Skywalk Bandung dan Macan Kertas Tata Ruang Kota
Kelanjutan pembangunan Skywalk di Kota Bandung memerlukan audit publik untuk memastikan kepantasan dan kewajarannya dalam prioritas penggunaan anggaran publik.
Frans Ari Prasetyo
Peneliti independen, pemerhati tata kota
25 Juli 2023
BandungBergerak.id – Pembangunan infrastruktur Skywalk Bandung kembali dilanjutkan ditahun 2023 ini dengan dana publik APBD kota, Rp 23 milyar. Pembangunan Skywalk pertama kali digagas oleh Wali Kota Ridwan Kamil ditahun 2016. Skywalk pertama sepanjang 450 meter membentang di atas Jalan Cihampelas, bertumpuk sejajar horizontal selebar koridor jalan di bawahnya yang ditopang oleh 44 tiang fondasi dengan biaya Rp 48 Milyar.
Namun, pembangunan Skywalk ini tidak termaktub pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung 2011-2031. Begitu pun dalam RTRW perubahannya tahun 2022-2042 tidak tertera jelas. Konstruksi infrastruktur Skywalk juga tidak ditemui dalam RDTR Bandung 2015-2035. Atau yang lebih rinci lagi dalam Peraturan Zonasi dan Rencana Strategis Kecamatan Coblong juga tidak ditemukan. Maka soal, pembangunan kali ini disinyalir mengulang kembali cacat administrasi dan birokrasi tata ruang sebagai sesat pikir pembangunan.
Awalnya, alasan pembangunan Skywalk ini untuk merelokasi 200 PKL yang semrawut di sepanjang Cihampelas. Maka soal biaya mencapai Rp 48 milyar seperti memberikan PKL subsidi atau investasi Rp 250 juta per orang. Lantas bagaimana imbal jasa dan kontribusi yang diberikan oleh ekosistem kawasan ini terhadap rasio pendapatan daerah setelah relokasi setelah Skywalk berdiri? Karena jika demikian PKL di Cicadas yang semrawut itu pun ingin dibuatkan Skywalk termasuk tempat berjualannya dengan gratis. Bahkan semua PKL di seluruh Kota Bandung pun pasti menginginkannya juga.
Kemunculan Skywalk di Kota Bandung juga di klaim sebagai upaya untuk menghilangkan kemacetan di Jalan Cihampelas. Namun kemacetan tetap terjadi. Kemacetan di Jalan Cihampelas justru berkurang sejak adanya rekayasa lalu lintas mengubah arah laju Jalan Cipaganti, bukan karena Skywalk. Selain itu, perihal kemacetan ini tidak pernah ada dasar data resmi dari pemkot Bandung misalnya terkait kapasitas dan struktur jalan, tingkat kepadatan, mobilitas dan momentum tertentu yang menyebabkan pembangunan Skywalk ini menjadi urgensi dan prioritas.
Baca Juga: Hantu Smart City itu, Kereta LRT Bandung
Tentang Rumah Deret yang Vertikal Itu
Mesin Parkir Elektronik di Bandung: Nisan di Kuburan Smart City
Urgensi Skywalk
Skywalk ini merujuk pada Riset Visi Bandung 2030 sebagai sistem elevated walkway yang akan dihubungkan dengan sistem transportasi masa depan seperti LRT/Cable Car. Namun, riset tersebut minim konsultasi, pengujian, dan publikasi di hadapan publik sebagai praktik keterbukaan informasi yang dimandatkan Undang-undang KIP. Walau demikian pembangunan tetap dilaksanakan. Berdasarkan riset tersebut juga konon nantinya akan ada Skywalk yang berada di bawah struktur rel LRT dan melipir pada jalur rel kereta api di Stasiun Bandung bagian Barat dan Timur sehingga warga dapat melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Stasiun Kiaracondong atau ke Stasiun Andir. Hal yang mungkin dilakukan di masa depan namun tidak realistis untuk saat ini, karena pajangan LRT-nya pun telah menghilang.
Hal lainnya bahwa pembangunan Skywalk ini akan membiasakan warga Bandung untuk berbudaya berjalan kaki agar sehat dalam melawan budaya kota modern yang makin egois oleh mobil/motor yang jauh dari manusiawi. Apakah dengan Skywalk, warga Bandung khususnya warga di sekitar Jalan Cihampelas tiba-tiba akan rajin berjalan kaki dan mendadak meninggalkan motor atau mobil, dan menjadi manusiawi?
