Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (6): Dorong Lokomotif si Gombar, Itikaf Jaga Jarak
Di masa lalu, hubungan warga Bandung dengan kereta api sangat dekat. Tak terkecuali dengan anak-anak. Di masa pagebluk, semua hubungan harus berjarak.
Penulis Iman Herdiana10 Mei 2021
BandungBergerak.id - Di masa lalu, hubungan warga Bandung dengan kereta api begitu akrab. Kereta api menjadi moda transportasi lintas kota yang paling terjangkau. Tak heran jika kereta api menjadi angkutan umum favorit. Hubungan harmonis kereta api tak hanya terjalin dengan orang tua, melainkan juga dengan anak-anak. Bahkan di bulan Ramadan, banyak anak-anak yang ngabuburit di area stasiun kereta api. Pengalaman ini dilukiskan Us Tiarsa, sastrawan Sunda, dalam buku Basa Bandung Halimunan (Cetakan Kedua, Kiblat Buku Utama 2011).
“Resep ulin di setatsion teh, komo ari bulan puasa mah. Ngabuburit teh sok ulukutek di dinya we. (Senang sekali main di stasiun, apalagi saat bulan puasa. Ngabuburit sering dilakukan di sana.),” tutur Us Tiarsa. Banyak kegiatan yang dilakukan anak-anak selagi ngabuburit di stasiun kereta, mulai naik turun bodres atau tangga penghubung antar-gerbong kereta, sampai bikin pisau-pisauan dari paku yang dilindas kereta api.
Permainan membikin piasu dari paku mungkin berbahaya dan tidak patut ditiru. Tetapi namanya juga anak-anak, di balik permainan bahaya ada sesuatu yang menarik bagi mereka. “Mun teu turun unggah kana bordes, sok ngageleng-gelengkeun paku (Kalau tidak naik turun bodres, suka melindas-lindaskan paku),” lanjut Us Tiarsa.
Membuat pisau dari paku oleh anak-anak zaman dulu dilakukan dengan cara menyimpan paku di atas rel kereta. Mereka menunggu kereta lewat agar melindas paku-paku yang mereka simpan di atas rel.
Mereka menyambut riang gembira kereta yang melintas. Lantas ramai-ramai menghampiri paku yang sudah berubah tipis di atas rel besi. Setalah itu, anak-anak tinggal merapikan bentuk pisau paku dan mengasahnya dengan batu. “Jadi weh pepesoan. Ku kolot oge sok kapake ari pepesoanana diperahan, dialus-alus mah (Jadi pisau. Oleh orang tua kalau pisaunya bagus, dipasang gagang, suka dipakai).”
Pengalaman Us Tiarsa itu terjadi di tahun 1950-an, ketika Bandung masih kampung dan Indonesia baru merdeka 5 tahun. Us tinggal di daerah yang tak jauh dengan Stasiun Hall Bandung. Masa itu, permainan yang dilakukan anak-anak pun masih sangat tradisional, seperti membuat pisau dari paku tadi.
Selain itu, anak-anak tahun 50-an di stasiun sering menantikan tontonan favorit mereka, yaitu parkir atau putar balik lokomotif. Di barat dipo (bengkel kereta), posisinya di bawah daerah Sasak Gantung (Pasirkaliki), ada area pemutaran lokomotif.
Lokomotif yang harus diputarkan terutama lokomotuf besar, salah satunya diberi nama si Gombar. Si Gombar kala itu sangat terkenal. Orang tua era 50-60-an pasti mengenal si Gombar ini. Si Gombar kalau datang dari arah timur dan harus kembali ke timur, maka otomatis ia harus diputar balik. Tentu memutar balik kereta beda dengan mobil atau bus. Maka ia harus diputar balik di tempat pemutaran khusus.
Bangunan tempat pemutaran kereta berbentuk seperti kolam bundar, terdiri dari rangkaian rel, ada rel yang berupa jembatan. Lokomotif yang akan diputar balik dimasukkan ke jembatan rel. Nah, jembatan itulah yang didorong oleh masinis atau pegawai kereta api yang jumlahnya bisa dua tiga orang pegawai.
“Barudak sok milu nyurung. Atoheun we pagawe mah, asa dibantuan. (Anak-anak suka ikut mendorong. Pegawai kereta pun senang karena merasa dibantu).”
“Permainan” lain yang ada di stasiun kereta ialah menara air yang dipakai untuk mencuci kereta api. Menurut Us Tiarsa, ada beberapa menara air di stasiun. Menara tersebut berupa pipa air yang di bagian atasnya melengkung seperti keran.
Ketika kereta api dimandikan, anak-anak menyambutnya antusias. Mereka memburu kereta yang diguyur air dari menara air. Mereka main hujan-hujanan dari luberan air yang menyiram kereta. Di saat menahan haus dan lapar, permainan hujan dadakan ini tentu bikin anak-anak senang dan segar. Walaupun baju mereka jadi basah kuyup.
“Senang sekali kalau ada kereta yang dimandikan. Suka sengaja basah-basahan di luberan air kereta. Terasa seperti hujan besar. Airnya menggelontor sebesar tubuh anak, dan jernih.”
Baca Juga: Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (1): Baju Baru Ganjaran Berpuasa
Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (2): Dari Ikan Emas ke Ikan Hias
Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (3): Ngabuburit di Sungai Cikapundung
Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (4): Rujak Kolangkaling dan Efek Kecanduan Gawai
Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (5): Dari Sumur Bor ke Cikapundung Riverspot
Ngabuburit era Pandemi
Lain dulu lain sekarang. Dulu, menurut penuturan Us Tiarsa, anak-anak ngabuburit mengandalkan permainan seadanya yang ada di alam atau lingkungan mereka, seperti datang ke stasiun. Mereka membikin sendiri permainannya, seperti bikin pisau-pisauan dari paku yang dilindas kereta api.
Sekarang, sudah menginjak tahun kedua anak-anak Bandung dan dunia umumnya berada pada suasana pagebluk Covid-19. Pandemi telah mengubah banyak tatanan normal. Anak-anak tidak diperkenankan sekolah tatap muka langsung. Mereka sekolah di rumah secara online demi menghindari kerumunan yang berpotensi menularkan Covid-19.
Meski demikian, zaman sudah jauh berubah. Pandemi berlangsung di era teknologi informasi. Sehingga anak-anak yang memiliki gawai dan jaringan internet, bisa menyelenggarakan sekolah tatap muka di rumah. Pandemi akan sangat merepotkan jika terjadi di era 50-an ketika teknologi masih serba manual dan tradisional.
Acara ngabuburit di zaman pandemic pun harus dilakukan dengan protokol kesehatan, yakni menutup sebagian wajah dengan masker atau face shield, menjaga jarak, selalu mencuci tangan, dan menghindari kerumunan.
Walaupun tidak sedikit anak-anak yang merasa bebas selama menjalani sekolah jarak jauh. Mereka merasa mendapat waktu bermain yang lebih banyak, dan waktu ngabuburit menjadi lebih leluasa, tanpa sadar bahwa ada potensi penularan Covid-19 jika mereka tak mengindahkan protokol kesehatan.
Suasana pandemi juga berlaku bagi peribadatan di masjid. Jika masa sebelum pandemi, pada 10 hari menjelang akhir Ramadan, umat Islam biasa melakukan itikaf di masjid. Kali ini, itikaf di masjid harus dibatasi dan berlangsung di bawah protokol kesehatan.
Misalnya itikaf yang berlangsung di masjid Pusat Dawah Islam (Pusdai), Bandung, yang memberlakukan itikaf secara terbatas, sebagaimana dilaporkan fotografer lepas BandungBergerak.id, Prima Mulia, 2 Mei 2021 lalu. Jumlah peserta itikaf di Pusdai pun sedikit.
Di masjid yang terletak di tengah Kota Bandung itu, memang masih ada yang itikap, tak terjecuali anak-anak yang diajak orang tua mereka. Anak-anak harus turut tertib menjaga jarak di lantai-lantai masjid yang sudah ditandai dengan tanda silang. Di Bandung sendiri kasus Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Setiap hari, masih ada kasus baru yang terkonfirmasi Covid-19.