Benarkah Urban Life adalah Ancaman?
Meluasnya pengaruh tren urban life tidak hanya berdampak pada sektor perekonomian saja, tetapi juga sektor sosial, budaya, bahkan bahasa.
Zulfiana Amaliana MZ
Mahasiswa S-3 Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
16 Oktober 2023
BandungBergerak.id – Kemudahan mobilisasi dan melesatnya teknologi digital berdampak pada kecepatan perolehan dan penyebaran informasi. Hal ini dirasa menjadi salah satu kunci merebaknya tren urban life. Sederhananya, tren urban life diartikan sebagai gaya hidup ala orang kota yang modern dan dinamis. Dalam penggambarannya, kehidupan orang kota hanya seputar kesibukan dan tuntutan pekerjaan, afirmasi kelas sosial, jalanan yang semrawut, dan mereka dianggap sebagai simbol kemapanan dan intelek. Tetapi dibalik itu semua mereka membutuhkan hiburan untuk mengurangi tingkat kejenuhan dan stres yang tinggi.
Rasa jenuh inilah yang menuntut orang-orang yang hidup di kota besar berusaha mencari dan membangun tempat penghiburan untuk mengatasi kepenatannya. Di sisi lain, bagi pelaku urban life yakni generasi milenial yang berpindah dari desa ke kota, melihat kondisi tersebut sebagai sesuatu hal yang perlu diimitasi di kehidupan pedesaan atau kota-kota kecil di mana mereka berasal. Kondisi ini, akhirnya menciptakan satu upaya besar-besaran dari masyarakat di daerah untuk mengubah wajah kota lama menjadi kota yang lebih modern dan kekinian. Misalnya, sering kali kita menemukan konsep urban life ini dalam wujud menjamurnya café atau tempat nongkrong yang cozy dan fotogenik. Tentu fenomena ini akan beriringan dengan meningkatnya daya konsumtif masyarakat. Café-café ini menjadi pilihan utama bagi konsumen untuk menghabiskan sebagian waktunya bersama teman ataupun pasangannya.
Kebutuhan primer atas penghiburan ala orang kota inilah yang cenderung lebih banyak di-copy oleh masyarakat yang notabene memiliki tingkat stres yang tidak sebanding dengan kehidupan masyarakat di kota besar. Pada akhirnya, fenomena ini menjadi titik balik perubahan cara pandang dan gaya hidup masyarakat pedesaan tanpa mempertimbangkan dampak positif dan negatif dari euforia tren urban life.
Menyoal eksistensi tren urban life tidak hanya berdampak pada sektor perekonomian saja, tetapi juga sektor sosial dan budaya bahkan bahasa. Pada dasarnya hampir semua sektor yang bersentuhan langsung dengan masyarakat akan mendapatkan pengaruh positif maupun negatif, baik dirasakan secara langsung maupun tidak langsung dari keberadaan tren urban life ini.
Urban Life sebagai Pemantik Daya Konsumtif Masyarakat
Jika kita melintasi jalanan utama di berbagai kota kecil maupun pedesaan di Indonesia, hampir semua lokasi itu memiliki satu atau beberapa café dan tempat hiburan. Tempat-tempat semacam itu menjadi pusat berkumpulnya para pelaku urban life untuk sekedar ngobrol atau menikmati akses internet secara gratis.
Pilihan mereka untuk mengubah gaya hidupnya terkesan lebih “modern” mengakibatkan mereka memiliki perilaku konsumtif, boros, narsistik, dan cenderung individualis. Dengan melihat fenomena ini, para pengusaha menjadikannya sebagai alasan untuk membangun berbagai tempat wisata dan café-café, sehingga mereka mampu meraup keuntungan dari kecenderungan perilaku konsumtif para pelaku urban life tersebut.
Berkaca pada realitas inilah, kita tidak dapat memungkiri bahwa meluasnya pengaruh tren urban life mampu meningkatkan geliat masyarakat untuk membuka usaha, salah satunya di bidang kuliner. Mengapa usaha kuliner menjadi usaha yang paling menonjol dalam tradisi urban life?
Hal ini tidak lain karena perilaku konsumtifnya. Selain itu, kebutuhan akan afirmasi kelas sosial yang lebih tinggi dibandingkan orang-orang yang tidak pernah merasakan hidup di kota besar. Mereka menganggap bahwa pemilihan tempat makan dan jenis makanan yang berbeda dari kebanyakan orang adalah salah satu simbol eksistensi diri. Dan akhirnya, untuk semakin menonjolkan eksistensi diri ini, mereka (pelaku urban life) akan memilih style pakaian yang lebih modern dan kekinian. Termasuk pula di dalamnya berusaha untuk memenuhi kebutuhan akan lokasi dan perumahan yang strategis, kendaraan yang lebih nyaman, dan sebagainya. Sehingga keseluruhan aspek kebutuhan hidup akan dipaksakan agar sesuai dengan standar kontestasi kehidupan perkotaan yang modern dan dinamis.
Oleh karenanya, dapat dipahami bahwa eksistensi diri pelaku urban mampu menjadi pemicu bagi para pengusaha kecil hingga perusahaan besar untuk berinovasi pada produknya agar dilirik oleh pelaku urban.
