Zero Waste: Mengelola Sampah untuk Konservasi Sumber Daya Alam Masa Depan
Zero waste bukan untuk memusnahkan sampah namun upaya nol ekstrasi sumber daya alam. Sukses dipraktikkan warga RW07 Kelurahan Cihaurgeulis dan kampus Unpar Bandung.
Penulis Awla Rajul22 September 2023
BandungBergerak.id – Kebakaran Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat membuat Bandung Raya kembali terpuruk dalam darurat sampah. Sistem jadul pengelolaan sampah harus segera diubah. Pola pengurangan, pemisahan, dan pengelolaan sampah sejak dari sumber menjadi penting dilakukan agar tidak terulang lagi Bandung Lautan Sampah jilid kesekian.
Saat BandungBergerak.id mengunjungi TPA Sarimukti pada Jumat, 15 September 2023, kebakaran masih terjadi. Meski titik kobaran api dan asap sudah mulai berkurang. Pengangkutan sampah pun sudah mulai dilakukan. Pemerintah membuka TPA Darurat di zona perluasan pada bagian Zona 1 untuk menampung kiriman sampah yang menumpuk di TPS-TPS.
“Masih banyak titik api yang belum bisa dipadamkan sampai dengan saat ini,” ungkap Mamat Rohimat (43), Sekretaris Desa Sarimukti saat ditemui di lapangan dekat posko gabungan tanggap bencana kebakaran. “Karena mungkin udah terlalu tebalnya sampah dan terlalu dalamnya api masuk ke dalam sampah.”
Mamat menuturkan bahwa dampak yang paling dirasakan oleh masyarakat adalah ekonomi. Sebab 60 persen warga Desa Sarimukti menggantungkan hidup di sektor sampah dengan perputaran uang tak kurang dari Rp 500 juta per hari. Adapun dampak kesehatan juga dikeluhkan oleh sebagian warga, meski belum ada yang perlu ditangani serius.
Dampak ekonomi yang paling terasa adalah bagi pemulung di Kampung Ciherang, kampung pemulung yang paling dekat dengan TPA Sarimukti. Penduduk kampung ini kebanyakan masyarakat pendatang dari berbagai wilayah, misalnya Sukabumi, Banten, Bogor, dan kawasan lainnya.
Oom Kumalasari, salah satunya. Ketua Pemulung Kampung Ciherang tersebut mengeluhkan tidak bisa lagi mencari nafkah sejak kebakaran terjadi. Adapun TPA Sarimukti dijaga ketat oleh aparat agar tidak ada yang memulung karena alasan keselamatan. Namun, ia mengaku ada saja pemulung yang memaksa sembunyi-sembunyi memulung.
“Tapi kalau urusannya sudah dengan perut, mau bagaimana? Walaupun bahaya tapi kita tetap aja butuh makan. Jadi kalau kita gak berusaha dari sana bagaimana kita bisa makan?” ungkap Oom saat ditemui di sebuah balai tempat warga Kampung Ciherang sering berkumpul.
Danang, Pengurus Kampung Ciherang mengeluhkan bantuan yang tidak sampai ke kampung mereka. Akhirnya ia terpaksa harus meminta-minta dari pihak Kecamatan Cipatat maupun kecamatan lain agar para warga tetap bisa makan dan menyambung hidup.
“Ada sekarung dua karung beras dibagi, ada yang ngasih indomie dibagi,” beber Bebeng, demikian ia kerap disapa ketika ditemui bersama Oom. “Kalau gak ada buat satu liter (per KK), dipaksa ngeliwet di sini, makan-makan bareng di sini. Itulah kepedihan yang dirasakan di sini.”
Bencana kebakaran yang terjadi di TPA Sarimukti sejak Agustus 2023 lalu juga berdampak hingga ke hampir seluruh wilayah Bandung Raya. Ketergantungan pada TPA Sarimukti membuat kelimpungan karena pengangkutan sampah terhenti. Sampah kemudian menumpuk nyaris di semua TPS yang ada di Bandung Raya, terutama di Kota Bandung.
