RUANG RENUNG #28: Simfoni Keenam Beethoven Tukang-tukang Piknik Profesional
Pameran bertajuk Silence before the Storm adalah sebuah gelaran kelompok Flemish Bandung. Dimotori oleh R.E. Hartanto yang memandu 12 perupa keluar dari zona nyaman.
Mardohar B.B. Simanjuntak
Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.
10 Oktober 2023
BandungBergerak.id – Ludwig van Beethoven paling gemar jalan-jalan di alam bebas untuk mengimbangi kerja komposisi dan kepenatan Kota Wina. Simfoni ke-6 lahir dari penghargaan atas desir angin, gerak mengalun aliran sungai dan kicauan burung yang menghiasi musim semi di dekade pertama abad ke-19. Beethoven bekerja dan tua di saat Immanuel Kant merampungkan ketiga karya seminalnya yang memuncak di Critique of Judgment. Keduanya pecandu kebebasan alam, dan naturalisme mereka menjadi tema sentral dalam karya-karya yang mereka gulirkan. Namun ada satu sisipan yang mungkin kita abaikan dari gerak keempat – allegro – dari sang maestro: badai yang mengintip dari tepian awan.
Silence before the Storm, yang dikuratori oleh Asmujo J. Irianto, adalah sebuah gelaran kelompok Flemish Bandung – mereka yang dengan rela dan bangga menyiksa diri dengan keruwetan teknik melukis, yang dimulai dari imprimatura dan berakhir dengan rasa frustasi yang menghasilkan kepuasan masokistik yang menuntut ketersiksaan selanjutnya. Pameran ini berlangsung di Galeri Pusat Kebudayaan dari tanggal 4 hingga 23 Agustus 2023 lalu. Geng Flemish ini dimotori oleh R.E. Hartanto, yang sekaligus memandu 12 perupa lainnya untuk keluar dari zona nyaman untuk mendapat kepuasan rasa sakit dalam ceruk tantangan yang lebih sulit.
Baca Juga: RUANG RENUNG #25: Bulir-bulir Layar Embunan Citra Diri
RUANG RENUNG #26: Gugat Samar Garis-garis Cartier-Bressonian
RUANG RENUNG #27: Pekik Lembut Estetik tanpa Kritik
Kant dan Pedestal tanpa Bantah
Otoritas pra-kantian sudah selalu jelas apalagi tegas. Monarki ragawi di tangan raja-raja, dan monarki-transendental di tangan para clerus sudah tidak perlu dipersoalkan lagi – setidaknya hingga saat kekuasaan beralih ke tangan borjuasi. Aura kepemimpinan di tangan industrialis baru yang tidak pernah punya sejarah memerintah turun-temurun ini membuat rasa nyaman rakyat tidak menentu. Kant kemudian mencoba untuk memberikan sandaran cratia – tatanan, dengan cara mengurutkannya dari awal. Manusia pertama-tama fakultatif, kata Kant. Dalam bahasa Aristotelian, hominin Homo sapiens punya kat?goriai – yang mempredikasi hypokeimenon – predikat yang menjelaskan subjek.
Namun tentang perkara baik dan buruk, manusia punya sang suara hati yang siap memberi pertimbangan – bahkan saat religio belum menjadi faktor penentu, seperti dalam masyarakat awal – first societies. Rutger Bregman, seorang pemikir yang berbicara tentang rentang universal kemanusiaan, mengatakan bahwa manusia yang kejam sudah pasti punah; syarat untuk tetap bertahan hingga tahun 2023 ini adalah menjadi manusia yang ramah dan baik bagi sesamanya: humankind adalah “human kind”.
Setelah logis dan baik, kemanusiaan tidak akan lengkap tanpa otoritas dari luar, yang bekerja secara universal. Bagi Kant, manusia sudah selalu hidup dalam tatanan kosmik yang memiliki tujuan besar – sebuah garis akhir teleologis yang menjadi tugas bersama kita semua. Otoritas itu, menariknya, bagi Kant adalah keindahan. Kant terpesona oleh elegannya tarian kosmos, dan manusia tidak bisa menyangkalnya. Ada pedestal natural yang selalu menjadi titik kembali manusia saat ia mengalami kelelahan kultural. Tangan-tangan semesta akan siap untuk merangkul – enrapturing – kita semua dalam kebahagiaan yang takjub, enrapturement. Pedestal karya artistik yang sejalan dengan tarian semesta adalah bagian dari kesemestaan itu sendiri.
Simfoni keenam menyimpan dua gerak, yang keduanya allegro, keduanya menggambarkan kemanusiaan, namun keduanya bergerak bertolak belakang. Di allegro yang pertama Beethoven merekam dengan kuas-kuas tonalnya kebahagiaan lepas tawa tanpa pasung beban khas kehidupan pedesaan. Di yang kedua, kebahagiaan jujur itu sirna, ancaman perang di depan mata, dan Beethoven mengguratkannya dengan pisau-pisau palet berbagai bebunyian yang hampir masuk ke wilayah kakofonik, sebuah wilayah liminal antara yang tatanan dan kekacauan; badai dengan gemuruh petir dan sambaran kilat siap menantang – merangsek masuk ke dalam celah kedamaian dan mencerabut benih-benih harapan dengan kasar.
