• Cerita
  • Eksistensi Kuliner Lokal dalam Menghadapi Menjamurnya Makanan Cepat Saji

Eksistensi Kuliner Lokal dalam Menghadapi Menjamurnya Makanan Cepat Saji

Kuliner tradisional tetap tumbuh bersaing dengan makanan cepat saji (fast food) atau masakan Korea. Mereka hadir dengan nama-nama lokal yang unik.

Jalan Braga yang dikenal sebagai permukiman Eropa di Hindia Belanda, hingga kini menjadi ikon Kota Bandung. Di balik ketenaran itu terdapat permukiman padat yang sebagian besar warganya idup dari hasil jualan atau kaki lima, 27 Oktober 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana14 Agustus 2023


BandungBergerak.idAda ragam kuliner daerah yang hingga kini eksis atau bersaing dengan panganan modern seperti makanan cepat saji (fast food) atau masakan korea yang belakangan ini makin tenar. Umumnya kuliner lokal ini ditawarkan dengan jenama unik, mulai dari jajanan berbahan dasar aci seperti cilok, cimol, cireng, cilung, cimin, dan masih banyak lagi. 

Di Bandung, kuliner lokal itu tetap eksis mulai dari yang klasik hingga yang kekinian. sebut saja nasi tutug oncom, ayam serundeng, sate maranggi, pepes tahu, oseng oncom, ulukutek leunca, karedok, lotek, dan sambal tauco. Malah sebuah penelitian di Kiaracondong menunjukkan kuliner-kuliner lokal ini masih dikenal luas oleh beragam generasi. 

Khusus mengenai camilan serba aci, di Bandung atau Jawa Barat umumnya ada kultur tersendiri yang mempengaruhinya. Tepung aci diambil dari sari pati singkong. Di beberapa daerah, tepung aci juga biasa disebut tepung tapioka atau tepung kanji. Sekilas, teksturnya mirip dengan tepung sagu; lembut, kering, kesat, dan lengket jika dicampur air. 

Dari sekian banyak jajanan Sunda, kenapa tepung aci paling sering dijadikan bahan utama? Selain harganya yang terjangkau, jajanan bertekstur kenyal ini juga memiliki cita rasa unik dan variatif. 

Menurut budayawan Sunda sekaligus Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Seni dan Sastra (FISS) Universitas Pasundan (Unpas) Bandung Budi Setiawan, pengaruh iklim dan kesuburan tanah membuat komoditas singkong sangat melimpah di Jawa Barat. 

“Singkong (sampeu, bahasa Sunda) dan olahannya, khususnya aci, lantas jadi sebuah warisan dan semakin dikenal. Di beberapa wilayah adat Jabar, aci juga selalu hadir, diceritakan turun-temurun di dalam rumpaka, lagu kaulinan budak, dan sebagainya,” ujar Budi Dalton, dikutip dari laman Unpas Bandung, Kamis (14/8/2023). 

Melimpahnya kuantitas dan produksi singkong kemudian memicu kreativitas masyarakat untuk mengolahnya menjadi beragam sajian. Budi menuturkan, sejak era nenek moyang, ungkapan rasa syukur yang kerap disimbolkan dengan sesajen bahkan menyertakan olahan singkong/aci sebagai bahan dasarnya. 

Jenama Unik Kuliner Lokal

Kreativitas masyarakat tidak sebatas pada variasi jajanan aci, tapi juga dari segi penamaan. Jajanan aci banyak menggunakan akronim dan dinamai sesuai cara pembuatan, penyajian, atau cara menikmatinya. 

Misalnya cimol atau aci digemol (dibentuk bulat-bulat), cilok atau aci dicolok (ditusuk), cibay atau aci ngambay (adonan aci dibalut kulit lumpia dengan tekstur mulur berjuntai), cireng atau aci digoreng, dan lain-lain. 

“Dinamakan cilok karena cara makannya dicolok, bisa saja suatu saat namanya berubah sesuai perilaku kita terhadap cilok tadi. Contohnya, cilok dicowel jadi ciwel. Jadi kembali lagi ke kreativitas masyarakat. Tapi yang penting, bahasa Sunda bisa tersosialisasikan di berbagai daerah lewat kuliner,” tutur Budi. 

Budi menyebut, tidak ada aturan khusus terkait tata nama kuliner Sunda, terutama jajanan aci. Namun, ia menilai uniknya penamaan jajanan aci mesti dilestarikan dan patut dijadikan warisan budaya bangsa. 

“Yang harus dipikirkan bukan penamaannya, tapi bagaimana aci bisa berkembang dan disosialisasikan dalam bentuk lain,” sebutnya. 

Menjamurnya jajanan aci mendorong kreativitas lain, yakni festival Bandung Lautan Aci yang pernah diadakan pada akhir 2022 lalu. 

