• Cerita
  • Zine bagi Orang-orang Muda Bandung

Zine bagi Orang-orang Muda Bandung

Zine menolak mati. Orang-orang muda yang menggemari zine terus merawat nyalanya, dan bahkan menularkannya ke para remaja.

Raka Irham memamerkan zine Aku Muntah yang berisi puisi, dibuat di awal pandemi Covid-19 tahun 2020 lalu. (Foto: koleksi pribadi Raka Irham)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah19 September 2023


BandungBergerak.id - Raka Irham (28 tahun), orang muda asal Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, pertama kali mengenal zine di sebuah acara musik yang ia kunjungi di usia remaja, Ketika itu tahun 2009. Kecintaan pada musik dan subkultur punk membuat Raka menganggap penting segala hal yang termuat dalam lembar-lembar zine.  

“Ada satu leaflet judulnya ‘What is punk?’ Formatnya dua kolom gening kayak koran, membahas apa itu punk. Potret kasusnya di Inggris, lebih ke youth movements dan band-band Inggris yang umum disebut punk saat itu,” ujar Raka, Minggu 17 September 2023.

Dari sana, Raka mencari tahu hal-ihwal lembaran yang ia pegang dan baca. Belum ada gawai yang bisa dimanfaatkan. Raka menghabiskan banyak waktunya di balik bilik warung internet (warnet). Dia masih pelajar SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) waktu itu.

“Sering ke warnet circa 2011-2013 karena waktu itu belum berani nongkrong dengan kolektif punk di Cimahi atau Bandung. Jadi ngulik di internet,” katanya. “Banyak zine yang didapati formatnya udah PDF jadi di-print out sendiri, dapetnya di blog-blog punk di internet.”

Tak berhenti di musik, Raka mulai tergoda untuk membaca juga zine-zine yang memuat isu sosial politik. Pada tahun 2012 ia memperoleh salinan zine yang lumayan radikal berjudul Taring Padi karya Survive! Garage Jogja. Fokus bahasannya adalah pola alternatif hidup sehari-hari yang disajikan lewat esai, kritik, dan bahkan resep makanan vegetarian.

Pertemuan dan penjelajahan dengan zine, diakui Raka, banyak membentuk dirinya. Bacaan-bacaan itu memberikan pengaruh besar bagi keseluruhan kehidupannya.

“Anggaplah 50 persen didikan ortu (orang tua), 25 persen dari banyak baca lirik lagu band, 25 persen hasil banyak baca fanzine,” tuturnya.  

Raka pernah menginisiasi penerbitan zine “Aku Muntah” bersama komunitas literasi di Bandung Barat, yakni Komunitas Laras. Digarap pada tahun 2020, ketika pandemi Covid-19 dimulai, zine itu memuat puisi-puisi. Ada lima puisi karya orang lain. Selebihnya adalah karya Raka, termasuk juga artwork.

“Bikin 50 copy, dijual 20 ribu (rupiah),” ujarnya. “Hari ini statusnya habis.”

Hari ini Raka masih bergelut dengan kerja pembuatan zine. Ia sedang sibuk bersama Hawar Press, sebuah fanzine hardcore punk dengan format digital.

Di Hawar Press, Raka menjadi penulis setiap caption unggahan, termasuk gigs report (review singkat sebuah gigs yg didatangi atau digarap), di akun Instagram. Ia juga yang menulis tanggapan di kolom komentar. Bagi Raka, zine akan selalu relevan sepanjang masa. 

Para siswa SMP membuat zine bersama sebagai media pembelajaran Bahasa Indonesia. (Foto: koleksi pribadi Tegar Pratama)*
Para siswa SMP membuat zine bersama sebagai media pembelajaran Bahasa Indonesia. (Foto: koleksi pribadi Tegar Pratama)*
Menularkan Kegemaran

Tegar Pratama (26 tahun), orang muda asal Kota Bandung, mengenal zine ketika ia tertarik dengan dunia musik di masa-masa kuliah. Ketika itu di penghujung tahun 2018. Bersama kawan-kawan di himpunan jurusan, ia sempat mencoba-coba membuat dan menerbitkan zine.

“Lagi seneng nyari literatur tentang musik gitu, terus jadi tahu zine. Kemudian, cari tahu sejarah dan tetek-bengeknya,” kataTegar yang saat ini menjadi seorang pengajar.

Tenggelam dalam keingintahuan, Tegar mendatangi zine store ternama di Kota Kembang, Abandon Ink dan disambut langsung oleh sang pendiri, A Age.

“Dia langsung nanya ‘kamu bkin zine ga? Karena emang pernah bikin, besoknya (aku) balik lagi buat ngasihin. Terus ditodonglah buat bikin zine langsung dengan launching-nya di hari yang sama,” ucap Tegar.

Zine juga yang membawa Tegar menjelajahi ruang alternatif di tahun 1990-an dan 2000-an awal. Hampir tiap hari ia nongkrong di Abandon. Beragam zine koleksi sang pemilik dengan lahap dibaca.  

Kegemaran akan zine awet bertahan hingga hari ini. Sebagai pengajar, Tegar pun mengenalkan zine pada komunitas dan juga anak-anak di sekolah. Ia membuat lokakarya dari sekolah ke sekolah di Kota Bandung.

