CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #45: Hilang Acuan
Untuk memahami dan mengambil pelajaran dari paribasa Sunda, diperlukan benda fisik dan kebudayaannya. Kini benda fisik yang jadi acuan hilang karena zaman berubah.
Noor Shalihah
Mahasiswa, bergiat di RBM Kali Atas
7 Oktober 2023
BandungBergerak.id – Setiba di stasiun, saya melewati gerbang pemindai tiket, dan mulai berjalan memasuki gerbong kereta bergerak menuju gerbong bagian depan. Biasanya, di sana masih terdapat kursi kosong. Seorang pria memakai topi dan berjaket hitam, sepertinya cukup kukenali. Kang Atep Kurnia, penulis sekaligus pembina Lingkar Literasi Cicalengka. Saya memutuskan untuk bergabung.
Kurang lebih perjalanan kereta Cicalengka-Bandung memakan waktu 50-60 menit. Banyak yang bisa dilakukan dalam rentang waktu itu. Sebagian penumpang asyik dengan gawainya sendiri, beberapa sudah janjian dengan temannya dan kemudian membuka obrolan, sebagian menjadikannya waktu beristirahat, mengejar tenggat waktu penyerahan tugas, serta tentu saja bisa belajar dan mengamati perkembangan pembangunan di balik jendela kereta.
Sebab sudah bergabung dengan Kakak Pembina kami di Lingkar Literasi Cicalengka, sayang jika dilewatkan begitu saja. Dalam pertemuan di kereta kali ini, Kang Atep membahas mengenai bahasa, babasan, dan acuannya. Kaitannya dengan literasi, mengajarkan babasan dan paribasa Basa Sunda kepada generasi selanjutnya akan kesulitan. Seiring dengan menghilangnya beberapa acuan dalam babasan dan paribasa Sunda.
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #42: Corak Pengembangan Pendidikan di Cicalengka oleh Keturunan Palembang
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #43: Anak dan Masa Depan
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #44: Rintangan Kehadiran Pojok Baca
Beberapa Contoh Paribasa yang Mulai Kehilangan Acuan
Kang Atep mulai memberikan contoh-contoh tentang beberapa istilah yang mulai kehilangan benda aslinya di alam. Baik secara alami maupun segi kebudayaan.
“Moro julang, ngaleupaskeun peusing”.
Peusing artinya trenggiling. Ibaratnya Trenggiling sudah ditangan dan ditangkap. Tapi ia tetap mencari Julang, yang keberadaannya belum pasti. Akhirnya trenggilingnya lepas, tapi mengejar yang tidak pasti.
Kang Atep menambahkan contoh lain, seperti paribasa “Cul dog-dog tinggal igel”. Dog-dog adalah alat musik kesenian. Harusnya dia menabuh dogdog. Tapi malah igel (joged). Dalam artian, dia meninggalkan pekerjaan yang seharusnya dilakukan dengan melakukan pekerjaan lain.
Untuk bisa dipahami dan diambil pelajarannya, perlu ada benda fisik dan kebudayaannya. Hal-hal itulah yang menjadi acuan paribasa tapi malah hilang karena zaman yang berubah. Pertanyaan dari Kang Atep, apakah paribasa atau babasan tersebut masih relevan?
Meskipun manusia hidup atas pemaknaan atas sesuatu, hal itu membuat saya berpikir, memang keberadaan contoh fisik itu perlu. Tidak hanya sebatas cerita. Sehingga, dengan adanya realitas fisik tersebut memberikan gambaran atas sesuatu yang dibuat tersebut. Pertanyaan Kang Atep ini, memantik saya menuju materi-materi kuliah di masa lampau terkait dengan alam dan acuan hidup.
Lelaki yang sedang menekuni sejarah lokal ini, menjelaskan bahwa budaya itu terbentuk dari kondisi alam yang mengitarinya. Termasuk peribahasa yang muncul di sebuah daerah tentu akan berbeda dengan daerah lainnya.