“Ini menunjukkan bahwa kreativitas masyarakat sangat tak terbatas. Bandung Lautan Aci yang mungkin diambil dari julukan Bandung Lautan Api sekilas terdengar seperti anekdot, tapi memang begitulah faktanya,” pungkasnya. 

Baca Juga: DU 68 Musik, Sebuah Surga dengan Ribuan Kaset dan Jutaan Memori
Di Bawah Terpal Biru Kios Buku Tjihapit
Mengapa Ada Orang yang Malas Bekerja?

Kuliner Lokal di Mata Remaca Kiaracondong 

Dalam penelitian berjudul “Pengenalan Tentang Masakan Sunda di Kalangan Remaja Kecamatan Kiaracondong” oleh Jasmine Cahya Putri, Elly Lasmanawati, Tati Setiawati, diketahui bahwa popularitas kuliner lokal masih banyak dikenal oleh anak muda. Tinggal pewarisannya saja yang perlu terus dilakukan dari generasi tua ke generasi muda. 

Para peneliti dari Program Studi Pendidikan Tata Boga, Departemen Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Fakultas Teknologi dan Kejuruan, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung itu memakai subjek penelitian siswa SMP dan SMA negeri kelas 3 yang berada di Kecamatan Kiaracondong. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Proporsionate Stratified Random Sampling dan didapatkan hasil sebanyak 99 responden.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengenalan anak muda itu pada masakan Sunda. Hasilnya, pengenalan makanan pokok khas Sunda yang menunjukan skor tertinggi yaitu nasi liwet dengan nilai 100 persen dan terendah yaitu nasi tutug oncom (67,7 persen), nasi tumpeng dengan 96 persen dan hasil terendah nasi pepes 77 persen. 

“Hasil rata-rata angket sebesar 86,2 persen dan tes sebesar 86,6 persen menyatakan bahwa sebagian besar responden mengenal nama dan ciri-ciri makanan pokok khas Sunda,” tulis Jasmine dkk, diakses dari jurnal Senin (14/8/2023).

Pengenalan lauk pauk hewani khas sunda menunjukan hasil angket skor tertinggi terdapat pada ayam goreng, ikan goreng, dan ikan bakar dengan skor 100 persen. Artinya, seluruh responden mengenal nama ikan bakar, dan skor terendah terdapat pada ayam goreng lengkuas dengan skor 57,6 persen, artinya lebih dari setengah responden mengenal nama ayam goreng lengkuas.

Data hasil penelitian mengenai pengenalan lauk pauk nabati khas Sunda pada hasil angket sebesar 91,9 persen menunjukan bahwa nama oseng oncom lebih banyak dikenal dibandingkan dengan nama pepes tahu yang hanya sebesar 57,6 persen. 

“Hasil rata-rata angket sebesar 74,7 persen dan tes sebesar 77,5 persen menyatakan bahwa sebagian besar responden mengenal ciri – ciri lauk pauk nabati khas Sunda,” kata Jasmine dkk. 

Data hasil penelitian mengenai pengenalan sayur khas sunda pada hasil angket menunjukan bahwa skor terendah terdapat pada ulukutek leunca dengan skor 54,5 persen dan hasil tertinggi terdapat pada sayur asem dengan skor 98 persen. Hasil tes menunjukan skor tertinggi terdapat pada hidangan ulukutek leunca dengan skor 96 persen yang artinya sebagian besar resonden mengetahui ciri-ciri  hidangan tersebut, dan skor terendah terdapat pada hidangan karedok dengan skor 45,5 persen yang artinya kurang dari setengah jumlah responden mengetahui ciri-ciri hidangan tersebut.

Data hasil penelitian mengenai pengenalan penyerta khas sunda pada hasil angket menunjukan bahwa skor tertingi terdapat pada hidangan sambal terasi dengan 99 persen  dan skor terendah terdapat pada sambal tauco dengan skor 57,6 persen. Hasil tes menunjukan skor tertinggi terdapat pada hidangan sambal terasi dengan skor 88 persen dan skor terendah terdapat pada hidangan sambal tauco dengan skor 70,7 persen.

Para peneliti memberikan rekomendasi untuk orang tua serta tenaga pendidik yang terkait untuk mengenalkan hidangan khas daerah, khususnya hidangan khas sunda terutama pada hidangan yang terlihat perbedaan antara hasil angket dan hasil tes seperti hidangan nasi tutug oncom, ayam serundeng, sate maranggi, oseng oncom, pepes tahu, ulukutek leunca, karedok, dan sambal tauco agar generasi selanjutnya dapat mewariskan hidangan tersebut sehingga tidak punah. 

“Pengenalan dapat dilakukan sejak dini dengan mengenalkan nama, ciri-ciri, bentuk, tekstur, dan rasa hidangan tersebut. Anak juga diajarkan untuk membandingkan antara hidangan satu dengan hidangan lain, sehingga pengetahuan anak mengenai masakan khas sunda tidak punah dan dapat dilanjutkan pada generasi selanjutnya,” papar para peneliti.  

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//