• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Menyoal Isu Lingkungan, dari Propaganda Politik hingga Kesadaran Anak Muda

MAHASISWA BERSUARA: Menyoal Isu Lingkungan, dari Propaganda Politik hingga Kesadaran Anak Muda

Calon presiden di Indonesia tidak pernah menjadikan isu lingkungan sebagai isu yang penting dalam kampanye pemilu.

Fauqi Muhtaromun Nazwan

Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Aksi pelestarian lingkungan di hutan kota yang tersisa, Kampung Cibarani, Bandung, 15 September 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

5 Oktober 2023


BandungBergerak.id – Walaupun belum genap memasuki tahun politik, kehadiran aktor-aktor politik sudah memasuki bursa Pemilu 2024. Salah satunya ialah para bakal calon presiden yang sesaat sudah menunjukkan taring dalam kontestasi pemilihan presiden (Pilpres). Dari berbagai macam partai masing-masing mengusung tokohnya tersendiri, bakal calon yang saat ini kita ketahui ialah Prabowo Subianto, Anies Baswesdan, dan Ganjar Pranowo.

Turut meramaikan Pilpres di Indonesia, ketiganya kemudian di undang untuk sekedar menyampaikan gagasan lewat sebuah acara yang berlokasi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Acara yang di gelar oleh jurnalis Najwa Shihab beserta tim Mata Najwa menarik banyak perhatian masyarakat tentunya. Bagi saya sendiri, hal menarik lainnya ialah persoalan lingkungan yang masuk dalam kategori permasalahan yang harus dibenahi di Indonesia oleh ketiga bakal calon presiden ini.

Rasanya sudah menjadi persoalan umum mengenai isu lingkungan, baik krisis iklim, lahan, dan sebagainya, ya, walaupun tidak dibarengi dengan kesadaran kolektif dalam mengantisipasinya. Yang jelas masuknya lingkungan hidup dalam kategorisasi di acara tersebut menambah kesadaran bagi yang lainnya. Sebab dalam Pilpres 2019, isu lingkungan tidak pernah disinggung sama sekali, melalui gagasan-gagasan yang disampaikan para calon saat itu.

Mendapat perhatian khusus, pun tahun ini lewat para pemilih baru menghiasi pesta demokrasi yang digelar lima tahun sekali, di mana generasi-generasi baru (Gen Z) mendapatkan kesempatan pertama untuk ikut mencoblos di 2024 mendatang. Ini menandakan peserta pencoblosan banyak diisi oleh kawula muda, dan perlunya mereka memahami gagasan-gagasan yang disampaikan oleh kontestan politik juga patut dipertimbangkan.

Pemilih kaum muda saat ini perlu dicermati akan keterlibatan mereka dalam beberapa aktivitas yang bertujuan mengangkat isu-isu krusial yang sedang dialami masyarakat. Sebut saja, ekonomi, kebebasan berekspresi, korupsi, juga isu lingkungan hidup. Menurut conversation.idn sekitar 38% partisipasi kaum muda dalam menyampaikan aspirasi mereka banyak melalui tindakan protes, aksi, dan demonstrasi. Jumlahnya sebanyak 134 berita yang dihimpun dari berbagai macam media.

Di Jawa Barat sendiri salah satu aksi protes mengenai lingkungan hidup juga pernah digelar oleh Sahabat Walhi Jawa Barat. Beragam cara dilakukan mulai dari nobar mengenai lingkungan hidup, aksi di depan Gedung Sate, hingga aksi santai saat car free day di Bandung. Walaupun belum secara masif dilakukan, munculnya naluri bertahan akan ketidakpastian iklim sudah mulai tumbuh di kaum muda.

Baca Juga: Pembangunan Infrastruktur di Jawa Barat tidak boleh Menafikan Lingkungan
Pemilu 2024 dan Realitas Politik Anak Muda
MAHASISWA BERSUARA: Peraturan tentang Lingkungan Hidup Kurang Taji dalam Mengatasi Pengelolaan Sampah di Indonesia

Menyoal Lingkungan bagi Kaum Muda

Walaupun gelaran pesta demokrasi sudah terlihat hilalnya, kaum muda sebagai partisipan terbesar dalam pemilihan tahun ini. Bentuk partisipasi lewat kertas suara, juga semestinya diimbangi pengetahuan, baik tentang para calon, gagasan yang ia bawa, juga persoalan negara hingga isu-isu marjinal. Tahun ini bumi memasuki puncak pemanasan suhu tertinggi, walaupun dengan segala tindakan pencegahannya.

Seperti yang disinggung oleh Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-bangsa, Antonio Gutteres saat konferensi pers KTT ke-43 ASEAN di Jakarta kala itu. ”Planet kita memasuki musim panas yang mencapai rekor, seluruh pemimpin harus bertindak,” ucapnya.

Memang pertemuan internasional sering diadakan dalam membahas permasalahan bersama termasuk soal iklim. Akan tetapi komitmen negara-negara yang terlibat, entah negara Annex 1, non Annex 1 sejak Protokol Kyoto 1997 tidak konsisten.

Tak ingin membawanya terlalu jauh untuk membahas dampaknya skala internasional, bagi kamu warga Bandung istilah gak gelembung gak Bandung mulai tidak berlaku. Pasalnya matahari memancarkan pesonanya lebih dari perkiraan di siang hari, sekedar membeli mi instan di warung terdekat pun rasanya enggan. Apalagi urbanisasi di kota Bandung sesuai dengan data yang dilansir Bandungbergerak.id mencapai 4.200 orang dalam kurun waktu dua tahun terakhir.

