• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #44: Rintangan Kehadiran Pojok Baca

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #44: Rintangan Kehadiran Pojok Baca

Masih banyak rintangan yang harus dihadapi untuk menghidupkan kegiatan literasi di Pojok Baca Terminal Cicalengka. Terkendala campur tangan dinas-dinas terkait.

Muhammad Luffy

Pegiat di Lingkar Literasi Cicalengka

Ruangan yang dijanjikan sebagai Pojok Baca Cicalengka di Terminal Cicalengka, Kabupaten Bandung. Sejak 7 Mei tahun 2021, ruangan di Terminal Cicalengka akan dijadikan pojok baca, namun terganjal perizinan hingga kini. (Sumber Foto: Muhammad Luffy/pegiat di Lingkar Literasi Cicalengka)

26 September 2023


BandungBergerak.id – Ada yang selalu mengganjal dalam pikiran saya, mengenai kehadiran pojok baca yang belum terealisasi sepenuhnya. Sebagai salah satu orang yang terlibat, saya bersama beberapa orang lainnya dari Lingkar Literasi Cicalengka, memang kurang optimal dalam mengupayakan adanya pojok baca. Hingga sekarang, salah satu ruangan yang terletak di gedung bawah, tepat di sebelah pinggir Terminal Cicalengka, tidak bisa diduduki secara leluasa lantaran belum ada satu pun buku maupun rak yang dipampang sebagai indikasi sebuah perpustakaan.

Meski tak dapat dimungkiri, kini sebetulnya, tempat tersebut sudah bisa kami gunakan untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Seperti pada acara yang berlangsung tiga pekan yang lalu. Bandungbergerak.id berkolaborasi dengan Lingkar Literasi Cicalengka mengadakan kelas menulis dan fotografi di ruangan pojok baca yang masih terlihat kosong. Para peserta yang hadir cukup antusias. Apalagi yang datang bukan saja berasal dari dalam kawasan Cicalengka, ada juga mereka yang datang dari Bandung kota, Nagreg, bahkan rombongan siswa-siswi dari Wanaraja Kabupaten Garut.

Dengan digelarnya acara seperti itu, tentu saja kami merasa sangat senang bahkan mendapat beberapa kawan baru. Tetapi,  jujur saja, kesenangan tersebut mengandung berbagai persoalan terkait militansi. Pada saat kegiatan itu berlangsung, saya melihat hanya segelintir orang dari pegiat Lingkar Literasi Cicalengka turut berkontribusi dalam menghangatkan acara itu. Padahal jika dihitung, ada cukup banyak mereka yang tercatat sebagai anggota, sehingga hal ini patut disayangkan.

Saya mengakui, bahwa persoalan soliditas atau militansi bukan perkara yang hinggap di satu komunitas saja seperti Lingkar Literasi Cicalengka. Sejauh bersentuhan dengan berbagai komunitas lain, saya pun sering mendengar bahwa mereka kerap dilanda kekurangan sumber daya. Dari sekian ratus orang, misalnya, hanya beberapa orang dapat dihitung dengan jari. Itu pun tidak menutup kemungkinan akan terus berkurang.

Pada konteks di Cicalengka, keberadaan forum literasi seperti Lingkar Literasi Cicalengka, sebetulnya bisa disokong oleh komunitas apa pun di luar urusan buku. Namun, seiring dengan konotasi yang berkembang, bahwa Lingkar Literasi Cicalengka hanya cukup melibatkan diri pada setiap aktivitas membaca dan menulis yang kini terfokus di beberapa taman baca yang ada.

Itulah salah satu rintangan yang akan dihadapi jika pojok baca sudah dapat digunakan.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #41: Refleksi Satu Tahun
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #42: Corak Pengembangan Pendidikan di Cicalengka oleh Keturunan Palembang
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #43: Anak dan Masa Depan

Tantangan Pojok Baca

Semula, saya, Nurul, bersama beberapa orang lainnya yang masih aktif di Lingkar Literasi Cicalengka, ingin menjadikan pojok baca bukan sekadar perpustakaan kecil yang dikunjungi masyarakat. Sejauh ini Lingkar Literasi Cicalengka sendiri belum memiliki markas utama, sehingga kami bersepakat agar kelak pojok baca bisa menjadi titik sentral keberlangsungan setiap kegiatan. Tetapi lagi-lagi, persoalan soliditas selalu menjadi kendala dalam kerja-kerja literasi yang telah direncanakan. Termasuk semua kegiatan yang direncanakan di ruangan pojok baca.

