• Cerita
  • Transportasi Publik di Bandung Jalan di Tempat

Transportasi Publik di Bandung Jalan di Tempat

Kota Bandung sudah berusia lebih dari dua abad. Di mata mahasiswa dan pengamat, sistem transportasi publik Bandung jalan di tempat.

Angkutan kota (angkot) di Terminal Cicaheum, Bandung, 5 September 2022. Sejak tahun 70an angkutan umum di Bandung tidak banyak berubah. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Trystan Ramadhane30 September 2023


BandungBergerak.idTanggal 25 September lalu Kota Bandung baru saja merayakan hari jadinya yang lebih dari dua abad. Di usia tua ini, jumlah penduduk Bandung semakin padat mendekati angka tiga juta jiwa, sementara ketersediaan transportasi publik yang nyaman belum jua terpenuhi. Rencana konversi angkutan kota (Angkot) menjadi mikrobus adalah lagu lama yang membutuhkan perencanaan cerdas.

Pakar transportasi publik Ofyar Z Tamin sudah lama meriset dan menulis tentang transportasi publik di kota-kota besar di Indonesia, termasuk di Bandung. Menurutnya, angkutan umum sering dituduh menjadi penyebab kemacetan. Hal ini disebabkan perencanaan yang tidak "menyeluruh" mencakup semua aspek yang terlibat di dalamnya, seperti pola tata guna tanah, pola jaringan jalan, pola penyebaran penduduk, pola kebutuhan pergerakan, sistem operasi, dan tingkat pelayanan.

Analisis Ofyar yang ditulis di Jurnal PWK 1993 itu tampaknya masih sangat relevan dengan kondisi Kota Bandung sekarang. Dosen dari teknik sipil ITB ini menegaskan, perencanaan sistem operasi pergerakan angkutan umum yang tidak "menyeluruh" akan menambah beban permasalahan kemacetan yang telah ada, seperti tumpang tindihnya rute, armada yang terlalu besar, tingkat pelayanan yang rendah, trayek yang tidak optimal, waktu tempuh yang lama dan lain-lain.

“Hal ini akan menyebabkan semakin rendahnya tingkat efektivitas, efisiensi serta pelayanan angkutan umum yang ada dan semakin menambah tingkat kemacetan,” kata Ofyar, diakses Sabtu, 30 September 2023.

Dengan kata lain, rencana konversi angkot ke mikrobus jika tidak didukung perencanaan yang matang dan menyeluruh maka akan menimbulkan masalah baru dan kemacetan baru. Sekali lagi, kuncinya ada di perencanaan.

Di sisi lain, Ofyar menyatakan kebutuhan transportasi terus berkembang dengan pesat, sedangkan tingkat pertumbuhan dalam penyediaan fasilitas transportasi sangat rendah. Fasilitas atau sarana prasarana transportasi tersebut tak mampu mengikuti perkembangan kebutuhan transportasi.

Sebagai ilustrasi, lanjut Ofyar, pertumbuhan panjang dan luas jalan raya di Kota Bandung antara 1978-1983 berkisar antara 2 persen-4 persen saja. Sedangkan pertumbuhan jumlah kendaraan mencapai 10 persen-13 persen. Terlihat bahwa tingkat pertumbuhan kendaraan hampir dua kali lipat tingkat pertumbuhan panjang dan luas jalan raya.

Akibatnya, kemacetan lalu lintas sering terjadi, keterlambatan, dan juga polusi suara maupun udara. Masalah lalu lintas tersebut sudah jelas menimbulkan kerugian yang sangat besar bagai pemakai jalan terutama dalam hal pemborosan bahan bakar, pemborosan waktu (keterlambatan), dan juga tak ada kenyamanan.

Ironisnya, transportasi umum yang sejatinya disiapkan untuk mengatasi kemacetan lalu lintas justru malah memperburuk situasi. Ofyar mencatat, perencanaan yang kurang cermat membuat kesemrawutan lalu lintas di Kota Bandung 75 persen didominasi angkutan umum.

Bukti dari perencanaan yang tidak cerdas ini adalah tumpang tindihnya jalur angkot dan bis kota. Angkutan bis kota sudah melayani jalan-jalan arteri, sementara rute angkot banyak yang melintasi jaringan jalan yang sama dengan lintasan bis kota.

“Padahal setiap jenis angkutan umum seharusnya mempunyai fungsi sendiri-sendiri dan beroperasi di wilayah yang sesuai dengan ketentuan peruntukannya,” kata Ofyar.

Angkot di Mata Mahasiswa

Bandung memiliki banyak pakar teknik sipil dengan gagasan-gagasannya yang bisa diterapkan untuk mengatasi masalah transportasi. Sungguh keterlaluan jika gagasan-gagasan tersebut tidak dipakai dalam perencanaan tata kota Bandung, termasuk pada konversi angkot ke mikrobus.

Konversi angkot ke mikrobus sendiri mendapat tanggapan yang beragam dari warga Bandung atau mereka yang pernah tinggal di Bandung. Krisna Danuaji, mahasiswa yang pernah menggunakan angkot di Bandung merasa konversi tersebut dapat mengatasi permasalahan lalu lintas yang ada.

“Menurut saya hal tersebut sangat bagus, karena dapat meniru JakLingko seperti yang sudah dijalankan di Jakarta,” ucap mahasiswa yang kini berdomisili di Yogyakarta ini, kepada BandungBergerak.id, awal September 2023.

