• Cerita
  • Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (5): Dari Sumur Bor ke Cikapundung Riverspot

Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (5): Dari Sumur Bor ke Cikapundung Riverspot

Di dekat Alun-alun Bandung pernah ada sumur bor yang jadi langganan warga untuk mandi sembari menunggu waktu berbuka puasa. Sekarang, ada Cikapundung Riverspot.

Seorang warga membaca koran di Cikapundung Riverspot, Bandung, Rabu (28/4/20201) siang. Sama seperti ruang-ruang publik lain, Cikapundung Riverspot juga dibatasi aksesnya selama pandemi Covid-19. (Foto: Virliya Putricantika)

Penulis Tri Joko Her Riadi29 April 2021


BandungBergerak.id -  Di Bandung tempo dulu, ada satu sumur bor yang terletak di dekat Kantor Pos, tidak jauh dari Alun-alun Bandung. Inilah salah satu lokasi ngabuburit favorit warga kota. Mereka mandi di sana lalu nongkrong di Alun-alun hingga waktu berbuka puasa tiba.

“Jadi bukan pemandangan aneh bila ba’da ashar pada bulan puasa, kaum pria keluar rumah membawa sarung dan berkalung handuk, menunjuk Alun-alun,” tulis Haryoto Kunto dalam buku Ramadhan di Priangan (1996).

Pembuatan sumur bor di dasawarsa pertama abad ke-20 ini merupakan inisiatif pemerintah kolonial untuk meningkatkan mutu sanitasi di tengah masyarakat. Pemicunya adalah wabah kolera yang telah merenggut banyak nyawa.

Untuk memperoleh air bersih di sumur bor, warga harus membayar uang logam satu sen. Mereka bisa memanfaatkannya untuk minum, masak, dan mandi. Di setiap sumur bor, terdapat pemandian umum yang terpisah untuk pria dan wanita.

Sumur bor di dekat Kantor Pos yang jadi langganan warga untuk mandi itu merupakan satu dari beberapa sumur bor yang dibuat pemerintah kolonial. Haryoto Kunto mencatat ada juga sumur bor yang disediakan untuk umum di belakang kantor Gubernuraan di kawasan Cicendo, depan Kelenteng di kawasan Ciroyom, simpang Jalan Merdeka-Riau, serta depan Sakola Menak di Tegallega.

Informasi tentang kebiasaan mandi di sumur bor juga ditemukan dalam buku Roesdi Jeung Misnem, buku bacaan murid-murid sekolah Sunda yang pertama kali terbit pada 1911 dan diterbitkan kembali pada 2020. Dikisahkan di sana bagaimana Roesdi dibuat terheran-heran melihat gerojokan air dari sumur. Ia membandingkan sumur bor dengan pancuran air di kampungnya yang jelas bersumber dari kolam.

“Kalau pancuran ini di mana kolamnya ya?” Tanya Roesdi pada Ramlan.

Baca Juga: Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (4): Rujak Kolangkaling dan Efek Kecanduan Gawai
Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (3): Ngabuburit di Sungai Cikapundung
Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (2): Dari Ikan Emas ke Ikan Hias

Cikapundung Riverspot

Pada awal Juli 2015, diresmikan sebuah ruang publik baru di tepi Sungai Cikapundung, tidak jauh dari lokasi sumur bor tempat Roesdi mandi.  Fasilitas baru yang pembangunannya didanai oleh sumbangan pihak swasta itu dinamai Cikapundung Riverspot.

Salah satu atraksi penarik minat warga di taman kota itu adalah air mancur yang dilengkapi dengan pencahayaan warna-warni. Ditingkahi dengan musik, jadilah pertunjukan teknologi itu dinamai air mancur menari.

Di bulan-bulan pertamanya, Cikapundung Riverspot dibanjiri oleh pengunjung yang penasarn. Juga sering digelar kegiatan untuk publik yang dilengkapi pertunjukan langsung di kawasan tersebut.  

Di tahun-tahun normal, Cikapundung Riverspot menjadi tempat favorit ngabuburit selama bulan puasa. Warga duduk dan bercengkerama di bangku dan tangga, sementara berbagai penjual makanan berjaga di sekitar taman itu.

Di masa pandemi Covid-19, nasib Cikapundung Riverspot tidak berbeda dengan taman-taman kota lainnya. Akses ke ruang publik ini ditutup bagi publik agar tidak mengundang kerumunan.

Tantangan lain adalah besarnya biaya pemeliharaan Cikapundung Riverspot yang harus ditanggung pemerintah. Tagihan listriknya yang lumayan besar membuat langkah-langkah penghematan harus dilakukan. Hasilnya, air mancur di plaza itu tidak lagi bisa sering-sering menari. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//