Pada waktu bersamaan, kami juga mesti mengikuti arahan dari Dinas Perpustakaan dan Arsip (Dispusip) Kabupaten Bandung, mengingat kehadiran pojok baca ini tidak terlepas dari campur tangan dinas-dinas terkait. Tidak berarti semua kehendak dari Dispusip perlu kami apresiasi. Sebab, dalam urusan lain, kami tidak memiliki tujuan yang sama.

Problemnya adalah, kami masih menunggu Dispusip memberikan sepenuhnya kuasa atas pojok baca kepada kami. Tetapi sampai kini, legalitas pojok baca sendiri masih terbelit soal perizinan dari Dinas Perhubungan Jawa Barat, sehingga ruangan tersebut tampak terbengkalai di tengah pusat hiruk-pikuk Terminal Cicalengka yang kian hari akan semakin tidak keruan.

Rintangan yang sedang kami hadapi ini memang muncul dari arah yang berlainan. Pertama, dari dalam internal Lingkar Literasi Cicalengka. Yang kedua, dari masyarakat dan pemangku kebijakan.

Dari internal Lingkar Literasi Cicalengka sendiri, ihwal soliditas dan tanggung jawab para pegiat ketika melangsungkan suatu kegiatan. Sementara rintangan dari masyarakat dan pemangku kebijakan berkenaan dengan minat dan sokongan. Bila suatu saat pojok baca sudah dijalankan, tidak menjamin ratusan orang akan berkumpul di ruangan kecil itu. Bahkan soal bentuk dan kondisi ruangan pun bagi kami, sebetulnya, tampak kurang representatif.

Menurut keputusan pemerintah terkait, ruangan berukuran sekitar 5x2 meter itu harus dibagi menjadi dua bersama Dinas Pendapatan Daerah. Di ruangan sebelah atas, nantinya akan digunakan sebagai kantor pelayanan Samsat. Maka, kami yang ditugasi mengelola pojok baca hanya diberikan tempat seperempat lebih dari luas tempat yang semula.

Problem utamanya, perpustakaan dengan ruangan kecil seperti itu justru tidak akan bisa menampung ribuan buku dan beberapa rak. Apalagi jika ditambah pengunjung dan pengelola. Tentu ruangan akan terasa sesak karena terlalu sempit. Belum lagi dinding yang dibuat tanpa jendela. Hal ini menjadikan efektivitas perpustakaan yang tidak akan banyak dikenal oleh masyarakat umum, karena tampak kecendrungan bahwa perpustakaan yang kami kelola begitu tertutup.

Bagi saya, dua problem tersebut, yaitu problem internal dan eksternal, merupakan rintangan dalam menjalankan setiap kegiatan literasi. Tentu saja termasuk pada seputar pojok baca. Bila dalam waktu dekat ini pojok baca akan lekas beroperasi, maka, kami juga mesti memikirkan bagaimana cara agar soliditas dari dalam internal Lingkar Literasi Cicalengka bisa terbangun secara kuat.

Tulisan ini tentu bukan untuk menjatuhkan para pegiat Lingkar Literasi Cicalengka. Tetapi lebih semacam otokritik yang entah dapat diterima atau tidak. Yang pasti, saya sendiri selalu merefleksikan kegundahan saya selama saya bergiat di komunitas ini. Terutama dalam melihat gerak kawan-kawan yang kurang bergairah saat akan dioperasikannya ruangan kecil bernama pojok baca itu. Mudah-mudahan dengan adanya tulisan refleksi ini perlahan-lahan dapat memicu kawan-kawan yang lain supaya bisa terlibat lebih jauh dalam semua kegiatan atas nama Lingkar Lingkar Literasi Cicalengka.

Panjang umur literasi Cicalengka!

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//