“Kelompok pertama yang saya bikinin workshop tuh di kelompok belajar yang di rumah saya sendiri. Terus ke Cimenyan ke kampung yg di atas. Akhirnya, temen ada yg ngajakin buat bikin zine sebagai media pembelajaran bahasa Indonesia di SMP. Barulah itu pertama kali masuk ke sekolah,” ungkap Tegar.

Tegar mengamini, zine telah membentangkan jejaring yang luas padanya. Kegemaran ini mempertemukannya dengan banyak orang karena tak ada kasta dalam pembuatan zine. Semua bisa membuatnya selagi ia ingin membagikannya.

Zine memungkinkan orang-orang musik bisa ngobrol panjang lebar dengan penjaga toko. Atau ketemu dengan orang kantoran di zine fest. Zine memiliki skenanya sendiri. 

“Zine sarana berteman yang seru dan keren buat saya pribadi. Soalnya bikinnya, formatnya, bisa apa aja dan selalu bisa diobrolin,” ucap Tegar.

Baca Juga: Geliat Zine dari Masa ke Masa dan Relevansinya Hari Ini
Zine, Media Alternatif yang Paling Murah dan Gampang

Sekilas Sejarah Zine

Zine atau fanzine mulanya populer sebagai bagian dari sejarah pers Amerika pada tahun 1930-an. Dalam tulisan Fanzine Riwayatmu Kini yang termuat di Majalah  Matabaca  Volume 3 Nomor 6 Februari 2005, FX Wahyu Nugroho menceritakan bagaimana zine lahir dari para penggemar karya fiksi ilmiah.

“Munculnya fanzine berawal dari terbitan edisi Juni 1926 dari majalah fiksi ilmiah, Amazing Stories. Hugo Gernsback, editor majalah tersebut, melihat keanehan bahwa ada banyak orang yang sangat antusians terhadap fiksi ilmiah, tapi tidak pernah bertemu antara  satu sama lain. Hal tersebut disebabkan pada kolom diskusi yang ia buat, ia tidak pernah mencantumkan alamat dari korespendennya,” tulis Wahyu.

Dari sanalah muncul fandom fiksi ilmiah. Orang-orang mulai berdiskusi serta mengobrol seputar fiksi ilmiah. Menurut Wahyudi, Science Correspondence Club di New York pada tahun 1930 menerbitkan zine The Comet yang “dipandang sebagai fanzine pertama”.

Masa keemasan fanzine fiksi ilmiah di Amerika berlangsung dari tahun 1930-an hingga 1950-an. Pergeseran terjadi pada tahun 1960-an ketika zine berasosiasi dengan pers bawah tanah di kota-kota besar Amerika. Isu yang diangkat mulai dari narkotika, perang Vietnam, hingga beragam aliran musik.

Pada pertengahan tahun 1970, gelombang subkultur punk menghebat. Tak hanya di Amerika, tapi juga Inggris dengan semangat “Do It Yourself”-nya.

”Pada era punk, sebagian besar fanzine membicarakan isu seputar punk, mulai dari wawancara dan profil band punk, resensi album, opini dan artikel punk, sampai liputan konser punk,” tulis Wahyu.  

Begitula zine terus berkembang. Tak hanya menyoal musik, tapi juga membahas isu keseharian, memuat puisi, hingga menyajikan tips makan vegetarian. Zine memuat juga suara-suara alternatif dengan mewadahi percakapan politik dan isu feminisme. Zine semakin melek sosial.

Beberapa judul zine yang menjadi koleksi Raka Irham, yang kini bergiat di Hawar Press. (Foto: Akmal Firmansyah)
Beberapa judul zine yang menjadi koleksi Raka Irham, yang kini bergiat di Hawar Press. (Foto: Akmal Firmansyah)

Zine di Indonesia

Tidak diketahui pasti tahun berapa tepatnya zine masuk ke Indonesia. Yang jelas, media alternatif ini muncul di kota-kota besar pada 1990-an. Yang mengenalkannya adalah skena musik underground: para punkers atau metalheads.

Wahyu Nugroho menyebut dua nama zine yang dianggapnya tertua di Indonesia, yakni Human Waste yang terbit di Yogyakarta pada tahun 1994 dan Brainwashed di Jakarta setahun kemudian. “Keduanya berbicara tentang musik,” tulisnya.  

Pada era tersebut, zine politik juga terbit di Bandung. Namanya, Kontaminasi Kapitalis. Acara-acara musik menjadi lokasi utama penyebaran zine. Juga distro-distro. Zine Tigabelas terbit di Bandung, sementara zine Protection beredar di Jakarta.

Wahyudi meyakini, zine akan selalu relevan sebagai media alternatif yang menawarkan kebebasan berekspresi. Zine sanggup mewadahi suara-suara lain. Ia menawarkan “sebuah tatanan masyarakat yang tidak lagi pasif dan konsumtif, melainkan aktif, kritis, dan dinamis terhadap diri sendiri dan lingkungannya.”

*Baca juga tulisan-tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang zine

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//