalau lebih berduit bisa beli diesel merek Honda yang biasa dinyalakan sejak matahari terbenam hingga jam 12 malam. Agar terus terang, perlu kurang lebih tiga liter bensin sebagai bahan bakar.
Ketika malam tiba, suara hewan malam bersahut-sahutan. Ada suara jangkrik, tonggeret, tokek, burung hantu, dengan pijar kunang-kunang di sekitar. Kalau hujan, suara kodok menambah riuh malam. Karena jalannya masih tanah, ketika hujan deras, tanahnya akan tebal minta ampun, bahkan licin.
Sebagai orang yang tinggal di jalan utama dengan kendaraan bermotor yang sesekali melintas. Aku cukup sering melihat kendaraan yang terjerumus ke got —atau orang kampungku sebutnya gegili — karena jalanan yang licin sehabis hujan.
Sebaliknya pada pagi dan sore yang cerah, masih banyak kupu-kupu beterbangan. Dari yang besar sampai yang kecil warna-warni. Tanah lapang mudah ditemui dengan kebun di sekitarnya yang ditanami mentimun, umbi-umbian, pisang, atau pepaya.
Ayam dan Kentongan
Begitu pun dengan peternakan. Ada kambing, kerbau, ayam, bebek, hingga kuda tunggang.
Uniknya, di kampungku untuk memelihara ayam tidak perlu pakai kandang seperti sekarang. Ayam dilepas liar di halaman. Nanti ketika malam tiba, ayam-ayam akan naik ke pohon-pohon besar. Ketika akan disembelih atau dijual, kami menggunakan galah bambu dengan ujung sabut kelapa untuk menyodok ayam yang bertengger di pohon.
Kampungku dibatasi dengan kali besar dan kali kecil. Sebelah barat disebut kali Pesanggrahan dan sebelah timur dibatasi dengan kali kecil yang orang di kampungku menyebutnya Kalenan atau Uangan. Dengan adanya dua kali ini, di kampungku sepertinya tidak mengenal kemarau. Karena air sumurnya pun selalu bagus dengan air kali yang belum tercemar.
Hal lain yang kuingat dari pinggiran Jakarta tempat aku tinggal dulu, beberapa sudut desa masih dihiasi oleh kentongan. Kentongan ini terbuat dari kayu bulat dengan panjang sekitar satu meter. Bagian tengahnya dikerok sepanjang 70 sampai 80 cm. Bagian atasnya pipih dibuat lubang kemudian digantung di tempat yang mudah dijangkau orang.
Sesekali kentongan itu dipukul terdengar malam dan siang. Aku sendiri tak pernah menghiraukan ada apa dan untuk apa kentongan itu ditalu.
Jika itu ingatanku tentang lingkunganku, tentang orang-orangnya, aku ingat kebanyakan orang dikampungku dulu, orang tua laki-laki selalu pake sarung dan peci hitam atau songkok. Sementara kaum perempuannya selalu pake kain panjang atau samping dengan baju kebaya. Masih jarang yang berkerudung atau berjilbab seperti sekarang. Paling-paling rambutnya dikonde .