Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (8): Adu Balap di Malam Takbiran
Malam takbiran di Bandung tempo dulu diwarnai aksi adu balap mobil atau motor di beberapa ruas jalan utama. Ada yang tertembus peluru, ada yang kena semprot air.
Penulis Tri Joko Her Riadi12 Mei 2021
BandungBergerak.id - Kebut-kebutan motor dan mobil merupakan kenakalan remaja Bandung yang sudah ngetren sejak awal tahun 1970-an. Warga dibuat was-was. Demikian juga para aparat pemerintah.
Biasanya aksi kebut-kebutan itu dilakukan di malam liburan, seperti Hari Natal dan Tahun Baru. Malam takbiran menjelang lebaran sama saja.
Haryoto Kunto dalam buku Ramadhan di Priangan (1996) menceritakan bagaimana adu balap terjadi di suatu malam takbiran di Bandung. Yang jadi sirkuitnya adalah Jalan Dago, Jalan Diponegoro dan Supratman, Jalan Tamansari, Siliwangi, dan Cihampelas, Jalan Merdeka, Braga, dan Asia Afrika, serta kawasan Alun-alun.
“Sepanjang jalan tadi, ingar binger, sorak sorai penonton memberi aplaus dukungan kepada para pengebut ditingkah ledakan petasan yang memekakkan telinga,” begitu Haryoto menggambarkan kejadian di malam takbiran.
Aparat yang berupaya mencegah atau membubarkan adu balap itu bukan saja datang dari kepolisian. Ada juga tentara, petugas dinas perbubungan, dan pengurus klub motor. Di lokasi adu balap, para aparat dilengkapi dengan panzer dan kendaraan pemadam kebakaran.
Tidak cukup memblokir jalanan dengan deretan drum, aparat menggunakan juga tumpahan oli untuk menghalang-halangi para pembalap. Sementara itu, petugas pemadam kebakaran menyemprotkan air untuk membubarkan penonton. Bahkan, ketika kondisi tidak juga terkendali, tembakan peringatan diletuskan ke udara.
Haryoto Kunto mencatat, ada seorang pengebut asal Astanaanyar bernama Teten yang tubuhnya tertembus peluru nyasar. Bukannya kapok, ia justru merima sanjungan dari para pengebut lain yang kemudian menjulukinya “Teten Pelor”.
“Dan menurut pengamatan penulis, setiap tahun, setiap waktu di Bandung ini lahir Teten Pelor baru yang menggantikan kakak-kakak mereka yang beken sebagai setan jalanan,” tulis Haryoto.
Baca Juga: Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (7): Nonton Film di Bioskop
Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (6): Dorong Lokomotif si Gombar, Itikaf Jaga Jarak
Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (5): Dari Sumur Bor ke Cikapundung Riverspot
Gelombang Pesepeda
Di tengah pandemi Covid-19 tahun ini, jalan-jalan utama di Kota Bandung yang dulu pernah dijadikan sirkuit adu balap, seperti Dago dan Asia Afrika, sering ditutup aksesnya bagi kendaraan sebagai bagian upaya memangkas laju penularan virus. Penutupan terutama terjadi di bulan-bulan awal pagebluk tahun lalu.
Yang menarik, ketika akses kendaraan dibatasi, warga melirik sepeda sebagai alternatif. Moda transportasi ramah lingkungan ini mendadak menjadi demikian populer di Kota Kembang.
Di banyak ruas jalan, dengan mudah ditemui warga, entah tua atau muda, entah perempuan atau laki-laki, yang asyik menggowes sepeda. Jalan Dago menjadi salah satu lokasi favorit bagi aktivitas ini.
Bersepeda memberikan banyak keuntungan bagi warga. Selain sesuai protokol kesehatan dalam hal menjaga jarak, bersepeda juga berdampak baik pada usaha menjaga kebugaran. Untuk mencegah infeksi virus, kebugaran tubuh merupakan salah satu modal kuat.
Pesepeda tentulah berbeda dengan pengebut. Menghadapi munculnya gelombang pesepeda, para aparat dan petugas tidak perlu membawa panzer dan kendaraan pemadam kebakaran. Apalagi memuntahkan peluru dan semprotan air.