Baca Juga: Pemerintah Provinsi Jawa Barat Harus Membatasi Pengiriman Sampah Organik ke TPA Sarimukti
Pengelolaan Sampah Model TPA Sarimukti sudah Ketinggalan Zaman
Kebakaran yang Menerjang TPA Sarimukti Menjadi Potret Buruk Pengelolaan Sampah Bandung Raya
Kota Bandung Penyumbang Kelebihan Kapasitas TPA Sarimukti
Jauh sebelum kebakaran terjadi, TPA Sarimukti sudah jadi sorotan karena sudah kelebihan kapasitas. Pada Mei 2023, pemerintah provinsi Jawa Barat mengumumkan rencana perluasan TPA Sarimukti, sembari mendesak semua daerah di Bandung Raya mengurangi pengiriman sampahnya dengan mengampanyekan zero waste untuk mendorong warga mengurangi sampah sedari hulu. Belum terlaksana, kebakaran melanda.
Ria Ismaria dari Forum Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS) menyampaikan ada pengendalian yang tidak dijalankan oleh pengelola TPA Sarimukti atas kelebihan sampah yang dikirimkan oleh Kota Bandung. Ia menyebutkan, Kota Bandung merupakan penyumpang sampah terbesar atas kelebihan kapasitas di TPA Sarimukti.
Ria membeberkan 68-73 persen sampah yang masuk ke TPA Sarimukti berasal dari Kota Bandung. Kota Bandung bertanggung jawab dan akan terdampak paling besar dari berhentinya layanan TPA Sarimukti. Selain itu, Kota Bandung mengirimkan sampah melebihi kuota maksimal yang ditetapkan, dibandingkan dengan Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung.
Dari data yang dihimpun Forum BJBS, jumlah sampah yang disepakati untuk Kota Bandung adalah 868.000 ton per hari. Di tahun 2023, sejak Januari hingga Juni Kota Bandung mengirimkan sampah melebihi kapasitas. Pada bulan Mei sebanyak 1.245,58 ton per hari dan bulan Juni meningkat sebanyak 1.339,65 ton per hari.
“Proses pengendalian sampah yang masuk ke TPA mengikuti jumlah yang disepakati sudah sejak lama tidak berjalan, sampah masuk ke TPA Sarimukti terus meningkat tanpa ada pengendalian,” ungkap Ria pada diskusi “Menilik Bandung ‘Masih’ Darurat Sampah” yang diselenggarakan oleh Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) di Udjo Ecoland, Minggu, 17 September 2023.
Ria menyebutkan, tanpa pengurangan yang signifikan dan segera, pengangkutan sampah ke TPA Sarimukti akan terhenti diprediksi paling lambat Januari 2024. Kelebihan kapasitas TPA Sarimukti memang sudah menjadi persoalan sejak sebelum kejadian kebakaran dan perlu adanya langkah perubahan sistem pengelolaan sampah di Kota Bandung maupun Bandung Raya.
Zero Waste Bukan Memusnahkan Sampah
David Sutasurya, Direktur Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) memaparkan jika pertanyaan yang diajukan untuk menyelesaikan persoalan sampah dengan “buang sampah harus di mana” adalah pola pikir jadul. Pola pikir pengelolaan sampah saat ini yang perlu diterapkan adalah mengutamakan isu pembangunan keberlanjutan. Ide utamanya adalah bagaimana anak cucu generasi mendatang masih memiliki sumber daya yang bisa digunakan dan dimanfaatkan. Pola pikir zero waste atau nol sampah pada dasarnya memanfaatkan sumber daya yang ada secara berkelanjutan.
“Yang disebut pengelolaan sampah itu harusnya sudah berubah, yaitu tujuannya adalah pengelolaan sumber daya. Karena semua yang kita pakai ini yang nantinya jadi sampah itu sumbernya dari alam. Kita justru gak mau membuang. Kenapa namanya Zero Waste, kalau kita masih membuang sampah berarti kita telah memboroskan sumber daya alam yang seharusnya untuk anak cucu kita,” terang David pada diskusi yang diselenggarakan AZWI.
