CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #43: Anak dan Masa Depan
Anak perlu dididik secara kolektif. Tanggung jawab pendidikan anak bukan hanya pada orang tua, tetapi juga keluarga besar, masyarakat, dan pemerintah.
Noor Shalihah
Mahasiswa, bergiat di RBM Kali Atas
18 September 2023
BandungBergerak.id – Anak lelaki berusia empat tahun, hampir selalu membuat gurunya merasa kelebihan peserta didik. Ia membawa satu orang adiknya yang masih batita. Belum bisa mandiri, terkadang mengganggu aktivitas teman satu kelasnya. Ibunya tak pernah hadir untuk mencegah si adik masuk ke kelasnya. Sebaliknya, Ibunya menitipkan adiknya untuk ikut ke sekolah kepada kakaknya sekalian mengasuh.
Almas, Guru PAUD yang memiliki murid sekitar dua puluh orang di kelasnya, dibuat penasaran oleh tingkah murid dan orang tuanya. Aktivitas hamil dan melahirkan anak sudah seperti mengocok undian yang hasilnya anak laki-laki atau anak perempuan. Konon, Ibunya menginginkan anak perempuan. Sudah tujuh kali lahiran hasilnya selalu anak laki-laki. Barulah anak ke delapan inilah anaknya muncul perempuan. Setelah muncul anak perempuannya itu, maka berhentilah si Ibu untuk memiliki anak.
Pertaruhan memiliki anak laki-laki dan anak perempuan memang sudah menjadi kebiasaan yang wajar. Ada beberapa orang tua yang memiliki anak banyak untuk mengentaskan rasa penasaran mereka untuk memiliki anak laki-laki atau anak perempuan. Hanya terkadang tidak diimbangi dengan pikiran tentang bagaimana dan apa yang perlu dilakukan orang tua kepada anaknya. Dampak apa yang akan terjadi apabila mereka memiliki anak.
Memang, secara insting, manusia memiliki keterampilan alamiah untuk mengurusi anak-anaknya. Dawkins dalam bukunya The Selfish Gene, manusia memiliki insting hewani. Orang tua akan melakukan apa pun untuk melindungi dan melakukan yang terbaik untuk anaknya. Tapi, manusia sejenis hewan yang berbeda.
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #40: Titik Terang Polemik Pembangunan Stasiun Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #41: Refleksi Satu Tahun
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #42: Corak Pengembangan Pendidikan di Cicalengka oleh Keturunan Palembang
Anak adalah Harapan
Anak. Pandangan tentang anak berdimensi masa depan. Memberikan harapan. Sekaligus sebuah kehormatan. Dahulu manusia bereproduksi untuk menjaga kelestarian spesiesnya, salah satu alasannya untuk bertahan hidup. Anak juga sebagai penyimpan artefak hidup sebagai penerus.
Selain itu, pandangan tentang anak berdimensi ekonomi. Seperti yang ada dalam ungkapan banyak anak banyak rezeki, anak adalah investasi masa depan. Anak pembawa rezeki. Anak dipandang seperti komoditas ekonomi yang kelak akan menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai sejahtera. Istilah yang tercantum dalam ungkapan itu adalah istilah ekonomi.
Tapi kadang manusia lupa, pandangannya itu tidak diselaraskan dengan apa yang seharusnya dilakukan. Ungkapan itu tidak menjadi lebih penting karena yang dilakukan kebanyakan manusia adalah membiarkannya. Anaknya tidak dijadikan modal yang baik. Atau anaknya sendiri tidak dijadikan kualitas yang baik.
Hal ini diperparah adanya hubungan sistem human capital dan human development. Manusia yang seharusnya memiliki tingkat pengembangan diri yang sama dan dikembangkan bersama, akan selalu sulit berkembang apabila pengembangan diri dikembangkan dengan berdasarkan kepada tanggung jawab masing-masing individu, bukan tanggung jawab bersama.
Tidak heran banyak yang lupa bahwa anak adalah ujian – maka saya mengingatkannya di sini. Anak adalah individu yang perlu dididik. Ujian, ujiannya bukan hanya untuk orang tua dan keluarganya. Tapi juga ujian untuk seluruh alam. Karena, ketika seorang anak lahir, perlu ada orang tua dan lingkungan yang memberikan pendidikan. Alam yang memberikannya makanan. Lingkungan hidup yang sehat nyaman, dan sebagainya. Sehingga semuanya menopang untuk satu orang anak untuk hidup.
Wacana overpopulasi dan depopulasi merupakan satu wacana yang sudah lama bergulir. Pembatasan kelahiran, pengurangan jumlah penduduk, menunjukkan bahwa banyak hal-hal yang tidak bisa dilayani seiring membaiknya kondisi teknologi manusia. Di sisi lain, bumi mengalami kerusakan secara bertahap seiring dengan perkembangan teknologi.
Tanggung Jawab Kolektif pada Anak
Zaman berubah, keberadaan anak dan bertambahnya jumlah populasi menyebabkan perubahan iklim. Beberapa studi menunjukkan bahwa banyak kaitan antara jumlah populasi dan perubahan iklim. Hal ini juga memiliki imbas yang sebaliknya. Perubahan iklim menyebabkan dunia yang ditinggali generasi selanjutnya menjadi sangat rentan.
Menurut salah satu penelitian, keputusan untuk tidak melahirkan anak berkontribusi mengurangi emisi individu 20 kali lebih efektif dibandingkan jumlah total perilaku “hijau” lainnya yang kita lakukan, seperti mendaur ulang dan mengurangi penggunaan kendaraan. Namun, dengan alasan memiliki anak apakah hal itu menjadi sesuatu yang diperbolehkan?
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang tidak memiliki anak sebab pendiriannya yang cukup untuk membatasi lingkungan. Meskipun menurut Erik Nakkerud, psikologi lingkungan tidak menunjukkan bahwa keputusan untuk tidak memiliki anak merupakan satu perilaku yang pro terhadap lingkungan. Kaitan antara memiliki anak dan tingkat emisi juga tidak terlepas dari status sosial ekonomi yang ada.
Pada akhirnya, anak perlu dididik secara kolektif. Anak yang terlanjur sudah tiba di muka bumi, tak ada pilihan lain kecuali dididik dengan baik agar kelak ia bisa memiliki hidup yang lebih baik. Tanggung jawab pendidikan anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi juga keluarga besar, masyarakat, dan pemerintah yang perlu menjamin kesejahteraannya.
Di saat sebagian masyarakat berpikir keras apa bagaimana konsekuensi memiliki anak, di sisi lain ada yang bermain dadu menjadi agen lahirnya anak-anak ke dunia. Kami selalu berharap mereka melakukan persilangan. Kalangan terdidik bisa memiliki anak yang juga terdidik dengan baik. Kalangan yang belum mampu memiliki anak, menahan diri untuk tidak memiliki anak sebelum mampu memenuhi kebutuhannya.
Lalu, apa hubungannya dengan anak tampan empat tahun yang merepotkan gurunya? Saya pikir anak ini sebagai medium untuk kami sampai kepada kenyataan bahwa ia dilahirkan dengan rasa penasaran dan harapan. Ia juga diharapkan bisa menjaga lingkungannya kelak sebagai warga dunia. Sebagian orang menyebutnya, anak-anak yang terlahir dalam kondisi krisis iklim seperti saat ini, perlu menjadi seorang environmentalis. Sehingga, di masa depan, ia akan bisa menghadapi dunia yang keras ini dengan lebih bijak.
* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka