RUANG RENUNG #27: Pekik Lembut Estetik tanpa Kritik
Seni bisa menyengat lewat sungut estetik yang menyentak kita dengan rasa kaget dan sekaligus kagum jika sang karya berhasil untuk meraih pancaindra kita.
Mardohar B.B. Simanjuntak
Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.
25 September 2023
BandungBergerak.id – Hari Minggu adalah hari yang biasa-biasa saja bagi para “Sunday painters”, seperti hari Sabtu imajiner bagi mereka – “Saturday photographers”. Bagi para pelukis mingguan ini, sebuah kanvas adalah layar Instagram berbaur dengan cangkir-cangkir teh dan kopi; mereka menggerakkan kuas dengan gosip dan melapis hasil akhir dengan pujian dan tepuk tangan dari “teman sejawat” – yang sehobi dan sehati. Bunga-bunga Haiku, pameran yang berlangsung dari tanggal 1 hingga 11 Juli 2023 yang lalu di Galeri Pusat Kebudayaan, adalah momen Minggu yang merangkul semua yang berakhir pekan di bawah teduhan karya.
Orkestra Mitokondrial dan Bait-Bait Zen
Tempo, kata peneliti belia dari Harvard Maria Costanzo dan Jorge Lorenzo dalam publikasi mereka di bulan Juli 2023, meluruh di dalam tubuh kita bagi kita sebagai satu keutuhan hominin organik. Waktu biologis kita tidak pernah mewaktu di pergelangan tangan, tapi berdetak di sel adalah mitokondria. Tempus selular – waktu yang melekat di sebuah sel – bersifat mengikat, dan detak mitokondrial sifatnya unik bagi masing-masing spesies. Secara karikatural, jika kita bertukar waktu sel dengan seekor kucing, maka kita akan mulai bekerja di umur 4 tahun dan selanjutnya pensiun di umur 15 tahun, saat rambut kita sudah putih beruban dan mata sudah padat dengan katarak; sang kucing, akan bisa mengeong hingga abad ke-21 hampir usai, dan mungkin akan menutup usia di permukaan planet Mars.
Uniknya lagi, ritme temporal yang mengatur tubuh kita adalah gerak enerjik – karena mitokondria adalah lokomotif energi bagi sang sel. Dengan kata lain, waktu yang mengatur kita setara dengan besar tenaga yang bisa dihasilkan oleh operator biologis di dalam badan. Ternyata, untuk bisa bertahan hidup makhluk biologis harus ber-upaya – karena jarum-jarum jam selular punya tenggat kadaluwarsa. Beberapa makhluk biologis yang masuk dalam sub-sub-spesies seniman pun punya tempo yang sama: mereka harus terus menghasilkan karya selama daya mitokondrial kreatif mereka masih bertenaga. Saat baterai daya hidup mereka usai, mereka bisa beristirahat di ruang tunggu seleksi alam.
Tenaga untuk menghasilkan upaya tidak mudah dan dampak ekonominya tidak murah, karena mata uang yang mereka konsumsi adalah waktu. Mereka yang melukis di hari Minggu jauh lebih hemat daripada yang terus menerus menggauli cat dan kanvas dengan rentang buruh – dari jam 8 pagi, istirahat makan siang satu jam, dan selesai di pukul 5 sore, setiap hari, dari Senin hingga Minggu. Detak selular mereka lebih kecil, dan mereka punya cukup tenaga untuk membaca bait-bait haiku yang dirumahi oleh tradisi spiritualitas Zen. Sayangnya, haiku adalah kata-kata super padat, sepadat lubang hitam seukuran sendok makan dengan bobot tata surya. Energi yang berdentang di hari Minggu saja tidak cukup; perlu 365 seperempat hari dalam kalender matahari untuk mengamini baris demi barisnya.
Baca Juga: RUANG RENUNG #24: Bambu-bambu Problematik Schrodinger
RUANG RENUNG #25: Bulir-bulir Layar Embunan Citra Diri
RUANG RENUNG #26: Gugat Samar Garis-garis Cartier-Bressonian
Bioma Artistik dan Diversifikasi Ekosistemik
Seni sudah selalu dibahasakan dengan kosakata ekosistem. Pendekatan biologis ini menghasilkan implikasi yang tidak bisa dinegasi: selalu ada spesies, sub-spesies, dan mungkin “sub-sub-spesies”. Dalam bahasa sehari-hari, selalu ada kucing mungil di rumah-rumah yang bisa menangkap seekor tikus, dan ada singa belantara yang terancam punah karena rusaknya habitat. Selalu ada kucing yang merupakan hasil evolusi dan upaya domestikasi, tetapi juga ada singa yang merupakan sisa dari spesiasi terdekat di masa pleistosen, yang berakhir 110 abad yang lalu.
Pelukis di hari Minggu yang membuat karya dengan canda dan kelakar berulas seruputan kopi susu gula aren, mengambil peran spesies Felis catus yang ada di rumah-rumah yang tenang dan bebas ancaman, dengan makanan tersedia setiap hari di piring-piring imut melanin berwarna-warni; sementara di medan seni, perupa Panthera leo harus sabar dan tangkas menunggu tangkapan, sembari was-was dengan ancaman fluktuasi dan gejolak di setiap sudutnya. Dalam bioma seni rupa, ekosistem bisa bermacam-macam, dan salah duanya dihuni oleh kucing-kucing rumahan yang siap memanja siapa saja yang mendekatinya dan singa-singa alam bebas yang bertarung ketat setiap hari.
Charles Darwin dalam The Origin of Species menengarai bahwa lingkungan akan selalu berubah, dan perubahan menuntut kesiapan-adaptif (“fit-ness”) dari siapa pun yang terlibat di dalamnya. Mereka yang tidak pernah bersiap-siap tidak akan masuk babak lanjutan dan punah, karena mereka tidak cukup luwes untuk memenuhi tuntutan semesta. Felis catus tidak punah karena mereka dengan lincah memangkas kebutuhan kalori per hari, sementara kebutuhan harian Panthera leo menjadi terlalu mahal untuk spesies ini untuk bertahan hidup. Namun demikian, saat analogi ini kita seret ke dunia seni, paradoks pun naik menyembul ke permukaan: naiknya sang kucing menggantikan sang singa pada saat yang bersamaan membunuh daya kritisnya.
Bait-bait Estetik Miskin Kritik
Seni bisa menyengat lewat sungut estetik – yang menyentak kita dengan rasa kaget dan sekaligus kagum – jika sang karya berhasil untuk meraih pancaindra kita. Seni bisa bungkam dan diam, jika kait-kait estetiknya majal dan rapuh. Seni yang menyasar aesthesis – proses pengindraan – sebaliknya bisa tumpul dan kemudian gagal membedah realitas hidup kita, dan terjebak pada luapan sensasional yang menguap seiring detak jarum jam. Pancaindra kita bisa saja terusik, tapi itu tidak berarti analitik. Kritik dan oto-kritik adalah teman hidup Panthera leo, tapi bukan Felis catus. Saat kritik lesap ditelan ritme urban dengan segala ilusi target dan pencapaiannya, maka diversikasi ekosistemik menjadi monoton – dan bioma artistik tenggelam dalam kesunyian pesan. Mitokondria seni diparkir di garasi, seperti mesin balap yang digantung di dalam gudang. Energi penciptaan kemudian usang, dan lalu menguap meninggalkan baterai-baterai mitokondrial kosong..
Bait-bait Haiku yang dipamerkan waktu itu, adalah satu dari sekian pertunjukkan estetik yang sunyi dari kritik sang senimannya sendiri, karena sang perupa dengan topi berburu dan teropongnya sedang berlaga di dalam rumah, mencari kucing rumahan manis yang sedang tertidur melingkar di atas sofa. Karya seni tidak pernah lahir dari acara minum teh di sebuah arisan. Karya seni lahir dari acara minum teh di sebuah arisan di sebuah rumah di kota yang sedang dilanda perang. Karya seni butuh kegelisahan, ketidakpastian, ketakutan, dan semua ketidaknyamanan. Haiku adalah bait-bait padatan semua tegangan perasaan itu. Kita justru membutuhkan haiku, tapi bukan manisan haiku yang disuguhkan dengan secangkir teh ekstra manis.