Berdasarkan kondisi eksisting, kelanjutan pembangunan Skywalk di tahun 2023 ini yang menjadi salah satu alasan utamanya untuk lokasi penghobi permainan remote control dan arena balap drone, selain juga akan dibuat area catwalk fashion show, dan co-working space. Di dunia ini mungkin hanya di Bandung di mana sebuah Skywalk dipakai untuk hal-hal tersebut. Apakah ini cermin dari creative city dan smart city? Karena jika demikian, penghobi balap merpati dan adu layangan pun pasti ingin dibuatkan sarana prasarana hobi berharga milyaran seperti itu.
Seperti dana publik APBD Rp 48 miliar untuk Skywalk sebelumnya, dana Rp 23 milyar lanjutannya ini berasal dari pajak sekitar 2,6 juta warga Kota Bandung. Adakah kepantasan dan kewajaran pembangunan dalam prioritas penggunaan anggaran publik tersebut? Sedangkan di sisi lain misalnya ratusan ribu warga kota Bandung tidak memiliki toilet atau fasilitas sekolah umum tingkat dasar dan sarana kesehatan publik banyak yang tidak memadai.
Planning Gallery
Jika pemkot Kota Bandung ingin mengetahui dan mengerti apa itu Skywalk, berkunjunglah ke Jakarta. Terdapat tiga Skywalk yang secara arsitektural, desain, fungsi kegunaan dan kapasitasnya berlaku selayaknya Skywalk. Seperti Eco Skywalk, Skywalk Senayan Park, dan Skywalk Kebayoran Lama. Jika gengsi meniru kebijakan lokal sesama pemerintah kota, bukankah jajaran pemkot Bandung cukup sering mengadakan perjalanan dinas ke luar negeri seperti belakangan ke Jepang dan Australia, dan pasti ada Skywalk dinegara tersebut yang menghubungkan antara dua gedung, bangunan dan antar shelter transportasi publik juga sebagai jembatan penyebrangan umum. Mengapa tidak mencontohnya?
Kota Bandung, seyogyanya memiliki Planning Gallery, tempat di mana semua proyek pembangunan kota disajikan, didisplai lalu akan diuji publik sebelum dieksekusi. Namun dalam pembangunan Skywalk ini tidak pernah terjadi. Di negara-negara maju, Planning Gallery merupakan wujud nyata dari demokratisasi smart city dalam perencanaan kota, sebagai forum komunikasi, dialog dan negosiasi politik antara warga dan pemerintah dengan dasar hukum tata ruang melalui kepentingan publik yang melekat dalam praktik pelaksanaannya - termasuk hukuman jika ada pelanggaran. Namun hal ini tidak terjadi di Bandung di mana Planning Gallery hanya sebagai simbol klaim good governance itu ada, walau nyatanya sangat lemah otoritasnya sebagai kekuatan perencanaan dan kontrol pembangunan kota apalagi jika melibatkan publik.
Tata ruang Bandung memang tersedia dan hanya sebagai macan kertas administrasi kota yang bertaring galak sebagai legitimasi regulasi penggunaan anggaran publik serta ruang politik transaksional dalam mewarnai suatu kawasan untuk tujuan tertentu, tapi ompong secara implementasinya terhadap kepentingan warga kota dalam upaya menciptakan kota ramah huni, kota pintar yang masa depan berkelanjutan. Tata ruang Bandung secara sengaja telah melemahkan dirinya sendiri secara sistemik-akumulatif tanpa substansi perubahan konkret dalam wujud keinginan politik, keterbukaan, dan demokratis. Padahal tata ruang itu bukan produk kebijakan yang murahan, gampangan dan serampangan.
Dalam pembangunan kota diperlukan terus menerus improvement teknokratis dan kebijakan, upgrading infrastruktur ramah lingkungan, ramah huni, ramah akses serta berkelanjutan dengan evaluasi yang merujuk pada kebijakan, fungsi dan prioritas dari versi sebelumnya harus terus dilakukan. Bukan hanya sekedar melanjutkan, apalagi jika itu ditengarai telah abai terhadap praktik tata kelola pemerintahan yang ditandai dengan tidak adanya transparansi birokrasi-administrasi. Diperlukan kontrol dan audit publik yang transparan dan independen untuk memeriksa pembangunan Skywalk ini.