Kali ini, ia mencontohkan bahwa ada peribahasa “Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui”. Tentu saja, di luar negeri tidak akan ditemukan peribahasa yang sejenis. Atau apabila diterjemahkan pun tidak akan memiliki makna yang sama. Tetapi, hal itu setidaknya terdapat semacam idiom yang hampir sama yaitu kill two bird with one stone.
Kehilangan Pesona Alam
Jika mengamati di balik kaca kereta, lahan-lahan persawahan mulai berkurang dan berganti dengan bangunan lain seperti pabrik, perumahan. Pembangunan, katanya. Atas nama pembangunan, semuanya dilakukan. Sepertinya mereka lupa, bahwa manusia juga butuh makan, di mana makanan hanya bisa diperoleh dari alam.
Menyambung dari hilangnya acuan alam untuk mengenalkan beberapa pelajaran yang bersuaian dengan budaya, pikiran saya merasa tersambungkan dengan seiring dengan salah satu ciri sekularisme yang disebutkan oleh Harvey Cox, yaitu hilangnya pesona alam. Bukan hanya budaya, tapi alam pun sudah kehilangan pesona.
Pesona alam pun menjadi berbeda tergantung dari bagaimana caranya memandang dunia. Dalam kebudayaan barat yang telah tersekularkan, alam sudah tidak lagi memesona. Ia dipandang sebagai komoditas yang perlu dikeruk dan ditaklukkan untuk keberlangsungan manusia. Ia dipandang seperti arloji yang memang seperti itu bentuknya dari alam.
Fenomena ini mengingatkan saya dengan wawancara Hamid Hasan, ketua Pengembang Kurikulum 2013, ada kecenderungan Barat menaklukkan alam. Sedangkan jika kita berpegang kepada Timur, kita memiliki pandangan kita harus selaras dengan alam. Dua pandangan inilah yang akan menjadi sudut pandang bagaimana realitas itu dibangun dalam benak peserta didik. Pandangan Barat inilah yang akan bergerak jika pesona alam sudah lagi tidak diperhitungkan.
Andika Saputra, seorang dosen arsitektur pun memiliki pandangan yang serupa. Teknologi menjadikan semuanya menjadi artifisial namun menghilangkan satu bentuk yang aslinya. Imbas teknologi merasuk ke dalam seluruh aspek kehidupan. Sayangnya, kemampuan manusia beradaptasi dengan teknologi kalah cepat dengan perkembangan teknologi itu sendiri, kurang lebih itulah pernyataan dari Thomas Friedman dalam bukunya Thanks for being Late.
Sebab alam sudah didemistifikasi dan sudah kehilangan pesona, menjadikan manusia kehilangan acuan, kehilangan habitat. Di mana habitat ini sebetulnya bisa menjadi sarana belajar dan meningkatkan aspek spiritualitas dan kejiwaannya sebagai bagian dari semesta.
Menurut Atep Kurnia, babasan atau paribasa setempat bisa dijadikan sebuah pelajaran apabila ada dalam bentuk fisiknya. Generasi sekarang tidak memiliki acuan karena memang budaya tersebut sudah hilang.
Senada dengan apa yang disampaikan. Hilang alam, hilang juga sarana untuk mengenali Tuhan. Sebab, dalam alam yang artifisial, ia tak bisa menyampaikan ayat-ayat dari Tuhan. Bahkan di saat yang bersamaan, orang-orang menghancurkan alam, tapi membuat alam-alam buatan yang sepertinya bagus untuk dijadikan objek visual belaka.
Sepanjang perjalanan Cicalengka - Bandung, sudah mulai tampak pembangunan yang meminggirkan alam. Itulah yang menjadi renungan secara bersamaan. Kiranya nanti apakah generasi selanjutnya masih menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan?.
Berkereta itu memang unik. Sering kali saya mendapat obrolan tidak terduga bersama para penumpang kereta yang mengobrol. Atau mendapatkan titik balik dari berbagai macam obrolan. Kereta sudah sampai di Stasiun Cikudapateuh. Saatnya kami meneruskan perjalanan masing-masing.
* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka