• Berita
  • Lebaran di Bandung Dulu dan Kini (2): Kuliner dari Masjid Diantar ke Tetangga Sekampung

Lebaran di Bandung Dulu dan Kini (2): Kuliner dari Masjid Diantar ke Tetangga Sekampung

Baik Islam, Hindu, dan agama lokal memiliki tradisi yang menempatkan makanan sebagai simbol dan sakral.

Umat Islam berdatangan ke Masjid Agung Bandung, Jawa Barat, Kamis 13 Mei 2021, untuk melaksanakan salat Idul Fitri 1442/2021. Pelaksanaan salat Idul Fitri kali ini berlangsung dalam suasana pandemi Covid-19. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Iman Herdiana14 Mei 2021


BandungBergerak.idWarga kampung berbondong-bondong menuju masjid sambil membawa berbagai jenis kuliner tradisional khas Sunda. Hidangan dihantar dengan baki kayu, kuningan, dan tetenong atau wadah terbuat dari anyaman bambu. Nasinya diwadahi sumbul yang tertutup, agar tetap hangat. Ada yang membawa hidangan digotong dengan dongdang. Betapa seriusnya hantaran hidangan ke masjid itu.

Prosesi tersebut biasa dilakukan warga masyarakat Tatar Sunda tradisional di hari lebaran, hari kemenangan setelah sebulan penuh
menjalankan ibadah puasa, seperti dilukiskan buku "Di Lembur Kuring" karangan Sjarif Amin (Ganaco N.V. Bandung, 1964).

Sjarif Amin menyebut prosesi sedekah lebaran dipusatkan di masjid-masjid yang dimulai siang hari. "Umpama geus santek waktuna tacan rempeg, biasana memeh lohor, dikohkolan nu tacan datang teh (Jika waktu asar warga belum berkumpul, mereka akan dipanggil dengan kentungan)," cetira Sjarif Amin.

Setelah itu, dimulailah makan bersama. Warga saling menuangkan makanan, saling menawarkan, saling mencicipi masakan masing-masing. Sedekah lebaran itu ibarat kontes makanan terbaik dengan menu makanan paling istimewa. "Dina sidekah kitu sok paalus-alus dahareun teh, da sasat olah-olah pintonkeuneun, bawaeun ka medan (Sedekah lebaran seperti lomba membuat masakan terbaik untuk dipamerkan, untuk dibawa ke medan pertunjukan)," tuturnya.

Makanan yang dihidangkan sangat beragam. Sjarif menyebut beberapa di antaranya, opor ayam atau opor bebek yang sengaja dipotong besar-besar biar terlihat jelas, atau sengaja tidak dipotong-potong agar terlihat sempurna. Gurame besar yang baru ditangkap di kolam, sengaja
dihidangkan tanpa diiris-iris, agar terlihat gede dan mulus.

Cara memasak bahan makanan pun beragam, ada yang digoreng, disemur, dikecap, dengan bumbu laksa, pala, lada, bawang merah, cabai merah, dan lain-lain. "Entah apa lagi bumbunya, saya tidak tahu, namun yang jelas enak!" kata Sjarif Amin.

Sedekah lebaran di dalam masjid hanya diikuti orang tua laki-laki dan anak-anak. Perempuan tidak lazim mengikuti sedekah lebaran
di dalam masjid. Perempuan hanya bertugas ikut mengantarkan hidangan, selanjutnya mereka menunggu di luar masjid sampai beres acara.

Selesai acara, hidangan-hidangan tersebut dibawa kembai ke rumah masing-masing. Kaum perempuan sibuk membawa makanan-makanan itu di atas kepala. Di masa itu, Sjarif Amin bercerita, perempuan biasa membawa segala sesuatu di atas kepala (disuhun). Pulang dari jamban umum, ke warung, pasar, dan ke mana pun, mereka selalu membawa sesuatu di kepala , seperti bakul nasi, cucian, bahkan botol minyak. Kepala mereka sudah terampil membawa beban tanpa terjatuh, jalan mereka tegak dengan dagu sedikit terangkat.

Masjid telah dibereskan dan kembali bersih seperti semula, sampai tak ada bekas makan-makan sama sekali. "Kecuali tapak mencicipi dan saling mencicipi masakan masing-masing," kata Sjarif Amin yang menuliskan pengalaman pribadinya yang terjadi awal kemerdekaan, dengan pengantar buku yang ditulis Agustus 1961. 

Makan yang sesungguhnya terjadi setelah beres sedekah lebaran di rumah masing-masing. Tetapi sebelumnya, warga harus saling hantar makanan yang mereka sedekahkan ke masjid tadi, makanan dihantar ke tetangga terdekat, ke teman satu kampung.

Tradisi hantaran saat lebaran, sebenarnya tak hanya terjadi di masyarakat Sunda. Sejarawan kuliner Nusantara, Fadly Rahman menatakan tradisi hantara hampir dilakukan oleh seluruh suku bangsa di Indonesia. “Tradisi ini memang khas menunjukkan kerukunan masyarakat agraris di Nusantara,” ujar Fadly Rahman, dikutip dari laman resmi Unpad, Selasa (11/5/2021).

Penulis buku "Jejak Rasa Nusantara" ini mengemukakan tradisi mengirimkan hantaran oleh masyarakat Nusantara telah berlangsung sejak masa prakolonial. Tradisi ini banyak dilakukan masyarakat pada hari yang memiliki momen khusus, seperti ketika hari raya panen hingga hari raya keagamaan.

Hantaran diberikan kepada tetangga sebagai bentuk ekspresi raya syukur atas limpahan hasil pangan. Hantaran juga dilakukan kepada pihak
kerajaan. Di hari raya, rakyat biasa mengirimkan upeti kepada kerajaan berupa makanan dan bahan pangan sebagai bentuk syukur kepada penguasa.

Jenis makanan yang menjadi hantaran di masa prakolonial berupa kudapan tradisional, seperti rengginang, dodol, dan wajit yang beken di kalangan masyarakat lokal.

Baca Juga: Lebaran di Bandung Dulu dan Kini (1): Berebut Cium Tangan untuk Ngalap Berkah
Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (9): Tradisi Kirim Makanan dalam Rantang Susun
Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (8): Adu Balap di Malam Takbiran
Ramadan di Tahun Pagebluk (23): Jalan Panjang Penjual Tahu Keliling
Geliat Kampung Ketupat Bandung

Makanan Sakral

Makanan identik dalam perayaan hari raya keagamaan. Bahkan makanan bersifat sakral. “Baik Islam, Hindu, dan agama lokal memiliki tradisi yang menempatkan makanan sebagai suatu makna simbolis dan sakral,” ujar Fadly Rahman.

Dosen Sejarah Universitas Padjajaran ini mengatakan, makanan bersifat sakral karena sebagai representasi simbolis dari kondisi geografis masa lalu. Saat itu, masyarakat Nusantara dikenal sebagai masyarakat agraris, sehingga makanan yang dibuat pun diambil dari bahan pangan yang ada.

Sebagai contoh, tradisi ketupat pada hari raya lebaran banyak dipengaruhi oleh kebudayaan agraris Nusantara. Ketupat dibuat beras dan janur kelapa, dua bahan makanan yang identik dengan sumber pangan di Nusantara saat itu. Menurutnya, budaya simbolis seperti tumpeng dan ketupat sebagai warisan dari tradisi agraris sebagai bentuk manifestasi syukur terhadap Yang Mahakuasa.

Hal penting lainnya, kata Fadly, lebaran maupun momen hari raya keagamaan di Indonesia juga berperan penting dalam menjaga pusaka kuliner warisan masa lalu. “Momen ini yang bisa membuat kuliner masa lalu bisa tetap bertahan dan disukai masyarakat kita,” kata Fadly.

Dari Kolonial ke Masa Kini

Kolonialisme memengaruhi rona kuliner nusantara. Fadly mencatat, dinamika terlihat dari wujud makanannya. Pengaruh kolonial bahkan terasa sampai kini di mana kudapan yang berasal dari benua Eropa menjadi bagian dari hantaran selain kudapan lokal.

Sebut saja jenis kue nastar, kastengel, hingga putri salju. “Dulu kue-kue yang dibuat keluarga Eropa dijadikan hantaran antar kaum priyayi.
Masyarakat muslim kalangan priyayi pada masa lalu itu menerima hantaran dari orang Eropa,” papar Fadly Rahman.

Aneka kue kolonial tersebut tetap eksis menjadi kudapan khas hari raya hingga saat ini berkat resep yang diwariskan turun temurun.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//