Baca Juga: Sejarah yang Hidup dalam Secangkir Kopi Aroma
Pola Hidup Sehat sebagai Investasi Masa Depan
Eksistensi Kuliner Lokal dalam Menghadapi Menjamurnya Makanan Cepat Saji
Merapuhnya Kemapanan Sosial-Budaya
Kembali kita menguliti bisnis kuliner modern, sebagai salah satu mata pisau yang mengikis kehidupan sosial dan budaya masyarakat tradisional. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Café menjadi ruang kebebasan bagi siapa pun untuk berbaur dan membicarakan apa pun yang mereka inginkan, tanpa merasa dibatasi oleh norma-norma yang berlaku di masyarakat. Misalnya, dalam tradisi “ngopi” yang telah ada sejak masa penjajahan Belanda di Indonesia. Dahulu, tradisi “ngopi” menjadi simbol kekuasaan dan hegemoni kaum terpelajar, pemikiran yang mendalam, dan wujud persaudaraan dan perjuangan.
Namun kini, tradisi “ngopi” menjadi ajang untuk menonjolkan konstruksi sosial kelas atas. Maksudnya, pemilihan tempat dan variasi rasa dari kopi akan menjadi tolok ukur kelas sosialnya. Orang-orang yang terbiasa “ngopi” di warung kecil akan berbeda kelas sosialnya dengan orang-orang yang memilih “ngopi” di Starbucks. Apalagi hal itu dibarengi dengan style fashion modern dan pemakaian aksesoris lainnya yang ingin menampakkan di mana dirinya ingin diposisikan.
Mungkin awalnya, perilaku tersebut tidak tampak berpengaruh terhadap pola pikir dan gaya hidup masyarakat tradisional. Perilaku individualis dan konsumtif dari pelaku urban yang bertentangan dengan nilai-nilai moral, nilai-nilai kekeluargaan, kesederhanaan, kesantunan, dan moralitas. Namun, ketika gaya hidup itu dilakukan secara masif, pada akhirnya kehidupan tradisional akan dilihat sebagai sesuatu hal yang sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Keberadaan nilai-nilai itu tidak lagi dianggap sebagai parameter kesuksesan dalam hidup, maka secara tidak langsung kearifan lokal akan mulai ditinggalkan dan dilupakan. Oleh karenanya, tren urban life ini telah mampu mengubah cara pandang, asas bermasyarakat, dan tradisi-tradisi yang membumi.
Pertarungan Bahasa di Arena Urban Lifestyle
Sebagaimana kearifan lokal, eksistensi bahasa pun semakin dipertanyakan. Indonesia yang memiliki 718 bahasa daerah dan satu bahasa resmi nasional belum mampu meredam gempuran globalisasi, di mana perilaku urban adalah wujud nyata dari adanya pengaruh globalisasi.
Kilas balik pada banyaknya café-café menjadi bukti nyata bahwa bahasa daerah dan bahasa nasional kita telah ditelanjangi oleh perilaku urban. Para pelaku urban merasa bangga ketika mereka menggunakan bahasa asing daripada menggunakan bahasa daerah atau bahasa nasional. Misalnya, dalam penamaan menu di café yang notabene menggunakan bahasa asing, maka nilai jualnya semakin tinggi, semakin populer, dan peminatnya semakin banyak.
Dari fenomena di atas, dapat dikatakan bahwa sebuah kata tidak dapat dilepaskan dari konteks yang menyertainya untuk mengetahui kondisi lambang dan acuannya, sehingga nilai dan harapan yang terkandung dalam sebuah nama pada daftar menu itu dapat dipahami dengan baik. Analisis setiap teks nama tidak hanya berdasar denotasi semantik yang melekat pada masing-masing leksikon yang digunakan saja, akan tetapi leksikon-leksikon tersebut dihubungkan dengan unsur konteks atau konotosi emosional subjektif yang menaungi pembentukan sebuah nama. Hal ini sejurus dengan pemikiran Austin (1962) bahwa penggunaan bahasa tidak boleh dilepaskan dari situasi konkret dan fenomena-fenomena yang berkaitan dengan penggunaan bahasa tersebut.
Dalam hal ini tentu keberadaan tren urban ini menjadi pendorong para pelaku usaha untuk menyesuaikan aset perekonomiannya agar sesuai dengan framing yang dibangun oleh para pelaku urban dan penikmatnya. Yakni kebutuhan akan eksistensi dan nilai sosial dengan “mengakrabkan” diri pada bahasa asing dianggap lebih tinggi derajatnya dibandingkan masih menggunakan Bahasa Indonesia maupun bahasa daerahnya. Oleh karenanya, framing nilai bahasa ini akan semakin memperburuk realitas pengajaran, pemertahanan, dan pengembangan Bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Namun, pada fenomena lain, tren belajar Bahasa Indonesia cukup digemari oleh wisatawan asing, yang mana hal ini menjadi kasus positif bagi keberlangsungan hidup bahasa nasional dan berdampak pula pada bahasa daerahnya.