Pola penggunaan sumber daya alam dengan take-make-waste harus diubah. Sebab tujuan dari zero waste bukan memusnahkan material, melainkan konservasi sumber daya. Apa yang telah diambil dari alam, tidak boleh terbuang dan kalau bisa tidak mengambil lagi dari alam. Sebab target zero waste adalah menuju nol ekstraksi sumber daya alam, menuju nol pembuangan.
David juga mengutip definisi zero waste dari Zero Waste International Alliance (ZWIA), yaitu konservasi semua sumber daya dengan cara produksi, konsumsi, penggunaan kembali, dan pemulihan semua produk, kemasan, dan bahan yang bertanggung jawab, tanpa membakarnya, dan tanpa pembuangan ke tanah, air atau udara yang mengancam lingkungan atau kesehatan manusia.
Maka dari itu, David menyebutkan pada konsep hierarki zero waste, upaya pengelolaan sampah dengan insinerasi (pembakaran) dan waste to energy (listik menjadi energi) berada di posisi piramida terbalik paling bawah. Artinya ia tidak diterima dan seharusnya tidak dilakukan. Maksimal yang bisa diterima dalam keadaan darurat adalah metode landfill (TPA).
“Kalau di landfill kita bisa lihat sampah kita banyak, sehingga kita bisa kontrol, sadar. Kalau dibakarkan hilang, terus kita nyampah lagi dong,” terang David.
David juga menyinggung, bahwa sebenarnya, tujuan pengelolaan sampah yang melatarbelakangi Undang-undang (UU) Sampah No. 18 tahun 2008 juga sesuai dengan konsep zero waste, yaitu penghematan sumber daya, menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), penghematan energi, dan meminimalkan pencemaran lingkungan.
“Kalau kita melakukan satu langkah pengelolaan sampah dengan yang disebut pengolahan, tapi hasilnya pencemaran tidak sesuai dengan semangat UU 18/2008. Berarti aliran sesat,” tegas David.
Direktur Walhi Jabar, Meiki W. Paendong juga menyebutkan bahwa pengelolaan sampah dengan cara thermal, baik dengan insinerator maupun diolah lalu dijadikan bahan bakar tidak menghilangkan sampah dan menyelesaikan persoalan. Sebab sampah yang dibakar tidak hilang, sebagaimana hukum kekekalan, tapi berubah wujud menjadi abu dan gas.
“Itu yang sebenarnya akan berdampak kepada media lingkungan, makhluk hidup dan kita sendiri,” pungkas Meiki.
Pembakaran apa pun, termasuk sampah akan menghasilkan emisi. Emisi adalah biang kerok yang mempercepat laju krisis iklim. Selain itu, dengan membakar sampah akan menghasilkan timbal, logam berat, merkuri. “Dan yang paling kami khawatirkan itu adalah dioxin dan furan itu,” tambahnya.
Dioxin dan furan berbentuk mikron, apabila terpapar ke lingkungan akan mengancam kehidupan. Beberapa gejala keracunan dioxin adalah perubahan di wajah, sejenis jerawat, gangguan fungsi hati dan imun, fungsi saraf, dan yang kronis adalah menimbulkan kanker.
Penyuluh Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung, Dedy Dharmawan mengaku optimis jika perilaku masyarakat bisa berubah dari pola kumpul-angkut-buang menjadi kumpul-pilah-olah. Ia juga menyebutkan bahwa penjelasan soal zero waste yang disampaikan David harus sampai ke masyarakat, agar persoalan sampah bisa selesai sejak dari sumber.
“Ada teori memilah di sumber, bisa ternyata. Di rumah, lebih kecil. Asal memang di warga itu dikomunikasikan, dikawal, didampingi terus. Tidak mudah memang, tapi bisa,” ungkapnya usai sesi diskusi.
Dedy juga mengaku bahwa DLH siap dengan sarana dan prasaran untuk pemilahan sampah, dimulai di skala RW. Ia juga mengungkapkan, perilaku masyarakat yang membakar sampah pada masa kedaruratan sampah sebagai solusi frustasi.
“Bahasa saya ini mah ya, solusi frustasi itu,” ungkapnya sambil tertawa. “Jadi solusinya mau gak mau solusi frustasi pembakaran. Masih mending kalau pakai insinerator, masih mending pakai tungku, daripada dibakar langsung (secara terbuka). Masih mending ya pada saat ini.”