Hartanto, yang membawa bendera pameran kali ini persis masuk dengan dua bilah allegro yang digambarkan Beethoven. Di “dunia atas” ia menyiapkan langitnya dengan gerak gradual 2,5% gradasi langit yang ia bagi ke dalam 41 langkah. Hukum-hukum langit adalah keselarasan yang matematis – demikian seolah-olah Tanto ingin berpesan. Tepat di “dunia bawah” Tanto mengambil disposisi Janusian, wajah yang persis berbeda dari kepala yang sama. Lapisan-lapisan yang biasa ia tekuni dengan tetesan waktu mendadak terjeda secara paksa; Tanto memilih untuk berhenti secara dramatis dan “dunia bawah glasial” ini adalah antitesis dari keteraturan dan keselarasan kosmik. Bila lapisan atas “terlalu selesai”, maka lapisan bawahnya “jauh dari selesai”. Bila Tanto biasanya tertib hingga ke velatura sebelum mengabadikannya sebagai piksel-piksel terfiksasi, sekarang di paruhan komposisinya ia seolah berhenti di lapisan dead layer.
Permainan harmoni allegro “atas” Tanto kontras bertolak belakang dengan tempo serupa di “bawah”-nya, dan dengan itu ia benar-benar menangkap momen élan vital dari sang badai, sebuah titik pijak dari kedamaian abadi bertolak meraih wajah kekacauan murninya. Tanto benar-benar menghentikan waktu dengan mengikat paradoksnya di tengah, dan kedua pigmen ritmik itu sekarang berada di dalam ruang planar yang sama. Badai pun segera menggemuruh di kepala pengamat segera setelah kaki segera dilangkahkan, dan keseimbangan menuju titik kekacauan puncaknya, untuk selanjutnya surut dan mungkin terlupakan dalam titipan pemaknaan personal.
The Fine Art Burden
Sayangnya, pameran ini adalah sebuah gelaran pribadi satu lukisan dari sang Tanto, karena karya-karya lainnya cenderung memilih untuk bersiul di halaman dalam sebuah arisan dengan gosip yang membaur dalam petikan tawa berselang canda. Berkarya, dalam kerangka Kant, bahkan memiliki skala langitan, karena Kant mempertaruhkan kebenaran abadi dalam karya yang jauh melampaui kapasitas rasio murni dan bahkan rasio praktis. Peserta pameran yang lain cenderung tenggelam dalam permainan solipsistik yang sebenarnya adalah bentuk lain dari ikut serta ala kadarnya, sekadar melukis untuk sekadar menghabiskan waktu. Sayangnya, mereka tidak berada di tempat yang tepat untuk biasa-biasa saja, karena mereka memilih untuk berada di kuil seni rupa, dengan kurator sebagai sang pendeta tinggi.
Stamina bapak dan ibu arisan memang terlalu berat untuk bergerak dalam tempo yang diminta oleh medan seni, dan satu-satunya tempat yang cocok untuk semua karya yang tidak bergulat dengan pesan adalah di ruang keluarga di rumah masing-masing. Bila mereka ingin berlari sejauh yang dituntut oleh Kant dan secepat yang diminta oleh Beethoven, mereka harus mulai dengan mengajukan pertanyaan tanpa henti – tentang apapun yang mereka alami dalam setiap tarikan dan hembusan napas. Mereka harus mulai untuk masuk dalam kegelisahan perenial manusia, tentang kematian dan kehidupan, tentang rasa sakit dan kesenangan, tentang cinta dan rasa benci, tentang kebaikan dan kejahatan. Singkatnya, tentang berbagai oposisi biner yang menghiasi setiap titik transit kehidupan manusia.
Mungkin mereka bisa mulai dari membaca pesan yang diberikan oleh Peter Greenaway dalam Nightwatching – untuk tahu bahwa tidak karena sekadar latah Rembrant van Rijn melukis potret dirinya hingga berkali-kali: pergulatan setiap guratannya adalah situasi tarik-menarik antara “sang Rembrant” dengan “si Rembrant” antara dua arketip yang terus-menerus bergumul tanpa henti, hingga akhirnya kehidupan menganvaskan sang maestro ke beberapa meter di bawah lapisan pekarangan gereja, untuk selamanya menjadi belulang miskin yang terlupakan, dan hidup kembali sebagai legenda yang tidak akan pernah lekang oleh jaman.
Piknik Kantian seorang Beethoven
Seni adalah sebuah piknik yang sangat serius, kata Kant, untuk meraih yang indah sebagai kebenaran yang menyamar, tukas Kant lebih lanjut membahasakan pesan gurunya. Dan Beethoven dalam kehidupannya yang tak usai diterpa badai pribadi selalu mencoba memetik sublimasi kebenaran alam bebas manapun yang bisa ia sapa. Masih ada tiga simfoni lagi, Beethoven, sebelum badai paling besar mencampakkannya dan sekaligus mengangkatnya ke keabadian ultim. Sang tukang piknik profesional begitu serius menuliskan bait demi bait dari setiap pesan semesta yang masuk ke dalam hatinya, dan ia, dengan segala beban virtuositas seorang Beethoven, tidak pernah lupa untuk membagikannya ke kita semua.