• Cerita
  • Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (9): Tradisi Kirim Makanan dalam Rantang Susun

Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (9): Tradisi Kirim Makanan dalam Rantang Susun

Warga Bandung tempo dulu menghidupi tradisi saling berkirim makanan dalam rantang susun. Saat ini pudar akibat makin modern (individualis?)-nya gaya hidup warganya?

Sejumlah pedagang terlihat berkumpul di salah satu kios di pusat penjualan oleh-oleh kuliner lebaran di jalur mudik Nagreg, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 7 Mei 2021. Para penjual kuliner khas tersebut sepi di tengah larangan mudik lebaran demi menghindari penularan Covid-19. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Iman Herdiana13 Mei 2021


BandungBergerak.id -  Sampai tahun 90-an, sebagian masyarakat Parahyangan masih menjalankan tradisi nganteuran (hantaran) masakan dalam rantang. Tradisi ini misalnya masih terjadi di Ciwidey, Kabupaten Bandung, tahun 1990-an. Bagi warga Kota Bandung, mungkin tradisi ini terlihat aneh. Padahal, di masa lalu warga Bandung juga menjalankan tradisi serupa namun kini sudah ditinggalkan seiring semakin modern (individualis?)-nya gaya hidup warganya.

Hantaran masakan lebaran biasanya dikemas ke dalam rantang, sebuah wadah bulat terbuat dari seng atau alumunium yang bisa disusun dalam satu kerangkeng logam. Umumnya, rantang terdiri dari empat susun yang bisa dibawa dengan cara dijinjing.

Tradisi nganteuran dilakoni di hari-hari terakhir Ramadan menjelang hari raya Idulfitri. Isi rantang terdiri dari kuliner khas lebaran, seperti nasi panas, tumis kentang dan bihun, gulai kacang merah, ikan nila atau jaer yang dimasak dengan cara didendeng, kerupuk udang, tempe, dan tahu. Bagi warga golongan mampu, isi rantangan suka dilengkapi ayam, goreng ikan mas, atau bahkan daging sapi yang dimasak dengan berbagai cara.

Anak-anak mengemban tugas mengantarkan rantang-rantang lebaran ke saudara maupun tetangga dekat, sambil ngabuburit. Pada momen itu di jalan kampung atau desa banyak anak-anak yang menjinjing satu atau dua set rantang.

Anak-anak yang berhasil mengantarkan rantang ke tempat tujuan, bukan berarti tugasnya selesai. Dia masih harus menunggu rantang dikosongkan dan diisi kembali oleh tetangga atau saudara yang tadi dikirim rantang. Kadang rantang yang terkirim langsung ditukar dengan rantang lainnya yang sudah disiapkan.

Baca Juga: Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (5): Dari Sumur Bor ke Cikapundung Riverspot
Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (4): Rujak Kolangkaling dan Efek Kecanduan Gawai
Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (3): Ngabuburit di Sungai Cikapundung
Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (2): Dari Ikan Emas ke Ikan Hias
Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (1): Baju Baru Ganjaran Berpuasa

Ibu-ibu Super Sibuk

Menjelang lebaran tersebut, ibu-ibulah yang paling sibuk. Selain harus memasak menyiapkan makanan menyambut lebaran, mereka juga harus membikin masakan untuk hantaran lebaran. Selesai membikin hantaran, ibu-ibu masih harus mengirimkan makanan ke masjid atau musola. Pada hari lebaran, musola atau masjid kerap dipakai makan bersama sebagai bentuk rasa syukur setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa.

Saling mencicipi makanan lewat tradisi hantaran pernah dikaji Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (Unpad) lewat penelitian ilmiah berjudul "Kajian Identifikasi Permasalahan Kebudayaan Sunda Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa yang akan Datang" (2011) oleh tim peneliti yang dipimpin dosen sejarah Mumuh Muhsin Z.

Tim peneliti Unpad menemukan tradisi nganteuran lebaran sudah ada sejak tahun 1950-an, ketika tiga hari menjelang lebaran. Masa itu, masyarakat di Jawa Barat masih kental menjalankan tradisi saling kirim makanan lebaran dalam rantang. Di balik tradisi ini, tim peneliti melihat terdapat semangat silaturahmi dengan keluarga atau tetangga. Dalam adat istiadat Sunda, budaya ini disebut silih anteuran.

"Menyambut tibanya lebaran dan masih beberapa hari lagi puasa, masyarakat siap-siap memasak ketupat, opor ayam, tumis kentang dengan pete dan cabe hijau disertai nasinya. Bukan diada-adakan melainkan sudah menjadi tradisi ingin saling ngasaan masakan. Selain itu, silaturahim pun kian erat. Sebagai ungkapan rasa syukur, masyarakat mengentalkan dan mengeratkan silaturahim
dengan cara saling asaan masakan," papar tim peneliti Unpad.

Sampai tahun 1960-an, tim mencatat, budaya saling kirim masakan lebaran masih tetap ada walau jumlahnya tidak terlalu banyak. Tahun-tahun berikutnya, budaya ini kian memudar atau meredup, mungkin karena kondisi ekonomi yang kian terpuruk sehingga ekonomi setiap keluarga masyarakat melorot. "Atau mungkin saja, semangat dan jiwa kekeluargaan semakin memudar?"

Peneliti menyimpulkan, banyak hal menyebabkan hilangnya tradisi silih anteuran. "Akan tetapi yang jelas, sebenarnya budaya saling kirim itu sangat baik dalam merekatkan silaturahim."

Peneliti juga melihat tradisi hantaran yang dilakukan masyarakat Jawa Barat ketika lebaran sebagai bagian dari aktivitas tolong-menolong. Lewat tradisi ini, masyarakat saling berbagi. Orang yang tidak mampu bisa merasakan hidangan mewah hari raya.

Pudarnya tradisi silih anteuran ini apakah menandakan redupnya budaya saling tolong di masyarakat? Jawabannya perlu penelitian lebih lanjut.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//