Ada beberapa contoh pengelolaan sampah yang perlu di replikasi secara luas di Kota Bandung. Misalnya pengelolaan sampah skala desa dapat dilihat dari RW 07 Kelurahan Cihaurgeulis, dan contoh kawasan berpengelola seperti yang dilakukan oleh Kampus Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.
Di RW 07 Cihaurgeulis, setiap rumah diwajibkan memilah sampah sesuai jenisnya yakni organik, anorganik, maupun residu. Jika ada sampah yang masih tercampur, petugas tidak akan mengambil sampah. Sampah organik diambil dari setiap rumah setiap hari Selasa dan Jumat. Sampah organik ini kemudian diolah secara komunal dengan metode pengomposan dan maggot BSF.
“Untuk kebijakan kami menyampaikan kepada warga melalui surat edaran resmi bahwa jika dari rumah tidak dipilih sampah tidak akan diambil. Terus juga terkait administrasi juga tidak akan dibantu, pengurusan KTP, surat keterangan,” ungkap Martin Luther Sekretaris RW 07 Cihaurgeulis, Sabtu, 16 September 2023.
Marthin mengaku semua sampah organik dihabiskan dan diolah di dalam kawasan RW yang memiliki luas sekitar 560 meter persegi dengan jumlah penghuninya sekitar 100 KK. Adapun sampah anorganik dibawa ke Bank Sampah, sisa residu yang berakhir ke TPS. Ia mengaku, dengan luas geografis yang tidak begitu luas membuat pengelolaan sampah tidak terlalu sulit. Ditambah dengan kebijakan aturan yang ketat.
“Sampai saat ini syukur Alhamdulillah ya 99 persen ini warga sudah terbiasa dari 2016 (memilah sampah),” ujar Martin.
Martin mengaku, salah satu kesulitan dari setiap RW adalah pembiasan pemilahan sampah dari rumah. Dan pembiasan inilah yang perlu dilakukan agar persoalan timbulan sampah di Kota Bandung bisa diatasi.
Di kampus Unpar, sampah dari kampus-kampus yang tersebar di Kota Bandung, seluruhnya dibawa dan dikelola di Kampus Unpar Ciumbuleuit. Biro Umum dan Teknik Unpar, Febrina mengaku bahwa Unpar adalah salah satu kampus di Bandung yang sudah melakukan pengelolaan sampah secara terpadu. Sampah dipilah, organik dikelola dan diolah, anorganik disetor ke Bank Sampah, hanya sisa residu yang berakhir ke TPS/TPA.
“Tidak hanya fokus soal sampah. Tapi kini Unpar sudah melebarkan sayap pada persoalan berkelanjutan, budaya jalan kaki, sampah yang dipilah, proses organik, dan lainnya,” demikian ungkap Febriana di ruang pertemuan Gedung Rektorat Unpar, Sabtu, 16 September 2023.
Sampah organik diolah dengan teknologi biopori, biodigester, kompos padat dan cair. Sampah anorganik dipisah sesuai dengan jenisnya, lalu disetorkan ke Bank Sampah Bandung. Kepala Divisi Lingkungan Unpar, Wasito mengaku dari hasil pemilahan sampah anorganik yang disetorkan ke Bank Sampah, Unpar dapat membeli satu triseda dan memiliki sisa simpanan sebesar Rp 27 juta.
“Setelah timbul masalah sampah baru mulai terpikir bagaimana pembayaran sampah, sebab sempat ditawarkan Rp 26 juta per bulannya. Setelah dipikir-pikir uang segitu bisa dipakai untuk biaya pemeliharaan sampah,” cerita Wasito.
Wasito menambahkan, untuk mendukung program pemilahan sampah, mahasiswa Unpar diperintahkan untuk tidak membeli air minum dalam kemasan sekali pakai, melainkan membawa tumbler. Adapun di setiap lantai gedung kampus, sudah disediakan dispenser untuk mengisi ulang air minum. Mahasiswa yang melakukan pemilahan sampah, juga bisa menukarkan minimal lima kilogram sampah dengan tumbler atau goodybag.