Selama menggunakan angkot di Bandung tidak memberikan banyak kesan positif pada Krisna Danuaji. Ia mengalami kebiasaan klasik angkot, mulai dari ngetem di sembarang tempat, rute yang tidak jelas, dan tarif yang tidak konsisten.

“Dengan adanya wacana konversi Angkot ke mikrobus, saya mendukung. Namun perlu diupayakan melalui regulasi yang ketat dan jelas dari Pemkot Bandung,” katanya.

Berbeda dengan Krisna, Ananda Bintang merupakan representasi dari salah satu anak muda yang jarang menggunakan angkot di Bandung. Baginya fasilitas angkot tidak layak. Ia lebih memilih menggunakan transportasi pribadi ketimbang menjadikan angkot sebagai moda transportasi utamanya.

Namun jika sistem transportasi di Bandung sudah tertata seperti di Jakarta, Bintang mengaku siap menggunakan transportasi publik dan meninggalkan kendaraan pribadinya.

“Seandainya saya warga Jakarta, transportasi umum akan saya gunakan karena ketersediaan armada yang jelas dan lebih teratur ketimbang di Bandung,” ucap mahasiswa Universitas Padjadjaran ini.

Sebagai mahasiswa yang sehari-hari membutuhkan sarana transportasi, ia mencontohkan bagaimana sulitnya mencari transportasi umum yang jelas dan nyaman dari rumah ke kampus. Bukan saja angkot, bis kota yang beroperasi di Bandung juga sama tak jelasnya.

“Akses DAMRI yang ada saja hanya ada di Dipatiukur. Sedangkan rumah saya di Antapani,” keluh Bintang. Ketidakjelasan sistem transportasi publik itulah yang akhirnya mendorong Bintang memilih kendaraan pribadi.

Bintang mendukung konversi angkot ke mikrobus karena ia merasa transformasi tersebut diperlukan. Pembenahan transportasi publik merupakan hal mendasar dan mendesak di Bandung. “Asalkan tidak hanya sekadar wacana saja, melainkan benar-benar ada bentuk fisiknya, bukan rencana lalu tidak dilanjutkan secara serius,” ucapnya.

Alasan berbeda diungkapkan Maulana Rachman Al Fatah, mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung. Sebagai seorang mahasiswa yang berasal dari luar Bandung, ia menyambut positif rencana konversi angkot ke mikrobus.

“Saya merasa wacana tersebut dapat terlaksana, walaupun saya sendiri bukan seorang pengguna moda transportasi Angkot,” ucap Maulana.

Menurutnya, sebenarnya ketersediaan angkot di Kota Bandung cukup memadai. “Realitanya, saya bisa hanya berdiri di pinggir jalan raya pasti ada angkot yang lewat,” ungkapnya.

Masalahnya, angkot-angkot atau transportasi publik umumnya di Kota Bandung harus dibenahi. Ia mengaku siap menggunakan transportasi publik yang sudah dibenahi. “Seandainya saya harus menggunakan angkot sebagai moda transportasi, saya tidak keberatan sama sekali,” katanya.

Baca Juga: DULU DIUNGGULKAN, SEKARANG DITINGGALKAN: Mati Suri Teras Cihampelas
DULU DIUNGGULKAN SEKARANG DITINGGALKAN: Jalan Buntu Angkot Bandung
DULU DIUNGGULKAN, SEKARANG DITINGGALKAN: Lagu Murung Proyek Mangkrak Mesin Parkir Elektronik Bandung

Ganti Kepala Daerah Ganti Kebijakan

Di usianya yang sudah dua abad lebih, Bandung memang membutuhkan transportasi publik yang memadai. Pemkot Bandung diminta agar serius menyiapkan rencana konversi angkot ke mikrobus ini.

“Kalau berbicara tentang konversi angkot ke mikrobus, harus ada perhatian serius Pemkot bila wacana ini akan dijalankan” ungkap Muhammad Zulyandri, Co-Founder dari komunitas Transport for Bandung.

Muhammad Zulyandri menekankan perencanaan yang matang menjadi syarat utama konversi ini. Berdasarkan informasi yang didapat Transport for Bandung, akan ada 75 angkot yang dikonversikan menjadi mikrobus. Sedangkan jumlah armada angkot yang tersedia saat ini berada di angka kisaran 2.000 unit.

Ia juga menyoroti bagaimana pergantian kepala daerah kerap menjadi penghambat pelaksanaan program. “Jika program ini berhenti saat pergantian kepada daerah, saya khawatir adanya kendala dalam pelaksanaan konversi angkot ke mikrobus ini. Pembenahan transportasi umum tidak bisa sekali jadi, harus berkelanjutan agar pogram itu dapat berjalan dengan baik,” ucap Zulyandri.

Ia juga merasa sistem setoran yang ada haruslah melalui pembaruan. Seperti yang diketahui bahwa angkot di Bandung pada saat ini dibawah swasta, sehingga sistem setoran yang berjalan tidaklah sesuai dengan standar dari pemerintah. Sopir angkot, menurutnya harus diberikan gaji dan tunjangan yang memadai.

“Jangan sampai sopir merasa dirugikan oleh sistem baru,” jelas Zulyandri.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Trystan Ramadhane, atau membaca artikel-artikel menarik lain tentang Transportasi Publik atau Angkot Bandung 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//