Kota ini membawa banyak perantau untuk datang, entah menempuh pendidikan, pekerjaan, hingga melanjutkan umur yang sudah overload di tengah suasana yang sejuk. Titik kesadaran yang dilakukan berbentuk demonstrasi, kaum muda yang jelas harus bertindak. Jenjang kehidupan masih memiliki jangka panjang akan sia-sia bila tempat yang seharusnya kita diami menjadi tidak layak.

Lingkungan yang buruk akan mempengaruhi kehidupan kaum muda. Satu, dua, derajat itu bukan sekedar angka, ketidakstabilan dalam suhu jelas mempengaruhi kita semua. Mungkin bagi kamu saat ini persoalan iklim hanya “sekadar persoalan” belaka. Entah karena kita amat pandai mengubah berita buruk menjadi ”normal”, lima hingga sepuluh tahun yang akan datang tindakan yang tidak diberikan memperburuk semua keadaan dari segala sektor.

Barangkali satu pernyataan yang diberikan oleh David Wallace dalam buku The Uninhabitable Earth, “Jika planet ini dibawa ke ambang bencana iklim dalam satu generasi, tanggung jawab yang diemban untuk mencegahnya juga ada pada satu generasi. Dan saat ini generasi itu adalah kita.”

Omong kosong untuk segala seremonial yang menyatakan Indonesia akan mendapatkan bonus demografi di tahun 2045 dengan sebutan “Indonesia Generasi Emas” tanpa tindakan untuk lingkungan kita.

Melirik Propaganda Isu Lingkungan pada Perpolitikan Indonesia

Dalam kurun waktu dua periode Pilpres di Indonesia masalah lingkungan rasanya bukanlah isu seksi yang patut dibicarakan. Entah memang tidak laku, enggan untuk dibahas, atau mengganggu usaha para oligarki di belakangnya. Yang jelas propaganda yang dibawa sama sekali tidak menyinggung tentang perbaikan lingkungan dan komponen yang berada di dalamnya.

Pentingnya menjaga elektabilitas bagi aktor politik sepertinya banyak membaca medan pertempuran untuk memuncaki kemenangan isu lingkungan tidak perlu masuk dalam agenda propaganda mereka. Baru untuk tahun ini, posisi salah satu bakal calon presiden Ganjar Pranowo sempat mengalami penurunan bahkan minim kepercayaan akan adanya kasus yang ia bawahi saat dirinya masih menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah.

Pasti pembaca mudah menebaknya, konflik di desa Wadas. Konflik Wadas mementingkan kegiatan perekonomian dengan melakukan tindakan represif terhadap warga. Secara gamblang memberikan gambaran pentingnya kegiatan ekonomi hingga melupakan masyarakat apalagi lingkungan yang mungkin dianggap sebagai ekosistem tidak bernyawa. Demikian catatan merah bagi Ganjar dalam menangani kasus demikian bagi para pemilih.

Belum lagi persoalan polusi udara di Jakarta yang sempat menggugat bakal calon presiden Anies Baswedan hingga Presiden Joko Widodo atau Jokowi sempat ramai di media sosial. Tak ketinggalan untuk veteran militer (juga Pilpres) Prabowo Subianto menggaungkan program food estate yang dikritisi banyak pakar lingkungan dengan dalih ketahanan pangan sebagai prioritas utama bagi masyarakat Indonesia.

Mereka (bakal calon presiden) ini memiliki rapor merah bagi lingkungan, apakah itu yang membuat mereka tidak memainkan propaganda di isu lingkungan? Jelas tidak! Dilansir voaindonesia.com, Program Manager Natural Resource and Economic Governance, Transparency International Indonesia, Ferdian Yazid menyebutkan masalah lingkungan di masa kampanye tidak luput dari pendanaan yang bersinggungan dengan bisnis ekstraksi sumber daya alam.

Sejarawan sains Amerika, Naomi Oreskes menyinggung prediksi-prediksi yang dilakukan oleh negara-negara dunia. Baginya kita sangat percaya akan model kebijakan yang dibuat seolah-olah ketepatannya mencapai seratus persen penuh. Tindakan preventif tersebut dianggap sebagai sikap pembelaan negara-negara maju untuk terus melanjutkan industrialisasi yang satu sisi juga menyumbang emisi gas rumah kaca yang banyak bagi bumi.

Walaupun kampanye politisi di Indonesia belum menyinggung soal lingkungan nyatanya di Jerman propaganda ini berhasil digunakan. Dilansir dari dw.com, lebih dari 18% pemilih berusia antara 16 sampai 24 tahun memilih Partai Hijau lewat topik dan fokus kampanye mereka. Juga perlu diingat, ketika Donald Trump mencalonkan diri sebagai Presiden Amerika di tahun 2017 ia membawa isu pemanasan global untuk menyerang lawan politiknya.

Propaganda isu lingkungan di Indonesia memang belum masif dilakukan. Namun tak ada yang lebih penting dari keberadaan lingkungan itu sendiri sebagai ekosistem yang harus kita jaga. Ekspektasi akan bertebarannya propaganda melalui fokus di permasalahan lingkungan setidaknya bisa menjamah masyarakat lebih luas lagi, apalagi persoalan lingkungan, konflik agraria, kebakaran hutan, deforestasi juga pernah mendapatkan posisi sentral bagi masyarakat, kaum muda khususnya.

Dalam kacamata untuk menarik suara, isu lingkungan memang bukan kunci kemenangan. Tetapi persoalan lingkungan jangan dianggap sebagai untung-rugi pasar. Di sini ilmu ekonomi tidak digunakan sebagai panduan kita hidup sejahtera, sebab kegiatan perekonomian akan selalu beriringan dengan kerusakan lingkungan secara signifikan dari tindakan agresif yang kita lakukan untuk lingkungan dan bagi orang-orang dengan sedikit kesiapan hanya akan hidup dalam fatalisme iklim yang seolah-olah terbalut oleh optimisme personal.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//